Jenuh dengan Organisasi Kampus

Assalamu’alaykum wr. wb.

Saya Iwan, usia saya 20 tahun.

Begini Pak Arief, pada saat ini saya diamanahkan beberapa jabatan di organisasi kampus.

Menjelang pemilihan umum di kampus kami, teman-teman memajukan saya untuk sebuah jabatan di Badan Eksekutif Mahasiswa.

Hanya, keinginan tersebut berbeda dengan keinginan diri saya untuk terjun ke dunia usaha (karena sudah jenuh dengan organisasi di kampus).

Namun, teman-teman memaksa saya untuk tetap maju dengan alasan "tidak ada lagi calon lain".

Menurut Pak Arief, apa yang harus saya lakukan ?

Wa’alaykumsalam wr wb

Mas Iwan yang dirahmati oleh Allah SWT.

Masalah yang dihadapi oleh Mas Iwan ini memang cukup sering kita jumpai; sebuah kondisi di mana preferensi kita sebagai individu berbeda dari preferensi orang-orang yang bekerja bersama kita.

Tentunya Mas Iwan masih ingat trilogi karakteristik seorang pemimpin: People, Transformation, Contribution. Dari kredo itu jelas bahwa kebermanfaatan untuk orang lain dan signifikansi perubahan yang dapat dihasilkan merupakan kriteria utama seorang pemimpin dalam memilih dari sejumlah alternatif medan pengabdian yang tersedia.

Dalam konteks masalah Mas Iwan, jika kecenderungan untuk tidak lagi menjabat di BEM didorong oleh keyakinan bahwa bidang lain (dalam hal ini adalah wirausaha) lebih bermanfaat untuk orang lain dan mampu menghasilkan perubahan yang lebih signifikan, saya akan mengatakan go ahead. Tapi mohon maaf, Mas Iwan sendiri yang mengatakan bahwa keengganan tetap berkiprah di BEM itu lebih banyak dipicu oleh kejenuhan beraktifitas di organisasi kemahasiswaan intra-kampus. Dengan kata lain, penyebabnya bersifat self-centered, atau berpusat pada diri Mas Iwan Sendiri. Harus saya katakan sejujurnya bahwa hal tersebut justru bertentangan dengan kredo kepemimpinan yang saya sebutkan di atas. Kredo tersebut mengajarkan seorang seorang pemimpin sejati senantiasa meletakkan kepentingan dirinya pada prioritas terendah dalam hidupnya.

Namun saya juga ingin mengajak Mas Iwan melihat masalah ini dari perspektif lain. Mas, sebagai manusia kita dikaruniai oleh Allah SWT potensi yang luar biasa. Even the sky is not the limit. Kita punya waktu 24 jam sehari. Nah, jika kita audit dengan jujur boleh jadi banyak sumberdaya yang kita miliki, termasuk waktu, belum kita gunakan dengan optimal. Jadi, dalam konteks masalah Mas Iwan, mengapa BEM dan berwirausaha harus ditempatkan secara dikotomis, atau bersifat mutually exclusive, di mana keputusan menerima satu alternatif secara otomatis membuat Mas Iwan harus menolak alternatif yang lain?

Praktisnya saya sarankan, Mas Iwan tetap menerima amanah di BEM. Pada saat yang bersamaan rencana berbisnis tetap mulai dirintis, walaupun mungkin belum dilakoni dengan full speed. Nah, tahun depan, ketika amanah di BEM sudah berakhir, Mas Iwan berlari dengan full speed di bisnis yang sudah dirintis sebelumnya.

Demikian Mas Iwan. Semoga bermanfaat. Wallahu’alam bishawab.