Catatan NSEAS: Buruknya Pengelolaan Keuangan Rezim Ini

Terkait rasio pajak terhadap PDB, pd 2015 tercatat mencapai sekitar 13 % (27 Agustus 2015). Menurut Menkeu Sri Mulyani, penerimaan perpajakan terkumpul Rp.1.283.5 triliun sepanjang 2016, sementara target dalam APBN-P 2016 yakni Rp.1.539,2 triliun. Ia kecewa dengan hasil dicapai tersebut. Alih-alih ingin meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, namun jumlah tersebut dianggap masih kecil jika dibandingkan dengan rasio PDB Indonesia. “Kalau dihitung 10,5-10,6 persen, bahkan lebih rendah dari 11 persen,” kata Menkeu dalam konferensi pers di Jakarta, 3 Januari 2017. Utk 2017, rasio pajak terhadap PDB baru mencapai 10,8%. Menurut Menkeu Sri Mulyani, angka ini merupakan salah satu terendah di dunia. Bahkan juga rendah jika dibandingkan negara di Asia Tenggara yang rata-rata 15-16% dari PDB. “Negara lain di ASEAN 15-16% dari PDB, berarti mereka mampu memiliki anggaran lebih banyak dgn kebijakan pembangunan, dan karena saya pernah kerja di Bank Dunia, di bawah 11% itu salah satu terendah,” ujar Sri Mulyani (23 November 2017). Pajak rendah alarm bagi Pemerintah. Apalagi, di satu sisi rasio utang terhadap PDB terus membengkak.

2. PNBP ditargetkan terus meningkat dgn porsi pertambangan umum bertahap juga harus meningkat.

Kondisi sebelumnya era SBY (2014) PNBP mencapai Rp.398,6 triliun, kontribusi APBN 25,85 %. Pd era Jokowi menurun, yakni 2015 hanya Rp. 253,7 triliun, kontribusi APBN 16,85 % ; 2016 relatif tetap Rp. 262,4 triliun, kontribusi APBN 16,81 %; 2017 menurun lagi menjadi Rp. 250,0 triliun, kontribusi APBN 14,29 %. Utk tahun 2015, 2016 dan 2017 era Jokowi, kondisi PNBP menurun, bahkan dibandingkan era SBY. Boleh dinilai, berdasarkan standar kriteria PNBP, kondisi kinerja Jokowi urus keuangan negara buruk.

3.Relokasi subsidi enerji ke belanja produktif. Salah satunya, rasio subsidi enerji turun dari 1,6 % 2015 menjadi 0,6 % 2019.

Kondisi 2014 era SBY, subsidi ke sektor enerji Rp. 282,1 triliun (Rp.210,7 triliun subsidi BBM, dan Rp.71,4 triliun listrik. Pd 2014, subsidi BBM dianggarkan 22 % dari APBN Rp. 1.842,5 triliun. International Energy Agency (IEA) mencatat, rasio subsidi enerji terhadap PDB Indonesia 3 % pd 2012 dan meningkat 3,4 % pd 2014. Pd 2014 juga subsidi enerji Indonesia Rp.350 triliun mencakup 19 % dari total APBN.

Di era Jokowi, subsidi energi dipangkas 70 % lebih selama tiga tahun pertama. Pd 2015 subsidi enerji di bawah Rp.100 triliun atau sekitar 1 % dari PDB, menurun drastis dibandingkan tahun 2014 era SBY (3,4 %). Angka 1 % ini melebih target 2015, yakni 1,6 %. Tetapi, pd 2017, terjadi kenaikan subsidi. Semula anggaran subsidi enerji Rp 77,3 triliun, menaik menjadi Rp 103,1 triliun. Rasio subsidi enerji thdp PDB masih diatas 1 %. Bukannya menurun, malah meningkat. Tentu semakin jauh dari target rasio subsidi enerji 2019, yakni 0,6 %. Kita tunggu saja realisasi target 0,6 % ini pd akhir 2019. Jika tidak tercapai, maka tidak salah jika ada penilaian kondisi kinerja Jokowi berdasarkan rasio subsidi enerji thdp PDB tergolong buruk.

4.Peningkatan kualitas perencanaan dan pelaksanaan anggaran negara. Realisasi rencana kegiatan ini masih perlu mendapatkan data, fakta dan angka resmi Pemerintah. Sementara ini, sejumlah pengamat keuangan negara menilai, target capaian direncanakan banyak meleset dlm realisasi.

5.Peningkatan kualitas pengelolaan desentralisasi fiskal dan keuangan daerah.
Seberapa jauh kualitas dimaksud meningkat karena program atau kegiatan Pemerintah selama 3 tahun era Jokowi, masih perlu dipertanyakan bukti2nya dari Pemerintah.

6. Pencapaian kesinambungan fiskal.
Salah satunya, menjaga rasio utang pemerintah dibawah 30% dan terus menerus diperkirakan menjadi 20,0 % 2019. Juga, menjaga defisit anggaran dibawah 3% dan 2019 menjadi 1,0 % terhadap PDB.

Pd 2016 utang pemerintah Rp. 3.515,4 triliun. Pd akhir 2017 utang pemerintah Rp.3.938,7 triliun atau melonjak sebesar Rp.423,3 triliun dari 2016. Rasio utang thdp PDB masih 29,2 %. Total utang pemerintah saat ini Rp 4.180,61 triliun hingga April 2018. Jumlah ini melonjak Rp 44,22 triliun dibanding posisi Maret sebesar Rp 4.136,39. Liputan6.com mencatat data APBN, (17/5/2018), utang pemerintah Indonesia per April ini Rp 4.180,61 triliun, terdiri dari pinjaman Rp 773,47 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.407,14 triliun. Rasio utang mencapai 29,24% dari PDB Indonesia. Diperkirakan, ke depan utang pemerintah bertambah dan rasio thdp PDB melompat dari angka 29,24 % menjadi melebih 30 %. Target Pemerintah rasio utang thdp PDB 20 % pd 2019 bisa dinilai mustahil terjadi. Karena itu, tidak berlebih-lebihan jika ada penilaian berdasarkan standar kriteria rasio utang pemerintah ini kondisi kinerja Jokowi buruk.