Rumah Autis untuk Kaum Dhuafa

Autis. Banyak orang yang mengenal kata ini, namun sedikit yang ambil peduli mengenai masalah tersebut. Meskipun istilah autis sendiri baru marak di Indonesia sekitar tahun 2000-an, mungkin sudah banyak anak-anak yang menderita gangguan ini. Seperti layaknya ‘produk kesehatan’, terapi autis kian marak di berbagai rumah sakit dan klinik. Tak jarang, orang tua harus merogoh kocek dalam-dalam untuk memberikan terapi autis bagi anaknya. Sayangnya, biaya terapi yang berkisar Rp100—Rp150 ribu per pertemuan itu jadi kendala buat sebagian orang tua yang tidak mampu secara ekonomi, padahal di sisi lain, autis tidak hanya dialami oleh orang kaya. Akhirnya ada istilah: termiskinkan oleh terapi karena biaya terapi yang mahal. Kondisi inilah yang menjadi semangat bagi Deka Kurniawan, Laeli Ulfiati, Isti Munawaroh, dan Henny Ma’rifah untuk mendirikan Rumah Autis, sebuah tempat terapi autis untuk kaum dhuafa.

Kontrakan Jadi Tempat Terapi

Rumah Autis berdiri pada Desember 2004 di Bekasi, tepatnya di Kampung Rawalele, Jatimakmur, Pondok Gede, yaitu rumah kontrakan Deka dan Ulfi, suami istri yang concern terhadap masalah autis. Setelah mendengar curhatan dari dua teman pengajiannya, Isti dan Henny, Ulfi dan suami pun bertekad mendirikan Rumah Autis untuk memfasilitasi kebutuhan terapi untuk anak-anak dari kaum dhuafa. Isti dan Henny yang memiliki latar belakang pendidikan terapi juga memutuskan untuk fokus di Rumah Autis. Sementara itu, Deka yang juga wartawan Hidayatullah terus ‘bergerilya’ mencari dukungan dan sponsor, salah satunya melalui milis ‘putrakembara’. Sambutannya sangat luar biasa. Rumah Autis pun mendapat kucuran bantuan baik berupa dana maupun alat-alat terapi. Sayangnya, beberapa waktu kemudian, usaha Deka di-banned oleh admin milis karena ada larangan penggalangan dana di milis. Namun, Alhamdulillah, Rumah Autis sudah dikenal di beberapa kalangan dan mendapat dukungan dan tetap berdiri hingga saat ini.

Menjelang tahun 2010, Rumah Autis sudah memiliki tujuh cabang di wilayah Jabodetabek, yaitu di Bekasi (Jalan Ratna, Jatibening), Tangerang (Villa Tangerang Indah), Bogor (Gunung Putri dan Pakuan), Jakarta (dekat terminal Tanjung Priok), dan Depok (Jalan Margonda Gg. Beringin). Sementara, satu cabang lagi sedang dipersiapkan berdiri di Karawang Barat. Keinginan untuk menjangkau masyarakat lebih luas lagi, pada tahun 2010 ini, Rumah Autis menargetkan untuk membangun 15 cabang lagi, khususnya di wilayah Jakarta dan Banten.

Autis is Long Life Disorder

Autis bukan penyakit, artinya, ia tidak bisa disembuhkan. Berbeda dengan penyakit, autis adalah semacam gangguan yang dialami seorang anak sejak lahir hingga akhir hayat. Oleh karena itu, orang tua harus memahami gejala-gejala autis sejak dini agar dapat membantu si anak untuk sedapat mungkin tumbuh normal seperti anak-anak yang lain. Sedini mungkin penanganan dilakukan, makin besar peluang si anak untuk tumbuh normal seperti anak lain.

Tak mudah merawat anak autis. Orang tua harus ekstra perhatian dan juga ekstra bimbingan kepada anak autis, termasuk dalam hal makanan. Menurut Aswita, kepala cabang Rumah Autis Depok, anak autis intoleran terhadap makanan tertentu, makanya harus diberikan diet. “Kalau dibilang alergi, bukan, sebenarnya intoleran. Pencernaannya menolak makanan tersebut, contoh: gluten kayak tepung terigu, roti-rotian, sereal, trus kasein, susu sapi dan turunannya, keju, es krim dan sebagainya,” ujar Aswita yang juga mempunyai seorang anak yang menderita autis.

Salah satu murid yang sedang diterapi bernyanyi sambil melakukan gerakan ‘topi saya bundar’

Selain menyarankan diet, Rumah Autis memberikan IEP (Individual Education Programme) untuk murid-muridnya, misalnya dengan terapi ABA (Applied Behavior Analysis). Rumah Autis Bekasi, yang merupakan cabang pertama Rumah Autis, bahkan sudah menerapkan format sekolah untuk murid-muridnya. Di Rumah Autis, murid-murid diberikan terapi sesuai dengan tingkat autisnya. Ada yang sudah bisa diberikan remedial pelajaran sekolah, ada yang diberikan terapi perilaku, atau juga dilatih sensori integrasinya dengan bermain bola. Biasanya, setelah satu jam diterapi, terapis akan memberikan catatan kepada orang tua mengenai kegiatan apa saja yang dilakukan hari itu beserta nilainya.

Meski terlihat mudah, namun, menjadi terapis bagi anak-anak autis sangatlah sulit. Rumah Autis menerapkan training unik bagi para calon terapisnya. Calon terapis tidaklah harus berlatar pendidikan terapi, yang penting, dia harus menyukai anak-anak. Kemudian, dia harus sabar dan mau belajar. Setelah itu, Rumah Autis akan melepas calon terapis selama dua minggu untuk menangani para murid. Ada yang bertahan, ada pula yang kabur karena tidak tahan oleh murid yang menggigitnya. Memang anak autis mempunyai tenaga yang luar biasa dan oleh karena itu, membutuhkan penanganan yang luar biasa pula. Pernah suatu kali, salah satu anak autis yang sedang diterapi mengejutkan terapisnya karena buang air besar di ruangan terapi. Karena pencernaan yang tidak sama dengan anak normal, fesesnya pun mengeluarkan bau luar biasa. Sang terapis pun harus menunggu beberapa waktu untuk membersihkan feses si anak.

Melihat kejadian luar biasa yang harus ditangani para terapis, tak heran, SDM menjadi salah satu kendala Rumah Autis. Selain sulit mendapatkan terapis yang bekerja karena panggilan hati, sulit pula mendapatkan terapis laki-laki untuk menangani anak-anak autis laki-laki yang sudah akil baligh. Di sisi lain, menurut M. Nelwansyah, Ketua Rumah Autis, kendala tersebut diperparah dengan berkembangnya paradigma ‘mustahil melakukan terapi untuk anak autis tanpa biaya yang besar’. “Semua orang melihat uang. Nggak bisa, nggak mungkin itu bisa, bahkan ketika kita sharing sama terapis, nggak bisa untuk menangani anak autis tanpa uang,” ujar pria yang akrab dipanggil Wawan ini.

Semua kendala itu dihadapi Rumah Autis dengan tetap menjalankan kegiatannya dengan semangat.

“Saya berpikirnya, kenapa kita bisa berkembang karena ada segmentasi yang tidak tergarap atau terjangkau. Itu juga yang membedakan kita dengan terapi yang lain, kalau kita mendekati orang itu bukan karena hitung-hitungan uangnya tapi karena kebutuhan. Pendekatan hati, yang kita lihat bukan karena dia punya uang atau tidak punya uang tapi karena anaknya yang harus kita tangani,” ujar Wawan yang baru menjadi Ketua Rumah Autis per 9 Desember lalu.

Berupaya Menjaring Dukungan Pemerintah

Rumah Autis merupakan salah satu tempat terapi yang terjangkau. Ada dua klasifikasi murid di Rumah Autis, yaitu beasiswa dan nonbeasiswa. Ada yang namanya subsidi silang. Orang tua yang mampu dapat membantu orang tua yang tidak mampu untuk meringankan biaya terapi. Tentu saja, standar ‘mampu’ di sini berbeda dengan kemampuan orang tua yang dapat melakukan terapi di rumah sakit besar. Biaya terapi di Rumah Autis hanya Rp35 ribu per pertemuan dan terapi dapat diberikan 3 kali dalam seminggu. Biaya ini jauh lebih ringan dibandingkan biaya terapi di rumah sakit besar atau klinik terapi yang jumlah ratusan ribu per terapi. Usaha ini dapat lebih luas menjangkau masyarakat jika ada andil pemerintah dalam mendukung Rumah Autis. Namun sayang, peran pemerintah terhadap masalah autis belumlah memadai. Kita dapat menilai dari tidak adanya bidang khusus yang menangani masalah autis dan gangguan lain, yang ada malah di bawah bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang banyak menangani masalah disabilities (cacat).

Pentingnya awareness (kesadaran) masyarakat dan pemerintah terhadap autis ini yang terus diupayakan oleh Rumah Autis. Ke depannya, Rumah Autis yang berada di bawah naungan Yayasan Cahaya Keluarga Fitrah (CAGAR) ini menargetkan untuk bekerja sama dengan puskesmas dan posyandu, misalnya dalam memberikan pelatihan bagaimana mendeteksi anak autis. Selain itu, setidaknya, ada tiga departemen pemerintahan yang dapat bersinergi dalam menanggulangi masalah autis ini, yaitu departemen kesehatan (karena berkaitan dengan membangun kesadaran masyarakat tentang autis), departemen pendidikan (melalui PLB dan PAUD agar dapat memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah tentang autis), dan departemen sosial (karena banyak pula orang tua yang tidak sanggup membayar terapi yang mahal).

Dengan jumlah relawan sekitar 40 orang yang tersebar di tujuh cabang, Rumah Autis sampai saat ini mampu menangani lebih dari 100 siswa. Anda yang ingin membantu pengembangan Rumah Autis atau pun yang ingin mengetahui lebih lengkap mengenai Rumah Autis dapat mengunjungi link berikut.
rumahautis.blogspot.com, rumahautis.org, rumahautisdepok.blogspot.com, atau facebook: Rumah Autis.

Alamat Rumah Autis:

Bekasi
Jalan Al-Husna RT 01/01 No. 39
(Jl. Ratna, belakang Swalayan KRUI/ATM BCA), Jatikramat, Jatiasih, Bekasi 17412
Telp. 021-7098 22 39/ 021-7030 55 11
Fax. 021-8499 5025
e-mail: [email protected]

Tangerang
Perumahan Villa Tangerang Indah, Jalan Rinjani IV No. 20, Kelurahan Gembor, Kec. Periuk, Kota Tangerang
Telp. 021-9828 8763

Jakarta Utara
Kompleks PJKA RT 04 RW 011 No. 13 Bahari, Tanjung Priok,
Jakarta Utara 14310
Telp. 021-98079759

Bogor
Jln. Durian III Blok C No. 9, PERUM Gunung Putri Permai,
Bogor 16961
Telp. 021-86860371

Depok
CP: Aswita (021-987 63127)

Dukung Rumah Autis dengan mengisi rekening akhirat Anda di:

  1. Bank Syariah Mandiri (BSM) Kalimalang No. 069.700.3809 a.n. Laeli QQ Yayasan Cahaya Keluarga K;
  2. Bank Muamalat No. 9000193577 a.n. Deka Kurniawan;

(ind)