Perkiraan Putusan Mahkamah Konstitusi Pada Sidang Gugatan Prabowo-Sandi

Pertelaan-2 : Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang Pilpres 2019 secara Jurdil di seluruh Indonesia atau sebagian Provinsi di Indonesia.

Pertelaan-3 : Menolak permohonan BPN seluruhnya dan menyatakan sah Keputusan KPU No.987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019.

Analisa dan Diskusi 

Di dalam Penjelasan UUD 1945 (18/8/1945) dijelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mewajibkan Hakim dan Hakim Konstitusi  menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, telah sejalan dengan UUD 1945.

Dengan demikian, penegasan Ketua MK bahwa MK tidak bisa diintervensi oleh siapapun, dan sidang dilihat oleh Tuhan YME menjadi tepat. Penegasan tersebut relevan dengan Hukum Moral yang disampaikan Ketua MK saat pembukaan sidang, yang tentunya membuat anggota Majelis Hakim tidak berani sembrono. Semua pihak, terutama para Hakim akan hati-hati, jujur dan adil.

Masing-masing tidak ingin seperti wasit Ali Bennaceur asal Tunesia yang mengesahkan “Goal Tangan Maradona”, yang dihari tuanya sangat menyesal. Para Hakim juga tidak ingin ditangkap seperti kasus Akil Mochtar mantan Ketua MK yang divonis penjara seumur hidup (?) Semua pihak, terutama para Hakim mestinya sadar, bahwa penyesalan itu akan muncul tatkala di atas ranjang menunggu kematian.

Selama Majelis Hakim jujur menilai data dan fakta di persidangan dan mampu menangkap tuntutan kejujuran dan keadilan rakyat, sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, serta tetap berpegang pada Hukum Moral dan Konstitusi, maka dirinya akan selamat dan tidak ada penyesalan. Dengan demikan, ajakan agar rakyat menghormati putusan MK menjadi pas. Selanjutnya, mari kita analisis secara singkat dan sederhana, ketiga pertelaan putusan MK di atas :

Pertelaan-1

Pasal 227 huruf P UU No 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur bahwa pendaftaran Paslon harus dilengkapi surat pengunduran diri dari karyawan atau pejabat BUMN atau BUMD sejak ditetapkan sebagai Paslon peserta Pemilu. Apabila benar tuduhan BPN bahwa Cawapres Paslon 01 tidak mengundurkan diri sebagai pejabat BUMN di bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah terbukti, maka hal itu merupakan cacat formil persyaratan sebagai Cawapres yang melanggar undang-undang.

Cacat formil dari Paslon 01 lainnya adalah dugaan penggunaaan dana kampanye yang absurd dan melanggar hukum. Beberapa hal lainnya yang ditudingkan BPN, sehingga patut diduga telah terjadi pelanggaran yang bersifat TSM antara lain (1) Penyalahgunaan ABN yang dikaitkan dengan program pemerintah (2) Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN (3) Pembatasan pers atau media (4) Diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum (5) Indikasi adanya TPS siluman (6) Kekacauan Situng dan (7) Berbagai macam kasus yang terkait dengan formulir-formulir dan kotak suara.

Semua tuduhan tersebut dilengkapi bukti dan juga sudah mendapat tanggapan dari pihak termohon KPU dan pihak terkait dalam persidangan. Namun, kebanyakan masyarakat awam tidak merasa puas atas sanggahan dan penjelasan dari pihak termohon dan  terkait.

Prof. Jaswar Koto ahli bidang IT dari BPN, memaparkan dugaan kecurangan yang terkait C 1, pemilih siluman, DPT siluman, proses menghitung dll, yang dijelaskan dengan tayangan secara gamblang, sehingga rakyat terperangah, takjub, kagum dan memahaminya apa yang dimaksud kecurangan pada Pilpres 2019. Penjelasan Prof. Jaswar tidak ada sanggahan yang memadai. Logikanya, penjelasan balik dari termohon dan terkait juga dengan tehnis IT yang bisa mematahkan argumentasi Prof. Jaswar. Namun, nyatanya tidak demikian.