Hadapi Anies, Mesin Istana “Agresif” Menyerang

Dari 1.799.563 penduduk yang dites, 857.863 ada di Jakarta. Artinya, 48% penduduk Indonesia yang dites covid-19 itu adalah warga Jakarta. Sisanya, yaitu 941.700 itu warga di 33 propinsi.

Penduduk Jakarta itu jumlahnya 10.944.986. Tapi telah melakukan tes PCR sebanyak 857.863. Sementara 33 provinsi di luar Jakarta, jumlah penduduknya 260.407.487. Yang dites PCR 941.700. Terus, gimana mau membandingkan Jakarta dengan 33 provinsi lain? Jumlah tes PCR jomplang banget.

Sekali lagi, 48% penduduk yang mendapatkan tes PCR secara nasional berada di Jakarta. 52% sisanya tersebar di 33 provinsi. Wajar jika Jakarta lebih dulu berhasil melakukan tracing terhadap warga yang terinveksi covid-19. Kalau jumlahnya paling banyak, wajar! Karena yang dites jauh lebih banyak. Rupanya, ini bukan masalah data dan angka. Tapi masalah otak. Ada isinya apa gak? Hehe.

Kalau menggunakan standar WHO, dimana 1 orang dari 1000 orang perminggu yang dites, maka tes di DKI itu 6x lipat lebih tinggi dari standar WHO.

Kalau kita menggunakan analisis mortality (tingkat kematian) karena covid-19, dimana rate mortality global 3,3% dan rate mortality nasional di kisaran 4%, maka rate mortality nasional jauh lebih tinggi dari rate mortality global. Sementara mortality di DKI hanya 2,8%. Jauh lebih rendah dari rate mortality nasional, dan sedikit lebih rendah dari rate mortality global. Bandingkan dengan Jawa Timur 7,3%, Jawa Tengah 6,3%, NTB 5,9%, Sumatera Selatan 5,6%, Bengkulu 4,9%, Sumatera Utara 4,2%, Kalimantan Selatan 4,1%, Sulawesi Utara 3,9% Aceh 3,9%, Kalimantan Timur 3,8% dst.

Kenapa tingkat kematian (rate mortality) nasional dan sejumlah daerah jauh melampaui batas mortality global? Jawabnya sederhana: karena penduduk nasional yang dites masih terlalu amat sedikit. Jauh dibawah standar global  Kalau jumlah penduduk yang dites covid-19 itu sama prosentasinya dengan Jakarta misalnya, maka angka kematian gak akan sebesar itu. Kalau toh selisih, gak akan jauh dari angka kematian global.

Masalahnya, daerah punya dana gak untuk melakukan tes seperti yang dilakukan Anies di Jakarta? Atau dananya masih ngendap di kementerian keuangan? Gimana mau memperbanyak jumlah tes PCR jika gak punya dana? Ini masalah tersendiri.

Jadi, data kematian (mortality) di berbagai wilayah Indonesia di atas  rate mortality global 3,3%, bahkan di atas 7%, jangan dibaca bahwa masyarakat di luar DKI itu lebih rentan mati. Belum tentu! Penyebabnya bukan karena meraka kurang gizi, banyak penyakit, daya tahan tubuhnya lemah. Tidak! Apakah karena kepala daerahnya yang gak pecus atau gak serius? Bisa iya, bisa enggak.

Tapi, faktor yang pasti adalah karena jumlah penduduk yang dites jauh di bawah jumlah standar global. Ini juga menunjukkan bahwa banyak sekali orang Tanpa Gejala (OTG) yang belum mendapat tes PCR. Dan tanpa disadari, mereka terus menebar dan menjadi agen virus ke orang lain. Sesungguhnya ini yang akan memperpanjang masa pandemi di Indonesia. Makin kecil jumlah populasi yang dites, maka akan makin lama negeri ini hadapi pandemi.