Koalisi Parpol, Dilema Demokrasi

Semakin banyak poros politik sejatinya semakin baik. Itu artinya, kandidat yang terjaring semakin banyak dan terbuka ruang menemukan calon pemimpin terbaik. Menu figur yang disajikan kepada rakyat pun semakin variatif.

Dalam konteks itulah kasak-kusuk perbincangan koalisi sebaiknya tidak membuat kita terlena. Bagaimana pun juga, peta koalisi di atas sekaligus menjadi dilema demokrasi kita. Mengapa?

Pertama, koalisi lahir akibat syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) oleh partai politik dibatasi minimun 20 persen suara sah nasional atau 25 persen kursi di DPR. Dalam ruang demokrasi, aturan itu tidak perlu ada. Partai politik diakui UU sebagai institusi sah lahirnya calon presiden.

Maka, setiap partai seharusnya dapat mengajukan calonnya sendiri, tanpa embel-embel Presidential Threshold. Lagipula, mudharat Presidential Threshold yang lebih besar ketimbang manfaatnya telah banyak dianalisis sejumlah pakar.

Kedua, ambang batas 20 persen suara nasional partai politik memakai perhitungan pada Pemilu 2019. Padahal, selama lima tahun berjalan, atau setidaknya 3 tahun di saat sekarang, dukungan masyarakat terhadap partai politik tertentu besar kemungkinan telah berubah.

Ketiga, posisi politik Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam perspektif dukungan calon presiden. Kasat-kusut koalisasi sepertinya membuat kita lupa bahwa di Senayan ada dua lembaga legislatif, yaitu DPR dan DPD.

Bila fraksi-fraksi di DPR berhak mengajukan calon presiden, mengapa hak DPD dikebiri? Bukankah lembaga DPD juga merupakan “fraksi” di MPR RI?

Kalaulah pelaku politik nasional jantan dan adil dalam berpolitik, bukan tidak mungkin lahir poros keempat.

Poros ini bisa saja diisi La Nyalla Mattalitti, Rizal Ramli, Gatot Nurmantio, Mahfudz MD, termasuk Anies Baswedan bila tidak terakomodir dalam partai manapun atau calon pemimpin mumpuni lain yang sulit diakomodir partai politik. Tetapi apa boleh buat. Pintu itu ditutup rapat-rapat.

Begitulah, tokoh politik nasional sungguh bergelora menyusun puzzle koalisi. Mereka merasa sedang membangun rumah demokrasi. Padahal tidak. Sama sekali tidak. [FNN]