Bapak Tak Lagi Ingin ke Masjid (Bag. 3)

Ramadhan tahun ini indah sekali. Bahkan ketika pada hari raya kami kembali berkunjung, kami mendapat berita mengejutkan bahwa bapakku mendapatkan THR dari Masjid, sebagai salah satu imam.

Bayangkan, THR!

“Enggak pernah seumur hidup Bapakmu dapat THR kan?” kata ibuku, campuran antara informasi dan pertanyaan.

Buat para pegawai kantoran, THR tentu bukan hal asing. Sudah ditunggu-tunggu, dan dimasukkan ke dalam kolom rencana pemasukan (yang biasanya dengan cepat diikuti pula dengan alokasi pengeluarannya). Namun buat bapakku yang sepanjang karirnya tidak pernah jadi pegawai siapapun, THR adalah sesuatu yang asing namun menyenangkan. Lengkaplah kegembiraan di lebaran tahun ini.

Lengkap? Ternyata Allah punya kehendak lain. Di tengah-tengah kebahagiaan itu, datanglah tamu agung dari masjid yang menggoreskan anomali pada mozaik kegembiraan di keluarga kami.

“Silakan duduk, Pak Komar!” ujar Bapakku ramah.

Pak Komar pun duduk lesehan. Bapakku memperkenalkan aku kepada pak Komar, yang menjabat tanganku dengan erat, dan menyusulnya dengan pertanyaan-pertanyaan ramah. Beliau sempat bercerita bahwa tiga orang anaknya sudah jadi orang dan tiga orang lagi masih sekolah.

"Yang tiga lagi itu, yang belum jadi orang itu, jadi apa ya?" pikirku dalam hati. Sungguh nakal.

Ternyata usia Pak Komar baru kepala lima, jadi masih lebih muda 10-an tahun dibandingkan bapakku. Kulitnya hitam, tubuhnya agak pendek, namun wajahnya bersih menyenangkan.

Setelah obrolan basa-basi mereda, mulailah inti pembicaraan. Suatu pembicaraan yang tidak lazim di tengah-tengah suasana hari raya, sesungguhnya.

“Mulai bulan depan, saya tidak jadi imam di masjid sini lagi, pak Ismail, ” kata Pak Komar setengah berbisik, agak membungkukkan badan dan kepala. Ia menatap wajah bapakku lekat-lekat. Aku dan bapakku harus ikut-ikutan menunduk untuk bisa mendengar dengan jelas.

“Lho, kenapa pak?”

Pak Komar menarik nafas sejenak, menegakkan badannya dan tidak langsung menjawab. Beliau seperti menimbang-nimbang atau memilih-milih kalimat yang hendak diucapkan. Sungguh mendebarkan. Seperti menunggu episode terbaru film Avatar. Kami menatapnya lekat-lekat.

“Saya mengundurkan diri. Mungkin pak Ismail sudah menduga alasannya?” kata Pak Komar kemudian.

Aku segera mengarahkan pandangan ke bapakku. Ekspresi wajahnya yang biasanya tenang, kali ini dihiasi kerutan di kening.

“Ini soal pak Fuad?” giliran bapakku yang balas bertanya.

Ah, sungguh menjengkelkan. Mereka seperti sengaja hendak bermain teka-teki. Setiap pertanyaan dijawab dengan pertanyaan lagi. Berikutnya apa?

“Ya, kurang lebih. Saya sudah tidak tahan lagi mendengar omongannya dan omongan sebagian jama’ah. Tadinya saya pikir, perbedaan pandangan dan tata cara beribadah ini tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi ternyata pak Fuad dan orang-orang yang satu pemikiran dengan dia terus-menerus membuat kuping saya panas.” Kali ini Pak Komar benar-benar menjawab, bukan sekedar balik bertanya.

Teh dihidangkan. Anak-anak berlari-larian melintas. Beberapa penganan khas lebaran terhidang. Semuanya adalah masakan ibuku dan kiriman dari tetangga. Kami time out sebentar, untuk menikmati hidangan.

“Ayo Pak, silakan dicicipi!” kata ibuku dan segera berlalu. Sungguh efektif untuk mencairkan ketegangan yang menggantung pekat di ubun-ubun kami.

Bapakku rupanya memahami penderitaanku, yang sibuk menerka-nerka tema pembicaraan ini. Intinya sebenarnya sederhana saja. Perbedaan masalah khilafiah. Aku pernah mengikuti salah satu diskusi panasnya ba’da shubuh kemarin. Antara qunut versus non qunut, dan dzikir berjamaah versus dzikir individual. Bukankah sama sekali bukan tema baru?

“Pak Fuad menganggap qunut itu bid’ah. Dan dia sendiri punya pengikut yang sepaham dengan dia. Ada juga kelompok yang menganggap qunut itu sunnah, dan menganggap kurang sah solat shubuh kalau tidak menggunakan qunut. Ada pula yang menganggap qunut itu boleh-boleh saja. Ini pun banyak juga pengikutnya.” kata bapakku.

Aku mengangguk-angguk mulai mengerti. Kuseruput teh dan kujumput kacang goreng

“Saya pikir masalahnya sudah selesai kemarin, ” kata saya.

“Ternyata buat pak Fuad persoalan belum selesai, " kata pak Komar sambil menggelengkan kepala.

“Saya memang kadang-kadang menggunakan qunut, kadang-kadang tidak. Rupanya ada yang setuju dengan cara kami ini, ada yang tidak. Bagi yang tidak, kami dianggap plin plan. Qunut kok kadang-kadang.”

“Saya terus terang bosan dengan konflik ini. Beribadah jadi tidak nyaman, ke masjid pun jadi terasa berat, ” katanya lagi. Berhenti sejenak, menghirup teh dengan pelan-pelan, seperti mengumpulkan tenaga. Bapakku belum menyentuh tehnya.

“Nah, kebetulan saya punya donatur yang bersedia membangun masjid di depan kompleks, berbatasan dengan kompleks sebelah. Rencananya, saya akan memakmurkan masjid yang di sana, ” jelas pak Komar.

Kini giliran aku yang menarik nafas dalam-dalam. Kapan orang-orang masjid ini sempat memikirkan masalah umat, kalau mereka selalu sibuk dengan urusan yang seperti ini? Atau barangkali, wawasan mereka tentang masalah umat hanya untuk sebatas masalah-masalah khilafiah? Demikian pikirku, gagal membendung sinisme yang mengalir dari sela-sela pikiranku.

Tapi kutahan lidahku dari komentar yang tidak perlu. Komentar-komentar yang kurang sehat, kurang pantas, tidak sopan, dan memperkeruh suasana, bukankah hanya akan menunjukkan bahwa aku hanyalah bagian lain dari lingkaran masalah ini? Asyik mengkritisi tapi tidak berbuat apa-apa?

Kuambil lagi sejumput kacang, kukunyah pelan-pelan, kutelan dengan nikmat, kudorong dengan satu tegukan teh manis, sampai lenyap ke dalam saluran pencernaan. Menghilang bersama dengan menguapnya pikiran-pikiran sinis dari otakku. Tapi masih tersisa keprihatinan. Mengendap pekat, tak mau pergi.

Sebelumnya, tak pernah sedikitpun bapak membawa berita semacam ini ke rumah. Padahal, pasti beliau telah mengetahui sejak berbulan-bulan yang lalu. Beliau menyimpannya saja dalam pikirannya, tidak membaginya kepadaku. Apa gunanya? Mungkin demikian pikir beliau.

Ya, apa gunanya? Memang, boleh jadi dengan bercerita akan sedikit meringankan beban di benak beliau. Namun boleh jadi, dengan mendiamkannya, beliau berharap masalah ini akan menguap dan menghilang dengan sendirinya.

* * * * *

Beberapa bulan kemudian ketika aku kembali mampir di rumah orang tuaku, kudapati berita sedih. Ibukulah yang membawakan berita itu. Bapak sudah tidak menjadi imam lagi. Bahkan ke masjid pun jarang-jarang.

“Masjid itu bukan semata-mata sarana ibadah kepada Allah, tapi sebagai simbol persatuan umat, ” kata Bapakku.

Aku menunggu penjelasan lebih lanjut dan apa hubungannya dengan kebiasaannya yang baru, yang tidak rutin lagi ke masjid. Namun penjelasan itu tidak muncul-muncul. Agaknya, aku diminta menyimpulkan sendiri informasi itu. Bapak tetap ke masjid, tapi tidak rutin. Beliau menghindari solat shubuh di masjid, tapi hampir selalu ke masjid setiap Dzuhur dan Ashar dan jarang-jarang ke masjid saat Maghrib dan Isya. Beliau juga tak pernah ke masjid yang baru pimpinan Pak Komar. Terlalu jauh, katanya.

Saat aku sholat Maghrib di sana, sebagian jamaah yang sudah tua, yang jumlahnya sebenarnya tidak banyak, semakin sedikit lagi. Mereka seperti ditinggal oleh pentolan mereka, pak Komar.

Yang menjadi imam saat itu adalah pak Fuad.

Tamat