Pendidikan Jerman (3)

Pernah pula saya mengalami kejadian unik. Terjebak di toilet institut. Waktu itu saya hanya sempat berpikir pelajaran apa yang hendak ALLAH berikan pada saya sehingga saya terkunci di toilet ini.

Waktu itu hanya ada saya dan seorang peneliti. Jadi pintu yang tidak bisa dibuka adalah pintu masuk ke toilet ini yang ruangannya adalah tempat westafel, baru kemudian ada pintu lain untuk kloset berdiri dan duduk. Kami yang di dalam tentu bingung. Teman saya yang terkunci ini hanya diam. Masalahnya adalah gagang pintu bisa digerakkan tetapi pintu tidak bisa dibuka. Waktu itu saya mengeluarkan kartu dari dompet dan kemudian mencoba pada pintu lain dalam toilet ini yang jenis gagangnya sama dengan yang menempel pada pintu yang terkunci itu.

Maka saya praktikkanlah aksi layaknya yang pernah saya lihat di TV bagaimana orang mengatasi masalah yang sedang saya hadapi. Tetapi dasar memang karena tidak tahu apa-apa, maka yang ada hanya kartu saya menjadi tergores-gores. Saya masih penasaran dan mencobanya. Kemudian dari luar ada orang yang hendak masuk ke toilet tetapi tidak bisa membuka pintu, maka teman saya ini memberi tahu bahwa pintu tidak bisa dibuka dan minta tolong dipanggilkan Hausmeister[1].

Beberapa saat kemudian terdengar Hausmeister datang sambil terdengar pula suara tawa dari orang lain. Rasanya ini mungkin kejadian pertama di institut kami. Yang dilakukan Hausmeister ini adalah memasukkan obeng kecil ke dalam lubang gagang pintu untuk kami ambil, dan kemudian meminta kami membuka satu-satu sekrupnya. Setelah gagang ini dilepas, barulah mereka mengutak-atik sedikit dan kemudian dengan sedikit dorongan pintu pun terbuka. Tidak ada bagian pintu yang tergerus karena tindakan mereka.

Hausmeister ini lalu menunjukkan penyebab kerusakannya. Saya hanya berkata pada teman saya yang ikut terjebak, „Rasanya kita butuh peneliti khusus kunci di sini.“ Saya pun kemudian ke dapur karena sebenarnya sebelum ke toilet saya memasak air untuk minum teh. Ketika di ruangan kerja dan saya merasa ingin ke toilet lagi, maka saya pun ke tempat di mana saya terjebak sebelumnya. Saya lihat gagang pintu itu sudah diganti dengan yang baru. Saya tutup pelan-pelan pintu itu karena takut kalau sedikit keras menutupnya maka mungkin saya harus berpindah ruangan kerja ke toilet ini. Sempat saya cari-cari apakah gagang pintu ini diambil dari gagang pintu lain yang ada di dalam toilet, tetapi yang lain tetap lengkap.

Berarti gagang pintu itu memang baru. Kalau di Indonesia, mungkin saya berpikir bahwa saya harus membeli gagang pintu dulu baru memasangnya. Tetapi pada saat itu yang terpikir oleh saya adalah mereka sudah punya cadangannya untuk sewaktu-waktu menghadapi masalah yang tidak terduga sekalipun. Jerman…Jerman….(Bersambung)

Catatan :

[1] Layaknya penanggung jawab bangunan, walau begitu tetap ada pendidikan sendiri untuk ini