Elit PDIP Tidak Perlu Sombong dan Nantang

Menurut beberapa hasil survei, pendukung PDIP dari pileg ke pileg, konstruksi pendukung tetap berasal kalangan marhaenisme (Soekarnoisme) dan kelompok yang merasa kurang nyaman pada kalangan mayoritas seperti WNI keturunan, kelompok kiri kelompok aliran Syiah, Ahmadiyah serta aliran kepercayaan. Mengenai kelompok aliran kiri diakui sendiri oleh kadernya Ribka Tjiptaning.

Melihat konstruksi pendukung sebenarnya rapuh, hanya sebagian pendukung yang militan atau revolusioner istilah Hasto karena kharisma nama Soekarno/Marhaen, sebagian lagi jika terjadi sesuatu mereka akan kabur, artinya jika elit PDIP tetap saja angkuh, bisa terdepak dari kalangan mayoritas rakyat Indonesia, tidak heran jika tagar bubarkan PDIP pernah trending topik berkali-kali.

Elit PDIP harusnya eling sebagai pemenang pemilu. Tapi bukan terbesar. NU dan Muhamadiyah dan beberapa ormas lainnya punya anggota yang melebihiĀ  jumlah pendukung PDIP. Jangan pula tepuk dada seakan petugas partainya menjadi Presiden, kemenangan karena dukungan koalisi gemuk beberapa partai.

Artinya, tidak dapat berbuat sekehendaknya melahirkan beberapa UU kontroversial, salah satunya RUU HIP Bab II memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Seperti diakui oleh Asrul Sani, Wakil Ketua MPR bahwa RUU HIP adalah usulan PDIP pada acara dua sisi TV One.

Sudah semestinya PDIP meminta maaf kepada rakyat karena telah mengusulkan RUU HIP. Ada kesengajaan tidak memuat Tap MPR RI XXV/1966 tentang larangan terhadap dan ajaran Komunis Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada RUU HIP yang diajukan sebagai inisiatif DPR.

Jika PDIP terbukti punya keinginan merubah/menyelewengkan Pancasila seperti yang termaktub dalam Bab II RUU HIP Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila, menurut konstitusi PDIP bisa dibubarkan karena dianggap telah mengkhianati UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. (end)

*) Penulis: Syafril Sofjan, pengamat kebijakan publik