Indonesia Dibajak Para Oportunis Menghilangkan Jejak Misteri Pilpres 2019

Akhirnya rakyat sibuk merespon setiap isu. Sebut saja, soal Menteri Agama yang berasal dari Partai Islam berlogo tempat suci ummat Islam, seharusnya garda terdepan membela ummat Islam, tak henti-henti mengeluarkan ide keblinger. Jihad dihapus dari materi pelajaran hingga ummat Islam dilarang menganggap Islam sebagai agama yang paling benar. Sedangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini, ingin mengadopsi sistem pendidikan sekolah Katolik. Memang sistem pendidikan di Muhammadiyah kurang baik sehingga harus mengadopsi sistem pendidikan agama lain?. Bukankah sistem pendidikan pesantren lebih baik dan lebih teruji. Telah menghasilkan ulama dan pemimpin baik lokal maupun nasional.

Demikian pula Menteri Perdagangan telah memantik emosi ummat Islam. Keluarnya Permendag No 29/2019 tentang impor daging sapi tak perlu label halal menuai protes ummat Islam. Menteri Perdagangan dianggap tidak peka dan melukai perasaan ummat Islam sebagai ummat mayoritas di negeri ini.

Terakhir, ummat Islam diramaikan oleh trailer film The Santri yang melecehkan aqidah, mengaburkan adab pergaulan laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, dan sangat jauh dari kehidupan nyata di dunia kepesantrenan yang sangat ketat menjaga syariat Islam.

Begitu pula pasca terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK menimbulkan narasi lain dari sudut pandang rakyat. Indonesia sekarang “Dwi Fungsi Polisi”. Begitu ocehan di media sosial. Mengingatkan kita pada era Pak Harto “Dwi Fungsi ABRI”. Ada kesan, Polisi merambah beberapa jabatan sipil. Polisi lebih hebat dari tentara. Polisi selalu menjadi “pahlawan”. Aksi damai 21-22 Mei Polisi jadi “pahlawan”. Kerusuhan Papua, Polisi juga jadi “pahlawan”. Luar biasa peran dan hebatnya polisi zaman now, persis peran tentara pada era Pak Harto. Tentara, “anak emas” Pak Harto. Sedangkan Polisi, “anak emas” Jokowi.

Ada “tangan tersembunyi” berperan mengkerdilkan peran tentara. “Tangan tersembunyi” dendam politik pada tentara yang telah menenggelamkannya sejak Pak Harto berkuasa. Kini “tangan tersembunyi” itu telah bangkit kembali. Tidak tahu apakah Petinggi Polisi dan Tentara menyadari fenomena ini terjadi?