Jerman Dalam Pandangan Saya (2)

Sebenarnya bukan kali ini saya berhadapan dengan dia. Pada semester sebelumnya, dalam praktikum turbin angin, dia juga yang mewawancarai kami, dan waktu itu saya menghadapi masalah yang sama, tidak lulus wawancara. Hanya bedanya, kami sekelompok tidak lulus wawancara, saya, Anwar, dan Simeon. Jadi tugasnya kami kerjakan bersama-sama. Waktu itu bahkan saya sempat mendatanginya langsung dan mengatakan, "I can not keep my question at home.“ Ia malah tidak menjawab apa-apa sambil tertawa dan menjawab, "Cobalah pikirkan.“ Sempat dalam suatu praktikum turbin angin juga, tetapi pada semester yang berbeda, maka yang seharusnya mengawasi jalannya praktikum kami adalah sang koordinator praktikum kami tersebut. Tetapi waktu itu dia ada tamu, dan kemudian mewakilkan tugasnya kepada salah seorang tutor yang pada waktu itu sedang di lab untuk bekerja.

Tutor ini tentu tidak siap dengan tugas mendadak ini. Diktat kami saja belum dibacanya, dan ketika praktikum dia bukanlah tutor yang khusus mengawasi bidang praktikum yang sedang kami lakukan. Maka ketika dihadapkan pada masalah kalibrasi pengukuran, saya berdebat dengan tutor kami ini. Saya merasa ada yang aneh dengan cara dia melakukan kalibrasi. Bila mengikut caranya, maka sangatlah tidak praktis dan rasanya tidak mungkin alat peraga praktikum ini didesain untuk menyulitkan sang pengguna. Saya bersikeras dengan pendapat kalibrasi saya. Ketika sang koordinator praktikum ini kembali dan mendapati saya masih bertanya pada sang tutor walaupun praktikum sudah selesai untuk hari itu, maka sang koordinator praktikum ini hanya tersenyum berkata pada tutor tersebut, "He doesn’t trust you?“

Ini bukan masalah keras kepala atau tidak, bukan. Saya memilki keyakinan bahwa apa yang orang Jerman tahu, maka saya pun juga berpeluang untuk mengetahuinya. Dan apa yang saya tidak tahu maka mereka juga berpeluang sama seperti saya. Entahlah, tetapi rasanya di Jerman ini lebih mudah menemukan profesor yang menjawab tidak tahu daripada mereka yang begitu cepat memberikan jawaban. Rasanya kalangan peneliti di sini lebih nyaman menjawab tidak tahu ketimbang memuaskan si penanya. Saya sempat bingung mendapati Martin, supervisor saya di Forschungszentrum Juelich terdiam lama ketika saya mempermasalahkan bahwa kami sedang menerapkan inkonsistensi persamaan Bernoulli bila kami menerapkannya untuk kasus yang sedang kami hadapi.

Ya, amat paradoks ketika mengabaikan sesuatu untuk menyederhanakan masalah tetapi kemudian malah memperhitungkan pengaruh yang diabaikan tersebut di akhir analisa. Umpamanya seperti kita pura-pura tidak tahu di awal, tetapi kemudian mengatakan bahwa kita mengetahuinya di akhir. Aneh, tetapi kadang beginilah cara manusia mendekati misteri fisika.

Ketika bersepeda dari insititut ke masjid untuk Shalat Jumat di Juelich, saya bertanya pada saudara saya Oskar dari Malaysia. "Apa rahasia majunya teknologi Jerman“ Oskar sempat terdiam sebentar kemudian menjawab bahwa mereka ini maju karena konsisten terhadap rencana. Ya, ia jelaskan bahwa ketika hendak menyediakan meja untuk suatu ruangan pun, mereka mengukur terlebih dahulu ruangan tersebut dan berapa yang dibutuhkan untuk meja. Bila kita pernah mendengar bahwa perencanaan adalah 50% keberhasilan, maka bagi Jerman mereka punya motto berbeda. Bila perencanaan itu sudah dilakukan dengan baik, maka mereka berani mengatakan tidak ada tempat untuk gagal. Orang Jerman bukanlah orang yang bekerja lebih cepat dari bangsa lain, tidak.

Mereka bahkan terkesan lebih lambat. Mereka betul-betul merencanakan sesuatu kemudian menerjemahkannya menjadi prosedur kerja, dan selanjutnya adalah bersabar dan konsisten dengan prosedur kerja tersebut. Keberhasilan atau tercapainya target tinggal menunggu waktu saja, 5 tahun, 10 tahun, atau 20 tahun sekalipun. Seorang kepala departemen sekalipun tidak bisa mengintervensi prosedur kerja bersama yang telah disepakati. Ketika orang yang bertugas untuk suatu masalah sedang mengagendakan untuk melakukan pekerjaan lain, maka jangan harap kita bisa mengganggu jadwalnya.

Semua terencana. Oskar mengatakan bahwa hidup mereka adalah rutinitas. Setiap hari, jam ke jam, yang mereka lakukan ya apa yang sudah terencana sebelumnya, apa yang ada di agenda mereka. Ketika mereka sudah menulis sesuatu pada agenda mereka, maka seketika itu yang menjadi tuan bukan lagi diri mereka, tetapi agenda mereka. Senang dan susahnya mereka ditentukan dari sejauh mana mereka bisa memenuhi tuntutan tuan mereka itu.

Inilah saudaraku, mereka bersungguh-sungguh untuk sesuatu yang mereka yakini sebagai ilah mereka. Ketika pekerjaan menjadi ilah mereka, maka rasa tenang dan sedih mereka ditentukan dari pekerjaan itu. Saat ini saya seruangan dengan seorang peneliti yang sudah mendekati masa pensiun. Yang ditempelkan di dinding belakangnya adalah poster-poster kecil yang bercerita tentang pensiun. Delapan belas bulan lagi bagian bawah telapak kakinya tertulis Rente[1], 2 bulan berikutnya papan nama dia diganti Rente, 2 bulan berikutnya ia mendayung sampan yang tertulis Rente bersama istrinya, dan 1 bulan berikutnya ia terdampar di pulau bernama Rente dan kemudian dimakamkan sebagai Rente .

Sempat suatu kali ada seorang yang sudah tua memasuki ruangan kami. Sehari-hari ruangan itu hanya diisi saya dan rekan kerja yang sudah hampir pensiun itu. Orang yang tua itu kemudian mengajak rekan kerja saya itu mengobrol lepas. Ternyata yang dibicarakan adalah bagaimana menghadapi pensiun. Sepertinya orang tua tersebut adalah konsultan khusus pensiun, atau mungkin seorang pensiun yang ‘berhasil’. Rekan kerja saya itu mengutarakan berbagai kekhawatirannya mengenai pensiun dan ia juga mengatakan sedikit agak tenang karena ia juga sudah menyiapkan beberapa rencana untuk masa pensiunnya, yang saya ingat adalah berkebun.

Sungguh, saat itu dalam hati saya hanya berzikir, begitu jelas bagi saya bagaimana orang yang sehari-sehari menjalani hidup tetapi ia sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang ia cari, apa tujuannya di dunia ini. Dan ketika sudah mendekati titik akhir pemberhentiannya di dunia, masih juga belum tahu hendak kemana. Maka saudaraku, tolonglah, jangan abaikan nurani yang senantiasa bertanya pada kita. Jawablah pertanyaan nurani itu. Jawablah apa adanya. Lalu ikutilah bisikan kejujuran hati kita dalam melangkah.

Hidup ini amat singkat saudaraku. Dalam Al Quran dikatakan tidaklah lebih dari setengah hari saja. Betapa banyak manusia di akhirat kelak ingin kembali ke dunia untuk mengoreksi kesia-siaan, kelupaan mereka sebelumnya. Tetapi mana mungkin ALLAH memberikan kesempatan itu. Karena sekalipun diberi, maka tidaklah yang dilakukan melainkan hanya pengulangan kembali. Kesempatan itu terlalu banyak diberi oleh ALLAH. Setiap saat nurani kita ini bertanya dan menghendaki kita menjawabnya dengan jujur, kemudian melangkah dengan kejujuran itu.

Tidak akan tenang mereka yang bersandar pada ilah lain selain ALLAH. Segala sesuatu yang penting atau yang dianggap penting dan kita membiarkan diri kita didominasi oleh sesuatu itu, maka sesuatu itulah yang dikehendaki ALLAH agar tidaklah posisi itu ditempati melainkan hanya Dia lah yang pantas sebagai Ilah Yang Satu.

Catatan :

[1] Pensiun