Pendidikan Jerman (4)

Cara Jerman dalam menghargai pendidikan adalah dengan menghargai sang garis terdepan dalam pendidikan itu sendiri, yaitu guru. Baiklah, mungkin kurang tegas, mereka amat menghargai tenaga pendidik. Di sini saya menyamakan guru Kindergarten, guru SMA, dan dosen sebagai guru, karena bagi saya memang begitulah mereka adanya. Tenaga pendidik di sini diberi gaji besar yang membuat mereka tidak perlu pusing memikirkan kondisi keuangan mereka dan hanya fokus mendidik. Sampai saat ini saya belum bertemu dosen atau guru yang tidak mempunyai Haus di Jerman. Bahkan guru kursus Jerman saya di Oldenburg dulu memilki Haus.

Di Jerman ada dua kata untuk menyatakan tempat tinggal, Haus dan Wohnung. Awalnya saya memakai kedua kata ini untuk maksud yang sama, tetapi ternyata penggunaannya berbeda. Dalam kamus, keduanya diterjemahkan sebagai rumah tinggal. Saya pertama kali mendapati maknanya berbeda ketika suatu saat saya mengobrol dengan Yusuf di masjid ketika saya masih di Oldenburg. Sebelumnya saya bertanya di mana ia tinggal. Ia kemudian menjelaskan posisi tempat tinggalnya dari masjid ini.

Saya kemudian mencoba mencari tempat tinggal Yusuf ini dan ketika bertemu kembali dengannya, maka saya katakan bahwa saya sudah mengetahui Haus-nya dan mengatakan bahwa letaknya ternyata dekat dari masjid. Saya katakan bahwa ia beruntung punya Haus yang dekat dengan masjid. Waktu itu Yusuf hanya membalas, "Kein Haus aber Wohnung. Haus ist gross[1].“ Ya, Haus ternyata diperuntukkan untuk rumah yang berdiri sendiri, dan tipe tempat tinggal seperti ini bukanlah yang lazim dan banyak di Jerman. Yang lebih banyak adalah apartemen. Nah Wohnung diperuntukkan untuk tempat tinggal seperti apartemen ini.

Saya sendiri awalnya menggunakan Wohnung untuk mendefinisikan rumah karena memang dalam bahasa Jerman sudah ada kata sendiri untuk apartemen, yaitu "appartement“. Guru les Jerman saya ketika di Indonesia juga sempat mengajarkan cara pengucapannya dalam bahasa Perancis, karena memang dari sanalah kata ini berasal. Sedikit berbeda dalam bahasa Inggris, huruf "p“ hanya satu dan tidak ada huruf "e“ sesudah "t“. Kadang-kadang saya mendapati masalah dalam menggunakan bahasa Jerman dan Inggris.

Entahlah bagi saya kedua bahasa ini tidak saling membantu sang pelajar bahasa. Pernah saya katakan kepada seorang teman, bahwa bagi saya kedua bahasa ini tidak bersimbiosis mutualisme. Teman saya pun mengatakan bahwa ternyata yang mengalami masalah seperti ini tidaklah saya saja.

Jadi bila ada orang Jerman yang memiliki Haus, maka dapat dikatakan bahwa ia adalah orang yang secara keuangan amat tercukupi. Dan itulah yang dialami guru di sini. Saya heran bagaimana kita masih saja menggaungkan slogan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa kepada setiap guru hanya untuk memaafkan diri kita bahwa memang kita belum bisa menghargai jasa sang guru. Di mana-mana pahlawan itu berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Mereka berjuang karena memang kesadaran mereka bahwa kalau bukan mereka yang berjuang, siapa lagi yang akan berjuang.

Hanya itu, amat tulus dan murni. Saya sempat katakan pada paman saya yang juga seorang guru dan dahulu mengambil S2 di UPI Bandung, bahwa seharusnya guru itu diberi status warga negara istimewa. Kalau kita memang betul-betul belum bisa menghargai jasa mereka dengan menolong mereka secara keuangan, maka berilah keistimewaan untuk mereka yang tidak diperoleh warga negara dengan profesi lain. Ya, keistimewaan apa saja yang dibutuhkan mereka dalam hidup dan menjalani profesi mereka.

Karena pentingnya guru ini, saya sendiri dahulu sempat meniatkan dalam diri saya bahwa istri saya nanti adalah dari tiga kategori berikut : Guru, perawat, atau dokter. Alasan saya karena ketiga profesi ini betul-betul berada di garis terdepan dalam menolong orang lain, manusia. Dan saya beranggapan mereka yang di garis terdepan menolong manusia tentu akan terampil pula menolong orang-orang terdekat mereka, keluarga dan anak mereka. Baiklah sedikit menyimpang dari topik kita. Saudaraku tentu heran kenapa saya perlu merencanakan istri nanti darimana. Saya sendiri juga tidak tahu. Ketika saya sudah memahami arti kata "istri“ saya sudah punya bayangan ingin memiliki istri yang bagaimana. Dan alhamdulillah istri saya yang sekarang adalah dari tiga kategori itu.

Saya masih ingat ketika dahulu kelas 2 SMA di Bandung, saya ikut kursus bahasa Inggris yang pengajarnya adalah seorang natives speaker . Waktu itu kami sedang mempraktekkan conversation dan dia memberikan pertanyaan mengenai siapa orang yang paling ingin kita jumpai. Maka teman-teman saya pun memberikan jawaban mereka, bermacam-macam. Ketika tiba giliran saya, saya hanya menjawab, "I want to meet my future wife.“ Kontan saja yang saya dapati adalah tawa dan senyum dari teman-teman saya bahkan ada yang menggoda saya. Sang guru pun juga tersenyum seolah mendengar jawaban yang tidak ia duga. Anak kelas 2 SMA kok sudah memikirkan istri. Lho, saya hanya beralasan, memang apa yang salah?

Saat ini pun saya masih ingat beberapa guru SD saya. Baiklah saya sebutkan mereka, Bu Ermawati, Bu Sribulan, dan Bu Syahnizar. Bahkan saya tidak pernah lupa dengan guru les saya semenjak SMP hingga SMA yang mengajarkan saya bahwa disiplin dan keberhasilan dalam belajar adalah saudara kembar. Dia lah Bu Rumantir, seorang Kristen taat yang wajahnya tidak pernah terlihat bertambah tua oleh saya. Mungkin karena ia memang begitu bergembira ketika mengajar anak-anak agar mereka sendiri yang mengetahui betapa pendidikan itu amat penting bagi mereka.

Catatan :

[1] Bukan Haus tetapi Wohnung. Haus itu besar