Umiyati: Tak Mau Menyerah pada Keadaan

Gubuk kecil berukuran 6 x 8 meter persegi itu, apa boleh buat, mirip kandang kelinci: penuh sesak oleh puluhan penghuni.

“Ya begini kalau lagi pada ngumpul. Maklum anak Mak U’um 12 orang; 3 laki-laki, 9 perempuan. Tapi yang masih hidup cuma sepuluh. Cucu udah 32, sebagian tinggal di Garut, kampung Mak,” celoteh Umiyati (60), pemilik rumah yang biasa dipanggil Mak U’um.

Sudah tiga tahun Mak U’um tinggal di gubuk bahagianya di daerah Kampung Bulak, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Ia menetap bersama sebagian anak, menantu, dan cucunya yang masih kecil-kecil. Gubuk itu didirikan Ali (64) suaminya di atas tanah milik sebuah perusahaan. “Dulu sih pernah beberapa kali ngontrak, tapi karena sering tidak bisa bayar, kami diusir yang punya rumah. Jadi ya sudah, biar tinggal di gubuk liar tapi nggak dikejar-kejar uang kontrakan,” ujar Mak U’um.

Untuk menopang kehidupan, Mak U’um bekerja sebagai buruh cuci di rumah tetangga yang membutuhkan. Penghasilannya sebulan mentok di angka 200.000 rupiah. “Padahal, tiap bulan musti bayar sewa tanah seratus ribu, terus bayar listrik duapuluh ribu perak,” aku Mak U’um. Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai buruh tani tak mampu mendongkrak keluarga besar itu dari ambang garis kemiskinan.

Bak jatuh ketimpa tangga, lima tahun lalu waktu sedang mencuci baju tetangga, mata nenek ramah itu terkena sabun cuci. “Rasanya sakit, perih sekali. Saya langsung bersihin pakai air, terus saya kucek-kucek. Eh…kedua mata saya malah jadi merah. Besoknya, kalau ngeliat orang jadi berbayang,” kenang Mak U’um.

Makin lama pandangan Mak U’um makin buram. Ia khawatir akan mengalami kebutaan. “Saya merasa susah, takut nggak bisa kerja. Untung saya ketemu Mbak Sulis dari Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa. Mbak Sulis membelikan kacamata untuk saya. Alhamdulillah saya senang sekali. Pandangan mata saya jadi terang. Ngeliat orang nggak berbayang lagi,” cerita Mak Uum.

Bukan hanya kacamata, LPM juga memberikan seperangkat perabot rumah tangga seperti meja kursi, lemari, dan sebuah televisi kecil untuk menghibur keluarga.

Begitulah Mak U’um kembali menjalani rutinitas dalam kesahajaan. Soal menu makanan sehari-hari, keluarga itu sudah terbiasa makan nasi putih lawan kecap dan kerupuk. Kalau kebetulan ada rezeki lebih, ia membeli tempe. Bagi keluarga Mak Uum, tempe termasuk lauk pauk yang mahal harganya.

Untungnya, masih banyak tetangga yang peduli. Kadang ada saja yang memberikan beras, mie instan, telur, dan kebutuhan dapur lainnya. LPM juga masih rutin menyambangi keluarga Mak U’um untuk sekadar membantu agar dapur mereka tetap berasap.

“Sebetulnya saya nggak enak kalau terus-terusan dibantu sama tetangga atau orang lain, karena saya tidak ingin merepotkan mereka. Memang saya tidak pernah memintanya. Mereka yang mau datang sendiri. Biarlah saya hidup begini, apa adanya. Saya tidak berani minjam duit ke tetangga, takut tidak bisa mengembalikan,” ujar dia perlahan.

Tapi keceriaan itu tak lama. Karena tidak pernah menjalani pemeriksaan lanjutan, mata Mak U’um kembali bermasalah. Pandangannya kembali kabur. Kacamata pemberian LPM tak lagi mampu menjernihkan pandangan. Akhirnya, kacamata itu pun disimpan dalam lemari.

“Mau periksa ke dokter nggak punya duit. Akhirnya saya biarkan saja mata saya sakit sampai sekarang,” Mak Uum mengucek kedua matanya, “yang penting masih bisa baca Qur’an,” lanjut dia. Mak U’um tidak pernah melewatkan hari tanpa membaca Al Qur’an. Anehnya, “Biar nggak pakai kacamata, kalau baca Qur’an terang. Tapi kalau jalan nggak pakai kacamata, Mak sempoyongan kayak orang mabuk, hi..hi..hi..,” ujar Mak U’um polos.

Dalam serba keterbatasan itu, Mak U’um bersyukur bisa menyekolahkan anak-anaknya. Kedelapan anaknya sudah berkeluarga dan hidup mandiri, tinggal Wina dan Nur Alam yang masih sekolah. Wina kelas 3 SMA, sedangkan Nur Alam baru tahun ini masuk SMA. Mak Uum berharap kedua anaknya kelak bisa menjadi dokter atau guru, agar nasibnya tidak seperti dirinya.

“Alhamdulillah, waktu mendaftar, kedua anak saya dibayarin sama orang. Tapi selanjutnya saya sendiri yang membayar semua biaya sekolahnya. Mudah-mudahan saya bisa membiayainya sampai lulus, entah bagaimana caranya. Sekarang saja ijazah SMP Nur Alam ditahan pihak sekolah, karena masih ada tunggakan 300 ribu yang belum dibayar,” kata Mak U’um.

Mak U’um berusaha tegar. Tapi satu hal merisaukan hatinya. Ia mendengar selentingan kalau tanah yang ditempatinya bersama puluhan keluarga miskin lain akan dibersihkan. Konon, akan dibangun sebuah komplek perumahan di atasnya.

“Kalau sampai digusur, Mak tidak tahu harus pindah ke mana lagi,” ujar nenek kita penuh prihatin. (LHZ)