Esensi Seseorang Pemimpin

Assalamu’alaykum Wr. Wb.

Pak Arief yang baik. Saya Dea, saat ini saya menjadi pimpinan salah satu LSM cukup terkemuka di Medan.

Ada yang ingin saya tanyakan mengenai kepemimpinan Pak, hal ini terkait mengenai kapasitas saya.

Menurut saya pribadi, banyak teman-teman di LSM tersebut yang lebih capable untuk memimpin.

Pengangkatan saya, menimbulkan sedikit perasaan tidak enak (karena sekarang mereka menjadi bawahan saya).

Yang ingin saya tanyakan:

  1. Bagaimana cara mengatasi perasaan tidak enak tersebut?
  2. Apa saja hal-hal yang esensial bagi seseorang sehingga ia pantas dikatakan sebagai pemimpin?

Terima kasih Pak atas jawabannya.

Wa’alaikumussalaam wr. wb.

Mbak Dea yang dirahmati Allah SWT, terimakasih atas pertanyaan yang diajukan. Perasaan tidak enak seperti yang Mbak Dea rasakan wajar sekali muncul pada kondisi di mana seseorang harus memimpin sebuah tim yang terdiri dari orang–orang yang dipandang lebih kompeten dari dirinya. Jadi, tidak perlu berkecil hati karena hal tersebut. Namun memang perasaan itu harus dikelola agar tidak menghambat kinerja kita, dan sebaliknya, justru menjadi motivasi pendorog untuk mengaktualisasikan potensi terbaik yang kita miliki.

Untuk itu, kembalilah pada esensi pola pikir seorang pemimpin: people, transformation, contribution. Fokuskan seluruh sumber daya yang dimiliki pada tiga kata kunci itu. Berikan perhatian penuh pada orang–orang yang Mbak Dea pimpin. Dengarkan suara hati mereka, pahami siapa mereka berikut kekuatan dan keterbatasan masing–masing, berikan inspirasi untuk menampilkan talenta–talenta terbaik mereka, dan bantulah mengatasi kelemahan–kelemahan mereka. Di samping itu, Mbak Dea perlu selalu bertanya pada diri sendiri: Perubahan apa lagi yang perlu saya inisiasi agar tim dan organisasi saya menjadi lebih baik? Dan akhirnya, fokuslah pada memberi, berkontribusi, baik pada individu–individu yang Mbak Dea pimpin, maupun pada organisasi secara keseluruhan.

Sibukkanlah diri Mbak Dea dengan hal–hal tersebut di atas. Insya Allah Mbak Dea tidak akan punya waktu lagi untuk “mengasihani diri sendiri,” termasuk terlibat dalam inner dialogue negatif seperti “mampukah saya memimpin mereka?” Ingat Mbak, jangan pernah beri otak dan pikiran kita pilihan seperti itu, karena secara sunatullah otak dan pikiran akan mengambil pilihan yang lebih mudah dan tanpa konsekuensi kerja keras, yaitu “tidak mampu.” Jadi, “paksalah” otak dan pikiran untuk mengeluarkan potensi terbaik kita dengan bertanya, “bagaimana caranya agar saya bisa memimpin mereka.”

Wallahu’alam bishawab.

Wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.