Negara Agraris, Fakta Atau Utopia ?

Maka itu, produksi pangan menjadi prospek pada masa depan. Indonesia perlu meningkatkan jumlah ekspor produksinya (bahan baku diolah menjadi produk–red) dan meminimalisasi jumlah ekspor bahan baku pangan.

Dengan demikian, dapat menciptakan added value yang dapat meningkatkan cadangan devisa negara. Salah satu faktor independen dalam meningkatkan jumlah produksi pangan domestik, yaitu ketersediaan lahan.

Sementara itu, Indonesia hanya memiliki lahan per kapita seluas 568,7 meter persegi (m2), Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lainnya, seperti Vietnam (960 m2 per kapita), Cina (1.120 m2 per kapita), India (1.591 m2 per kapita), Thailand (5.226 m2 per kapita), dan Australia (26.264 m2 per kapita).

FAO menyatakan dan menetapkan, suatu negara dapat dikatakan negara agraris dilihat dari luasnya ketersediaan lahan per kapita. Pada umumnya, negara-negara agraris di dunia memiliki ketersediaan lahan per kapita di atas 1.000 m2.

Hal ini menjadi ironi tersendiri atas pernyataan bahwa saat ini Indonesia adalah negara agraris. Berdasarkan laporan World Bank, mayoritas orang miskin tinggal di pedesaan.

Ini senada dengan data BPS bahwa angka kemiskinan di pedesaan sebesar 13,93 persen. Angka tersebut Lebih besar dibandingkan angka kemiskinan di perkotaan sebesar 7,72 persen (per Maret 2017).

Desa merupakan pengembangan konsep asli bangsa Indonesia, sehingga pembangunan berbasis perdesaan dan pertanian berkelanjutan sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Maka dari itu, diperlukan paradigma yang mengarah pada pembangunan berkeadilan, berdaulat, dan berkelanjutan.

Melalui pendekatan partisipatif, pembangunan berkelanjutan di setiap desa disesuaikan dengan pemanfaatan potensi sumber daya lokal, kebutuhan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat tersebut.

Sebagai kesimpulan, menurut penulis pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada pembangunan fisik infrastruktur.