WA Panitia Diskusi ‘Pemberhentian Presiden’ Diretas, Pengamat Sebut Rezim Berlebihan

Pengamat hukum tata negara ini menuturkan, diskusi kritis mahasiswa seperti yang hendak dilakukan mahasiswa UGM patut terjadi, mengingat beberapa survei terakhir menyebutkan tingkat ketidakpuasan terhadap pemerintah soal penanganan wabah korona lebih dari 50 persen.

Menurutnya, fakta ini lah yang melahirkan kritik di masyarakat. “Hanya orang kan berbeda-beda style dalam menyampaikan kritik. Ya dipahami saja sebagai dinamika demokrasi,” ujarnya.

“Jadi berlebihan jika rezim Jokowi mengedepankan pasal hukum atau main tangkap. Seharusnya dialog politik yang dikedepankan,” sambungnya.

Menurutnya, kritik terhadap pemerintah soal pananganan pandemi itu juga didukung dengan maraknya kebijakan yang mengundang kontroversi, semisal Perpu Covid-19,Kartu Pra Kerja dan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Mahasiswa sebagai agen-agen perubahan yang turut mengawal demokrasi, sudah sepatutnya menyuarakan hal-hal kritis kala melihat kepongahan dalam kebijakan pemerintah. Hal ini, kata Gde, tak boleh dianggap remeh oleh pemerintah.

Mahasiswa yang dinilai apatis terhadap politik nyatanya mereka mempunyai pandangan yang kritis soal kinerja pemerintahan. Hanya saja, lanjut Gde, mahasiswa sekarang meresponsnya dengan cara yang berbeda dengan mahasiswa era 98.

“Jokowi begitu bangga RI dikatakan sudah menjadi negara maju, tapi soal demokrasinya tidak mencerminkan negara maju. Dalam hal ini saja masyarakat sudah kritik,” katanya.

Sebab itu, ia berharap pemerintah tak mengulang kebiasaan-kebiasaan seperti yang ditunjukkan pemerintah era orde baru. Pergumulan intelektual mahasiswa di dunia kampus seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah agar mereka keluar sebagai generasi yang mampu membawa solusi bagi bangsa dan negara.

“Kekritisan ini semestinya direspons rezim Jokowi dengan perilaku pemerintahan yang pro rakyat, bukan dengan intimidasi atau sok kuasa. Mahasiswa akan makin bergerak lebih meluas,” tandasnya. (*)