Berbeda ? Untuk Saling Mengenal (5)

Wen, seorang gadis dari Cina. Bila ia berbicara dengan Yu Chun dalam bahasa Mandarin, maka saya hanya bisa mendengar dan menunggu mereka untuk menerjemahkannya. Wen ini sedang mengambil master di bidang bisnis. Ketika pertama kali sempat mengobrol dengan Wen di meja makan menunggu makanan, maka kami mengobrol tentang pernikahan. Ia sedikit penasaran dengan saya yang menikah muda.

Ia bilang saya mirip dengan Kwini. Kwini sendiri juga sudah menikah, hanya ketika terakhir bertemu dengannya ia masih belum memiliki anak. Ia bertanya apa yang menyebabkan saya begitu yakin untuk menikah di usia muda. Maka saya hanya menjelaskan pemahaman pribadi saya tentang apa itu cinta, bagaimana menghadapinya, dan bagaimana solusi menurut keyakinan yang saya pegang. Saya hanya menceritakan pengalaman pribadi saya. Saya katakan bahwa saya menikah itu karena saya memang berencana untuk menikah. Ia malah heran mengapa perlu rencana untuk menikah. Saya malah balik bertanya, kapan dia hendak menikah. Kemudian saya katakan bahwa kalau tidak direncanakan ya berarti tidak akan dipikirkan. Kalau tidak dipikirkan ya berarti nanti malah terabaikan.

Tetapi saya punya kejadian unik dengan Wen ini. Ketika saya tinggal di kamar bawah, di sebelah kamar Yu Chun, maka saya merasa bosan untuk menunggu makanan selesai di dapur. Saya biasanya hanya menyiapkan makanan yang tinggal masuk oven. Jadi, biasanya saya tinggal dapur dan ke bawah mengerjakan sesuatu di kamar saya. Kadang-kadang tindakan saya ini membuat makanan saya sedikit hangus, karena saya terlupa. Dan bila ini terjadi, maka yang duluan mengetahuinya adalah Wen, karena kamarnya persis di depan pintu dapur. Jadi ia lah yang sering mematikan oven, dan kalau ada sedikit asap ia pula yang membuka jendela. Ia sering mengingatkan ini, tetapi saya memang agak bandel juga dalam hal ini.

Suatu saat saya membeli roti lebanon yang bundar dan tipis beserta sosis. Sosis itu saya tempatkan dalam gulungan roti. Waktu itu saya berpikir untuk menggunakan microwave oven. Ya, itulah kali pertama saya menggunakan microwave oven. Saya sebenarnya tidak asing dengan benda ini, bahkan nama depannya saja adalah salah satu bidang studi favorit saudara saya, tetapi memang baru kali itulah saya menggunakan benda yang memanfaatkan ‘namanya’ untuk bekerja.

Waktu itu saya menyetel timer untuk waktu yang cukup lama, karena berpikir sosis saja dipanggang dalam oven yang biasa butuh waktu lama. Maka saya tinggal microwave itu, dan pada saat itu tidak ada siapa-siapa di atas. Dan saya benar-benar lupa. Akhirnya roti tipis itu hangus dan begitu pula sosisnya. Asap memenuhi dapur, sehingga jendela harus dibuka, dan kemudian saya biarkan tetap terbuka. Yang membuat saya lebih panik adalah microwave itu sendiri. Di dalamnya yang semula berwarna putih menjadi kuning pekat. Saya coba bersihkan tetapi tidak bisa kembali menjadi warna putih. Jelas saja saya merasa bersalah dan menyesal. Awalnya saya berpikir microwave tersebut adalah milik WG ini sehingga dipakai bersama. Rupanya ia dimiliki oleh teman Wen yang karena pindahan, menitipkan sementara microwave tersebut kepada Wen, dan Wen menaruhnya di dapur.

Ketika bertemu Wen, itulah kali pertama rasanya wajah Wen menjadi tidak ramah pada saya. Saya tentu memaklumi sikap Wen ini. Bagaimana ia mempertanggungjawabkan microwave tersebut kepada temannya. Maka saya kemudian beberapa kali meminta maaf pada Wen dan mengatakan bahwa saya bersedia menanggung segala konsekuensinya, termasuk bila temannya itu menghendaki saya harus membelikan microwave baru untuknya. Wen hanya mengatakan, "Kahfi, you are a good guy, but you are forgetful.“

Agak lama saya merasa hubungan saya dengan Wen menjadi tidak baik karena kejadian ini. Keadaan baru mulai berubah ketika ia mendapat kabar dari temannya bahwa saya harus mengganti beberapa puluh euro untuk menebus kesalahan saya itu. Jadi rupanya, temannya itu sudah merencanakan untuk menjual microwave itu kepada yang lain dengan suatu harga, dan karena kejadian itu tentu tidak ada lagi yang mau membeli microwave tersebut. Tetapi syukurlah, ketika uang itu sudah saya bayar dan sampai kepada teman Wen, maka suasana di antara kami seperti sedia kala lagi. Sesekali, Yu Chun sering menggoda saya bila kami sedang di dapur. Saya masih ingat istilah favoritnya bila menyindir saya, "Katastrophe![1].“ Saya hanya balas dengan tertawa.

Catatan :

[1] Bencana