Antara Pelecehan Bahasa Sunda dan Ujaran Jin Buang Anak, Polri Akan Presisi?

Pertama, Edy Mulyadi jelas merasa diperlakukan tidak adil oleh Polri. Seolah-olah pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang kesamaan kedudukan dihadapan hukum tidak berlaku lagi. Seolah hukum mengenal kasta, antara penguasa dan rakyat diperlakukan secara berbeda.

Edy juga merasa pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berpendapat, tidak berlaku baginya. Menyampaikan pendapat dituduh SARA, Hoax, dll.

Perlakuan terhadap Edy Mulyadi ini jelas juga menyakiti perasaan dan rasa keadilan masyarakat. Kalau seorang Wartawan Senior saja bisa diperlakukan demikian, bagaimana dengan rakyat biasa pada umumnya ?

Kedua, masyarakat Sunda merasa diperlakukan tidak adil. Laporan yang diajukan terkait penghinaan bahasa Sunda tidak ditindaklanjuti, sementara laporan ‘jin buang anak’ begitu cepat dilakukan pemanggilan pemeriksaan.

Ibukota masih di Jakarta saja, yang jaraknya tidak jauh dari Jawa Barat, bahkan Jakarta dan wilayah sekitarnya (Jabodetabek) banyak masyarakat Sundanya, dikesampingkan tuntutannya. Apalagi kelak jika ibukota negara sudah pindah jauh ?

Sikap Polri ini tentu saja akan mencederai jargon Presisi yang selama ini digembar-gemborkan. Semestinya, Polri tegak lurus memberikan keadilan kepada segenap masyarakat adat dan suku apapun. Jangan sampai, Polri justru berperilaku SARA saat menangani perkara SARA.

Ketiga, masyarakat umum semakin muak dengan corak penegakan hukum di negeri ini yang tebang pilih. Edy Mulyadi yang mengkritisi proyek IKN diproses. Sementara, orang-orang yang pro rezim, seperti Arteria Dahlan PDIP, aman-aman saja.

Ya Allah, lindungilah Bang Edy Mulyadi. Beliau tulus berjuang, dan dalam kasus ini justru memperjuangkan kepentingan masyarakat Kalimantan. Berilah petunjuk dan hidayah, agar segenap rakyat Indonesia menyadari bahaya proyek Oligarki yang disuarakan oleh Bang Edy Mulyadi. [].