Bapak Tak Lagi Ingin ke Masjid (Bag. 1)

Laksana pendaki yang berhasil mencapai puncak suatu gunung, demikianlah agaknya perasaanku pada waktu itu. Lewat perjuangan panjang berbilang tahun, dengan hitung-hitungan yang serba rumit, bikin senewen, bahkan terkadang memicu pertengkaran, serta melewati berbagai keterbatasan yang menghalangi, akhirnya berhasil juga aku memiliki rumah sendiri. Meski bukan rumah mewah, bukan pula di real estate, juga bukan berada di Ibu kota, bahkan terlontar jauh mendekati kota Bogor, namun inilah rumahku. Dengan luas tanah tercatat di sertifikat 150 M2, dan luas bangunan tertulis di brosur 78M2, inilah prestasi yang berhasil kuraih, tentu bersama isteri, dengan perjuangan setengah mati.

Aku bahagia. Ya, sungguh bahagia. Memang masih ada cicilan selama belasan tahun yang harus kulunasi hingga anak-anakku lulus kuliah nanti. Tapi biarlah. Toh semua sudah aku dan isteriku perhitungkan dengan seksama. Memang masih ada kemungkinan kami tak kuat membayar cicilan karena salah perhitungan. Tapi biarlah, toh hidup memang penuh risiko.

Aku bahagia. Bahkan sangat bahagia. Karena rumah ini bukan untuk aku tempati sendiri, melainkan akan ditempati oleh kedua orang tuaku. Selama ini mereka mengontrak. Ya, sudah hampir lima tahun mereka menjalani hidup sebagai ‘kontraktor’. Sungguh suatu perjalanan nasib yang menyedihkan di hari tua mereka. Setelah berjuang keras seumur hidup membiayai kami, aku dan adik-adikku, mereka gagal mempertahankan rumah kami tercinta. Rumah penuh kenangan tersebut disita bank, karena dijadikan agunan ketika dahulu bapak meminjam uang untuk modal usaha. Bapak tak lagi sanggup membayar cicilan ke Bank, dan dengan berat hati melepas sertifikat rumah menjadi milik Bank. Toko bangkrut, rumah disita, Bank tak peduli. Namun aku dan adik-adikku semua sukses menjadi sarjana. Begitulah.

Namun menjadi sarjana nyaris bukan berarti apa-apa di zaman banyak orang pintar ini. Perlu perjuangan lima tahun penuh bagi aku dan isteriku untuk dapat membeli rumah sekedar layak huni saja. Tak ada pengembang perumahan yang menanyakan ijazah kami yang asli keluaran Universitas Indonesia. Mereka hanya tertarik menanyakan slip gaji kami, yang dengan sungguh-sungguh kubuat seasli mungkin, tanpa rekayasa angka-angka dari bagian SDM agar angkanya terlihat besar dan lebih mengesankan di mata pengembang.

Jadi, bisa dibayangkan, betapa bahagianya aku, berhasil membelikan sebuah rumah di kawasan nan teduh lagi sejuk buat kedua orang tuaku. Mereka tak lagi mengontrak. Tak perlu cemas memikirkan uang kontrakan saban tahun. Tak perlu khawatir apakah tahun ini diperkenankan memperpanjang kontrakan ataukah harus pindahan mengangkut barang-barang mencari kontrakan baru. Tak perlu menyesali nasib karena menjalani hari tua di rumah orang.

Aku sendiri tak mungkin meninggali rumahku yang baru kubeli itu. Letaknya terlalu jauh dari tempat kerjaku. Juga berjam-jam dari tempat isteriku mengajar. Pun sama jauhnya dengan lokasi sekolah kedua anakku. Jadi, kami – aku dan isteri beserta kedua anakku – tetap tinggal di kontrakan kami tercinta. Semua demi alasan efisiensi. Bukankah efisiensi sekarang menjadi kata sakti yang didengung-dengungkan semua orang?

Adapun orang tuaku, mereka sungguh-sungguh bersyukur. Tempat tinggal yang baru ini memang cocok untuk orang-orang seusia mereka. Jauh dari keramaian, namun dekat dengan Masjid. Polusi udara tak terlalu pekat. Masih banyak pepohonan dengan dedaunan yang lebat. Saat pagi, udara masih terasa begitu segar. Belum ada motor yang menderum-derum lewat, atau para eksekutif perusahaan yang memacu sedannya seperti mobil pemadam kebakaran.

Pegunungan pun tampak biru membayangi, seolah melatari kompleks perumahan. Indah sekali. Seperti tinggal di kawasan Puncak rasanya. Sisa-sisa embun bergayut, bergantungan malas di ujung-ujung rerumputan, menandai menggeliatnya hari baru. Terkadang melintas kodok yang kesiangan, kebingungan mencari arah pulang.

Saat malam, udara sejuk melintas memasuki sela-sela pintu dan kusen jendela. Suara serangga malam bersahut-sahutan, tak terhitung jenisnya. Suatu konserto doa mensyukuri alam yang masih ramah untuk mereka tinggali.

Pagi dan malam sama indahnya.

* * * *

Enam bulan berlalu sejak kepindahan. Setengah memaksakan diri, akhirnya aku berhasil menyempatkan diri singgah. Dengan mengendarai sepeda motor, dibutuhkan waktu hampir dua jam untuk sampai ke kawasan Parung, Bogor. Jarak tempuh yang relatif jauh inilah yang menyebabkanku jarang-jarang menyinggahi ayah dan ibuku. Ini adalah kunjunganku yang pertama sejak kepindahan dulu. Hari ini, setelah enam bulan mereka menempati rumah baru, aku akhirnya berkunjung.

“Gimana pak tinggal di sini, enak?” tanyaku sambil duduk lesehan, meluruskan kaki, mengambil ancang-ancang untuk rebahan. Ruang tamu yang tidak seberapa luas itu terasa lapang, karena tidak dipadati oleh sofa, meja tamu, kipas angin, lampu gantung dan atribut-atribut mubazir lainnya. Hanya selembar karpet tua yang bersih terhampar, menggodaku untuk berbaring.

“Yah, alhamdulillah, ” jawab bapakku singkat. Beliau memang selalu begitu. Tak banyak bicara. Menjawab seperlunya. Bahkan bertanya pun seperlunya pula. Tapi aku yakin jawaban beliau jujur apa adanya. Orang yang bicaranya sedikit biasanya jujur, begitu pikirku. Entah benar, entah tidak. Tapi beliau terkadang bicara panjang lebar, jika menemukan hal-hal yang kurang berkenan. Kulihat kulitnya lebih bersih, bahkan lebih putih. Wajahnya lebih cerah, dan sepertinya berat badannya pun bertambah. Aku tersenyum, bersyukur, dan berbaring. Dua jam di atas motor otot-otot di seluruh tubuhku menjerit-jerit minta istirahat.

Tak lama kemudian ibuku keluar dari kamar. Nah, berlainan dengan bapakku yang bicara serba singkat, ibuku justru senang membicarakan apa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kedatanganku yang tiba-tiba, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, telah memberikan kejutan yang menyenangkan baginya. Dan jika senang, ibuku semakin semangat berbicara. Beliau langsung menghujaniku dengan rentetan pertanyaan.

Di ruang tamu, beliau menanyakan kabar isteri dan anak-anakku, kenapa isteriku tidak diajak, apakah di tempat tinggalku sering turun hujan atau tidak, apakah anak-anak baik-baik saja (pertanyaan yang ini beliau ulang dua kali, yang kujawab dua kali pula). Kemudian beliau berjalan ke dapur, dan setengah berteriak, menanyakan kabar pekerjaanku, seolah beliau paham betul apa yang kukerjakan di kantor. Sambil membuatkan minuman, masih setengah berteriak, beliau menanyakan kabar sekolah anak-anakku, kapan bagi raport, dan apakah liburan nanti jadi main kemari. Beliau bahkan masih juga sempat mengajukan pertanyaan,

“Gulanya berapa sendok nih?”

Setelah minuman terhidang, dan aku tidak jadi tertidur, mengalirlah berbagai cerita tentang kesibukan kedua orang tuaku di tempat barunya ini.

“Sekarang bapak sudah jadi imam Masjid di masjid komplek ini!” kata ibuku dengan semangat. Ada nada bangga yang terselip, di sela-sela kalimatnya yang riang.

“Bukan imam Masjid bu, imam salat, ” kata bapakku meluruskan. “Kalau imam Masjid, namanya pak Komar. Kalau bapak, kadang-kadang saja jadi imam, jika pak Komar berhalangan.”

Ibuku mengabaikan saja informasi itu. Apa bedanya? Kan sama-sama imam! Mungkin demikian pikirnya. Aku tersenyum saja.

“Setiap selesai sholat, bapak sering memimpin wirid, dzikir dan membaca doa. Untung bapak hapal doa-doa. Dulu waktu tinggal di Cililitan, bapak kan sering ikutan pengajian orang-orang Betawi. Jadi sekarang bapak sudah lancar memimpin doa”, lagi-lagi ibuku yang bercerita dengan lancar. Bapakku hanya diam, tampak berpikir. Misterius. Selama bertahun-tahun aku mengenalnya, biasanya ada suatu cerita tersembunyi yang hendak beliau ungkapkan, jika beliau terdiam seperti itu.

Tapi ternyata, untuk saat ini, beliau hanya melontarkan satu kalimat, “Di sini kan banyak orang-orang muda, jadi bapak yang dituakan.” Sesederhana itulah penjelasan beliau.

Nah, aku sebenarnya baru tahu kalau perumahan ini berisi orang-orang muda. Rupanya mereka adalah para keluarga muda, para pekerja yang umumnya bekerja di kawasan Bogor. Jadi tak terlalu jauh. Tak ada risiko kena macet, terlambat ke kantor, atau pulang kemalaman. Mereka adalah orang-orang yang kira-kira seusia denganku. Wajar saja jika bapakku kemudian dituakan.

Hari itu, aku pulang dengan tubuh letih namun hati lega berbunga-bunga. Bapak ibuku telah menemukan komunitas yang tepat di hari tua mereka. Para tetangga umumnya orang-orang terdidik, muda, seusia denganku, dan menempatkan bapak ibuku seolah orang tua mereka sendiri. Bapak rajin ke masjid, salat lima waktu, memimpin salat, memimpin wirid, dan ibuku rajin ke pengajian, menengok bayi yang baru lahir, dan menerima kiriman nasi kuning setiap kali ada anak yang ulang tahun.

Sungguh hari tua yang ideal!

(bersambung)

Tentang Penulis:

Sabrul Jamil, lahir di Jakarta 13 Maret 1973. Lulusan Universitas Indonesia jurusan matematika ini lebih banyak bekerja di bidang teknologi informasi. Tapi masih menyempatkan diri untuk menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan ringan. Puluhan tulisannya sudah dimuat di rubrik oase iman Eramuslim. Karya tulisnya berjudul "Buku Petunjuk Pembuatan Aplikasi Point Of Sale Menggunakan PHP dan MySQL, " diterbitkan oleh Dian Rakyat pada tahun 2006.