Perempuan dan Cincin di Jarinya (bag. 2)

Siska menyeruput lemon tea yang mulai terasa hambar. Ia menarik napas dalam-dalam.

“Jadi … selama ini … Karin … dan yang membuat kamu adi aneh … ck … cincin kawin!” Siska berkomentar tak jelas. Seketika ia langsung merasa kasihan pada Maya. Seorang wanita karir yang masih single, dengan segudang kesuksesan, memiliki sifat supel dan menyenangkan, yang akhir-akhir ini berselimut kabut hingga menutupi segala keceriaan yang dulu tampak.

“Ya. Cincin itu. Aku iri.” Tukas Maya. Kali ini dengan nada tak acuh.

“Duh, May …” Siska tak tahu lagi musti berkomentar apa. Ibu muda dengan satu anak ini mendesah. Bagaimana perasaannya dulu ya ketika aku menikah, batinnya. Gurat lelah begitu jelas tampak pada wajah Maya, membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. Mereka meneruskan makan dalam diam.

Obsesi Maya terhadap wanita-wanita bercincin itu kian menjadi. Ia bukan hanya bisa terbengong dan menatap lama-lama obyek pandangannya, kini ia mulai membenci mereka. Termasuk Karin. Walau tetap saja kebencian yang dibuat-buat itu hanyalah sebuah puncak keinginan yang belum dapat teraih. Maya tak bisa berbuat apa-apa. Kabut yang menyelimuti wanita cerdas ini tak hanya makin pekat, melainkan kian berpusar menenggelamkannya pada kesibukan dan lagi-lagi kesibukan. Produktivitasnya berlipat-lipat, nyaris tak ada waktu barang semenit pun diluangkannya saat rehat di kantor. Ia terus saja bekerja dan bekerja, berhenti hanya untuk makan, ke toilet, dan menunaikan salat. Tak satu pun percakapan maupun teguran yang ia ladeni. Maya semakin tertutup, ketus pada siapa saja. Terutama Karin.

Pandangannya terpaku, hampir-hampir keningnya menempel pada kaca etalase. Matanya tertuju pada sebuah cincin emas bertabur berlian kecil di sampingnya, melingkar cantik. Sebuah mas kawin yang mahal pastinya.

“Makanya May, kamu tidak pernah mau dengar kata-kataku, sih. Kerja sih kerja, tapi mencari jodoh juga perlu konsentrasi.” Siska menasehatinya suatu kali, kira-kira dua tahun lalu, menjelang pernikahannya. Maya hanya mencibir menanggapinya waktu itu. Konsentrasi? Saat mengoreksi laporan keuangan dari staf keuangan di kantor, itu baru berkonsentrasi namanya. Begitu pikirnya waktu itu.

“Sudah umur segini, mau sendiri sampai kapan?” protes dari ayah dan ibunya pun seperti angin lalu. Mereka tidak tahu, betapa sudah sejak lama Maya memimpikan bahwa akan ada yang memberikannya sebuah cincin, walaupun sederhana, dan kemudian ia akan membanggakannya dan memandanginya tanpa bosan. Hanya mimpi.

***

“Bagaimana kalau ada yang mau melamar kamu, tapi kamu harus mau menerima dirinya apa adanya?”

“Ya jelas mau, dong. Kalau memang cocok, dan memang akhirnya aku harus menerimanya apa adanya kan? Seperti halnya dia yang juga harus mau menerima aku apa adanya.”

“Maksudku, kamu harus menerima segala kondisi yang ada pada dirinya. Aku tidak membicarakan masalah cacat tubuh dan yang sejenisnya. Apakah kamu mau menerima konsekuensi dari kondisinya tersebut?”

“Hm … memangnya kondisi seperti apa, sih? Kok aku jadi ngeri.”

“Dia sudah beristri dan beranak lima orang.”

Percakapan terhenti. Maya merenung dalam. Gurat keraguan jelas terpampang di wajahnya. Usia yang melekat pada dirinya sudah bukan lagi waktunya pilah-pilih. Tapi siapapun pasti ingin mendapatkan yang terbaik bagi dirinya. Sekaligus sebuah kesempatan yang mampir saat ini tak mungkin ia tolak dengan serta merta. Jadi apa yang musti ia lakukan? Syariat untuk berpoligami mungkin salah satunya akan memberikan kemaslahatan bagi wanita seperti dirinya. Kering yang selama ini ia rasakan di benak, ah, rupanya malam-malamnya akhir-akhir ini terlalu sepi dari mengadu pada-Nya. Maya bertekad memulai kembali.

***

Seminggu setelah percakapan tersebut, Maya menyempatkan diri menemui Siska di sela kesibukan kantor. Wajahnya kini tak sekelam biasanya. Malah ia tampak agak lebih ceria. Siska sedikit heran, walau juga merasa senang atas kegembiraan yang mungkin sedang dinikmati sahabatnya itu.

“Ada berita besar apa, May? Kok sepertinya kamu habis menang undian berhadiah, begitu.”

“Impianku, Sis …” bukannya meneruskan kalimat sampai selesai, Maya malah memotongnya sambil tersenyum lebar sekali.

“Impian apa? Maksud kamu apa sih, May? Jangan bikin aku bingung begitu, ah.” Siska mulai kesal sekaligus penasaran.

Maya tak menjawab. Ia malah memainkan jari-jemari tangan kanannya di depan muka Siska. Jelas saja Siska membelalak sedikit kaget akan aksi Maya itu. Ia bertambah bingung, tapi lama-kelamaan mulai menebak-nebak. Maya hanya tersenyum-senyum misterius.

“Maksud kamu … ap … siapa … ah! Masa sih, May? Siapa dia?” akhirnya Siska berseru antusias. Maya tergelak, seakan lega.

Maya pun menceritakan, bahwa sekitar sebulan belakangan ini ia sering berbincang dengan seseorang melalui chatting room di intra net perusahaan. Seseorang yang juga salah satu karyawan di departemen yang sama dengannya. Awalnya memang tidak ada pembahasan yang luar biasa. Tapi lama-lama menjurus kepada urusan kebiasaan pribadi, kegemaran, atau hanya iseng saling menyapa di kala suntuk menyerang. Tak sadar pembicaraan yang awalnya singkat-singkat saja itu berubah menjadi sesuatu. Sampai kepada pembicaraan sepekan lalu, ketika urusan lamar-melamar digulirkan menjadi topik utama.

“Maksud kamu orang itu ingin menjodohkan kamu dengan seorang temannya? Begitu, May?”

“Awalnya aku pikir juga begitu, Sis. Sampai ketika ia menanyakan soal penerimaanku terhadap segala kondisi yang ada. Apakah aku siap atau tidak bila harus menerima seseorang dengan apa adanya.”

Dahi Siska mengerenyit.

“Kemudian ia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud bukanlah urusan cacat fisik dan sejenisnya. Melainkan kondisi si pelamar yang telah beristri dan memiliki tujuh orang anak.” Kalimat terakhir Maya ucapkan dengan sepelan mungkin, namun cukup jelas terdengar di telinga Siska. Kontan saja Siska melotot.

“Maksud kamu?”

“Ya, sebenarnya ia berbicara tentang dirinya sendiri, Sis. Aku baru menyadari ketika ia menjelaskan kondisi yang ia maksud itu.”

Siska tak tahan untuk tidak ternganga lebar. Pembicaraan Maya dengan fasilitas intra net perusahaan, sudah jelas si lawan bicara adalah karyawan di perusahaan yang sama. Temannya juga. Laki-laki, sudah pasti, mengemukakan tentang sudah beristri dan beranak lima. Setahu Siska hanya satu orang di departemen yang sama tempat ia dan Maya bekerja yang memenuhi kriteria tersebut. Dan ia mengenal baik orang itu. (bersambung)