Perempuan dan Cincin di Jarinya (bag. 3)

“Lupakan saja, May.” Sahutnya tegas.

“Tapi, Sis … ak …”

“Lupakan, kataku! Bagaimanapun kamu tidak mengenalnya lebih jauh dari itu. Lupakan saja.” Maya terkejut, sekaligus tidak senang dengan reaksi sahabatnya itu. Apa-apaan Siska? Seenaknya saja memupuskan harapan yang kini tengah terbangun perlahan tapi pasti di dalam hatinya.

“Kamu nggak berhak melarang aku, Sis. Aku sudah memikirkan soal ini matang-matang dan …”

“Oh ya? Dengar, May. Bukannya aku menolak poligami. Bukan. Terserah saja bila kamu atau siapa saja yang mampu untuk melakukannya. Tapi dalam hal ini, kita nggak bisa melihatnya dari kepentingan pribadi saja, May. Nggak bisa.”

Lantas Siska berlalu dari hadapan Maya, dengan marah. Walau juga merasa tersinggung, tidak terima atas perlakuan sahabatnya itu, Maya pun bingung atas sikap keras yang Siska tunjukkan. Tak seperti biasanya. Dan tidak sedikit pun tersirat dukungan baginya, padahal itulah yang paling ia harapkan saat ini. Menjadi isteri kedua, bukan suatu hal yang pernah mampir dalam benak Maya satu kali pun. Tapi keinginannya untuk menikah … Maya termenung lama.

***

Suatu siang, Maya dikejutkan oleh sebuah pesan singkat yang ia terima dari nomor tak dikenal, namun si pengirim menuliskan nama di akhir pesan. Sesuatu yang sedikit menyarangkan kecemasan pada diri Maya, namun mau tak mau ia harus hadapi juga. Hari itu, setelah jam pulang kantor, ia bergegas pergi menuju sebuah restoran cepat saji di bilangan Kuningan.

Sampai di lokasi, hatinya berdebar kencang. Dengan seksama ia perhatikan satu per satu pengunjung restoran. Nyaris berharap bahwa si pembuat janji tak jadi datang, namun ia harus kecewa. Kedua matanya jelas menangkap sesosok wanita, kira-kira sepantar atau lebih tua beberapa tahun dari dirinya. Mengenakan jilbab krem rapi serasi dengan baju yang dikenakannya. Wanita itu tampak sedang membaca sebuah buku dengan tenang, jelas sekali tampak sedang menunggu seseorang. Maya menarik napas. Mencoba meneguhkan hati.

“Usia saya empat puluh dua tahun. Kalau mbak Maya sendiri, pasti lebih muda dari saya, ya?” suara lembut itu terdengar tenang namun tegas. Baru kali ini Maya gugup setengah mati menghadapi lawan bicara. Sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi di setiap momen interview maupun presentasi dan meeting di kantornya.

“Ehm … saya tiga puluh tiga, Mbak.” Suaranya terdengar seperti mencicit. Maya menundukkan pandangannya, resah. Wanita di hadapannya mengangguk-angguk pelan.

“Anak saya yang paling besar sekarang sudah masuk sekolah menengah atas dan hidup mandiri di kota lain, dan yang paling kecil masih balita. Semuanya ada tujuh orang. Tentu mbak Maya sudah tahu, ya?” pertanyaan retoris itu entah kenapa begitu menohok. Maya diam saja.

“Selama ini pengeluaran rumah tangga kami pas saja dengan penghasilan suami saya. Alhamdulillah, kami tidak pernah merasa kekurangan, walau tentu kebutuhan sehari-hari makin melonjak harganya. Kalau sudah menikah, uang yang didapat harus dibagi bersama-sama. Tidak bisa menjadi milik sendiri. Apalagi bila anak-anak sudah masuk sekolah.”

Maya memberanikan diri menatap wajah Asri, wanita yang tak lain adalah isteri dari lelaki yang baru-baru ini menyampaikan keinginannya untuk melamar Maya.

“Saya tidak punya penghasilan sendiri, paling hanya berdagang kecil-kecilan antar ibu-ibu arisan. Tidak ada modalnya. Kesibukan mengurus kelima anak yang kini masih tinggal bersama saya di rumah pun sudah menyita banyak waktu saya. Belum lagi kedua orang tua yang juga tinggal bersama kami sakit-sakitan. Maklum, sudah tua. Rasanya saya tidak punya waktu lagi untuk mengurus diri sendiri.” Kalimat yang terakhir diucapkannya sambil tersenyum, yang semakin mengiris hati Maya. Entah kenapa muncul perasaan lain di hatinya.

“Mbak Maya tahu sendiri, suami saya umurnya sudah empat puluh lima tahun. Dengan pengalaman kerja yang tidak banyak. Kalau harus mencari pekerjaan lain, kemungkinannya sangat kecil karena persaingan yang begitu ketat. Jadi ya diusahakan saja untuk loyal pada perusahaan yang sekarang, dengan gaji yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari, tanpa dijanjikan peningkatan karir. Mau bagaimana lagi? Eh, tapi kalau mbak Maya tentu sudah lebih mapan, ya? Kan posisinya lebih tinggi.”

Sindiran halus itu menyentak hati Maya. Ia sudah tak tahan lagi mendengarnya. Tak satu pun kalimat yang mampu diucapkan Maya, dan kedua matanya hampir tak sanggup membendung kabut yang tampak sangat jelas. Asri menghentikan ucapannya, dan menghela napas panjang. Sungguh tidak terbetik sedikit pun maksud negatif dari seluruh perkataan yang ia ucapkan. Kesabaran dan sikap tegar yang selama ini ia pupuk akhirnya harus dibuktikan pada saat seperti ini.

Dialog di antara mereka berdua tak banyak saling bersambut. Tapi sepertinya kedua wanita itu sama-sama memahami kesimpulannya. Mengalah, itulah yang ada dalam benak masing-masing. Sungguh Maya ingin merasakan ketenangan usai keputusan itu ia teguhkan dalam hati. Bisa saja ia bersikap egois dan tak mau tahu. Toh wanita yang barusan bercakap panjang lebar dengannya tak mengajukan sebuah perlawanan sengit. Tetapi sikap yang ditunjukkan Asri bukanlah sesuatu yang pantas mendapat perlawanan seperti itu darinya.

Kedua matanya melirik jari manis tangan kanan Asri, sebuah cincin emas sederhana masih melingkar di sana. Kali ini tak ada rasa iri menyaput hati Maya. Sudah sepantasnya cincin itu menempati jari tangan Asri. Dan Maya tak lagi punya keinginan untuk membaginya separuh untuk jarinya.

Sengata, Januari 2007

TAMAT