Politik Dinasti Dan Kualitas Pemimpin

Walaupun pemilihan pejabat sebelum reformasi, dikritisi sebagai demokrasi berbau budaya feodal, sehingga dilakukan reformasi untuk mengikis tradisi budaya tersebut, namun kenyataannya terbalik. Justru setelah 75 tahun merdeka, ketika digunakan demokrasi yang indiviualistis, dinasti politik subur menjamur.

Masalahnya bukan berhenti di persoalan kedinastian politik saja, tetapi juga merembet ke persoalan kualitas pemimpin. Seperti sinyalemen Mia Syabarniati, persoalan integritas, berpikir strategis, kepemimpinan, kemampuan ambil keputusan,  berkomunikasi, membangun persatuan dan pemberdayaan masyarakat, nyaris tidak tampak.

Mengapa faktor-faktor penting yang seharusnya dimiliki pemimpin nyaris tidak tampak? Karena ketika pemilihan calon tidak melalui ‘saringan’ yang sesuai kebutuhan.

‘Sumber’ calon tampaknya juga tidak melakukan pembangunan kader pimpinan. Kalau pun ada kursus, sampai dimana bobot kursus tersebut mampu mengisi kebutuhan?

Ironisnya, kandidat yang maju sering-sering juga belum pernah kursus, diakibatkan adanya politik dinasti atau nepotisme.

Pengalaman dan seingat penulis, pemilihan calon Taruna Akademi Militer, melalui sistem saringan yang mengukur aspek ilmu pengetahuan, kesehatan badan dan kesemaptaan jasmani serta kesehatan jiwa dan psikometri.

Melewati saringan ini, akan diketahui tingkat ilmu pengetahuannya, kesehatan, dan kesempatan jasmaninya, kesehatan jiwa dan dimensi kepribadiannya seperti aspek berpikir, emosi, motivasi dan nilai-nilai dari visi hidupnya.

Idealnya, untuk mendapat calon anggota dewan dan calon pemimpin publik dan pejabat negara, seyogyanya juga melalui sistem saringan yang mampu mengukur aspek-aspek di atas.

Melalui saringan yang ketat, kita akan memperoleh calon pemimpin yang berkualitas sebelum masuk arena pemilihan. Sehingga jika terpilih, diharapkan bisa menjadi pemimpin berkualitas

Untuk itu, diperlukan saringan kombinasi metode ‘Assessment Center’ dengan ‘Psychological Assessment’. Saringan ini mampu mengungkap kompetensi yang sudah aktual pada diri seseorang, juga dapat mendeteksi ‘underlying factors’ seperti karakter, sikap, intelegensia dan motif sebagai predisposisi sesorang dalam bertindak dan berperilaku tertentu, kata Dra. Mia Syabarniati.

Persoalan rekrutmen dan kualitas pemimpin di atas memiliki korelasi dengan hasil penelitian LIPI. Asiah Putri Budiarti, Peneliti Pusat Kajian Politik LIPI terkait Pilkada serentak 2020 mengatakan, Pemilu tahun ini menunjukkan kegagalan Parpol dalam merekrut calon Kepala daerah berdasarkan kader internal partai. (Gatra.com, 09/12/2020).

Gambaran tentang dampak buruk Sistem Pemerintahan Presidensial dan Demokrasi Liberal, sehingga membelah persatuan Indonesia serta menjamurnya politik dinasti dan kualitas pemimpin yang memprihatinkan di atas, semua itu disebabkan amandemen UUD 1945 yang melahirkan Demokrasi Liberal dan Presidensial ala Amerika. Apakah akan kita pertahankan?

Apa dasar MPR melakukan amandemen yang menghasilkan UUD 2002? Jawaban umum dari pengamandemen, Bab XVI Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar. Ditinjau dari sisi hasil amandemen, tepatkah penggunaan Pasal 37 UUD 1945 sebagai dasar amandemen UUD 1945?

Untuk menguji kebenaran jawaban, akan dibahas dalam artikel lanjutan ke-4. Sesungguhnya, apa makna Pasal 37 UUD 1945 yang dimaksud oleh ‘Founding fathers’ saat menyusun dan menetapkan UUD 1945?

Selamat membaca, semoga paham. InsyaAllah, aamiin.[]

Penulis: Mayjend (Purn) TNI Prijanto, (Wagub DKI Jakarta 2007-2012

Rumah Kebangkitan Indonesia)