Prabowo Gagal Nyapres, Gerindra Nyungsep

Kepemimpinan otoritas tradisonal dan kharismatik itu rapuh. Kuat selama orang yang ditokohkan masih hidup. Mati, ya organisasi, partai atau komunitas apapun, akan kehilangan sosok yang dibuat gantungan.

Pesantren dengan pengasuh (kiai) berbasis otoritas tradisional dan kharismatik, ketika kiai itu meninggal, sepi. Jumlah santri akan berkurang. Bahkan tidak sedikit gulung tikar. Apalagi kalau enggak punya penerus, pesantren berubah jadi asrama, bahkan gudang sembako.

Beda dengan pesantren modern seperti Gontor, Darun Najah, dan sejenisnya, berganti pengasuh, bahkan enggak ada tokohnya sekalipun, sistem belajar di pesantren tetap jalan. Sebab, sistemnya sudah kuat. Enggak bergantung pada keturunan dan kharisma kiai.

Teori ini berlaku juga buat partai yang sangat bergantung pada kharisma pemimpinnya.

Gerindra saat ini, adalah salah satu partai yang kepemimpinannya  berbasis pada otoritas kharismatik. Sangat bergantung sosok bernama Prabowo.

Jika Prabowo di Pemilu 2024 tidak nyapres atau gagal nyapres, siap-siap Gerindra terpuruk. Boleh jadi akan sejajar perolehan suaranya dengan PPP di Pemilu 2019 kemarin. Jadi partai gurem.

Memang, dalam politik, tak selalu ada banyak pilihan. Bahkan seringkali hanya tersaji satu pilihan. Termasuk nasib PKS, PPP, dan PAN di Pemilu 2024. Ketiga partai ini berisiko ketika 2024 berkoalisi dengan PDIP.

Sebab, konstituen tiga partai Islam ini sedang marah sama PDIP. Bila memaksakan diri, bisa nyungsep.

Begitulah politik, tidak selalu ada pilihan leluasa. Apalagi, ada partai Gelora yang sekarang sedang membayang-bayangi PKS, dan ada Partai Ummat yang siap mengambil ceruknya PAN.

Jangka pendek, yaitu Pilpres 2024, Gerindra punya dua pilihan. Pertama, capreskan Prabowo, Gerindra selamat. Soal menang kalah, itu nomor dua belas. Yang penting dapat banyak kursi di DPR. Kedua, tidak capreskan Prabowo, siap-siap Gerindra kehilangan banyak kursi di DPR.

(Penulis adalah pengamat politik dan pemerhati bangsa)