Pemerintah Jokowi Terlihat Bingung

Hanya karena sumber “hote speech” itu presiden, karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme. Mambangun nasionalisme hanya bermodalkan benci terhadap produk-produkl luar negeri. Tragisnya, hampir 80% kebutuhan pangan kita hari ini adalah Impor, termasuk impor garam dan ayam.

Pemerintah seperti terus dibayangi oleh hantu. Hantu dari kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) terus mengganggu pemerintah. Ketakutan yang luar biasa menghantui pemerintah, hingga tempat Kejadian Perkara (TKP) pun dihancurleburkan. Diratakan dengan tanah. Tidak lagi ada jejak yang ditinggalkan. Penanganan kasusnya dilambat-lambatkan, serta opini yang coba diputarbalikkan.

Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk bagi pemerintah. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), kini giliran Partai Demokrat yang diobrak-abrik. Kudeta lewat Rongres Luar Biasa (KLB) akhirnya jadi juga.

Moeldoko, sang brutus tersebut terang-terangan membunuh SBY yang telah membesarkannya. Moeldoko yang dibesarkan SBY, mulai dari kolonel samai jendral bintang empat, dan berakhir dengan jabatan Panglima TNI. Kini Moeldoko telah menjadi Ketua Umum hasil KLB. Mungkin tidak lama lagi, Surat Keputusan Menkumham tentang pengesaham kepungurusan Moledoko segera terbit.

Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri kini telah bertumpuk-tumpuk, mencapai Rp. 6.233 triliun. Sementara hutang tambahan yang baru, sangat sulit, bahkan setengah mati untuk bisa mendapatkan. Investasi asing juga tidak kunjung tiba, dan terus masih dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci.

Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti dalam kebijakan. Hanya pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung. Aduh biyung…! [FNN]

Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.