Sisi Lain Ilmuwan Jerman (1)

Waktu itu dalam e-mail-nya Dr. Steinberger menawari saya untuk pulang ke Oldenburg bersama dia dengan mobilnya. Ya, e-mail itu dikirim bersamaan dengan informasi kapan saya akan wawancara di Forschungszentrum Juelich menyangkut tesis saya. Awalnya saya berpikir untuk naik kereta. Alasan saya, saya senang jalan-jalan, dan bagi saya perjalanan dengan kereta adalah hal yang berkesan dan bukan sesuatu yang membosankan walau jarak tempuhnya lama.

Alasan kedua tentu saja agak malu juga bila harus semobil dengan dosen saya dan sekaligus kepala salah satu departemen fuel cell di Forschungszentrum Juelich ini. Waktu itu saya berpikir, kalau saya kemudian tertidur di mobil bagaimana perasaan dia. Saya memang yang termasuk mudah tertidur bila dalam perjalanan dengan mobil. Tetapi kemudian saya hanya berpikir mungkin ini adalah kesempatan baik bagi saya untuk mengenal lebih jauh dosen saya ini.

Dr. Steinberger adalah orang yang selalu datang terlalu awal untuk setiap kuliahnya. Jika saya tiba di Energielabor, dia sudah duduk di kursi pengajar, laptopnya sudah terhubung dengan LCD projector, dan LCD itu sudah dalam keadaan stand by dan siap digunakan. Padahal kelas masih sepi. Pernah saya bertanya pada Ian, teman kuliah saya dari Amerika, siapa menurutnya dosen kami yang bahasa Inggrisnya paling bagus. Maka jawaban dia yang pertama adalah Dr. Steinberger dan kemudian Dr. Blum.

Ya, Dr. Steinberger pernah menceritakan pengalamannya tinggal di Amerika tetapi saya lupa untuk kepentingan apa. Kesan pertama yang saya tangkap dari dosen saya ini adalah sedikit kaku, sebagaimana kebanyakan orang Jerman dan terkesan formal karena seingat saya ketika mengajar ia selalu memakai jas yang membalut kemeja tanpa dasi. Sehingga di kelas kadang suasana tidak seperti kuliah lain yang kadang dibumbui canda tawa. Tetapi semua kesan ini kemudian berubah total setelah saya semobil dengan dia dari Juelich ke Oldenburg.

Ketika Dr. Steinberger mengisyaratkan bahwa pekerjaannya sudah selesai dan kami bisa bergerak ke mobilnya, saya mencari di tempat parkir institut, mobil yang kira-kira layak untuk seorang pimpinan departemen yang menangani seluruh proyek berkaitan dengan fuel cell pada lembaga riset kebanggaan Jerman ini. Tetapi kemudian saya sedikit terkejut ketika dia langsung mengarah pada mobil yang dekat dari pintu masuk institut.

Mobil VW[1] kecil yang tidaklah istimewa dan bahkan terkesan terlalu sederhana, karena bukanlah model terbaru yang bentuknya lebih aerodinamis, melainkan sudut-sudutnya lebih banyak bersudut tajam. Ia memasukkan berkas-berkasnya ke bagasi belakang yang sudah terisi dengan tanaman, cukup besar juga tanaman itu hingga memenuhi ruang bagasinya. Ya, ternyata hanya ini mobil seorang kepala departemen di Forschungszentrum Juelich. Saya pernah bertanya pada Oskar, saudara saya dari Malaysia mengenai fenomena ini.

Di tempat parkir kami banyak saya jumpai mobil-mobil bagus tetapi mobil-mobil itu bukan milik orang-orang penting di institut ini. Mobil orang-orang penting ini malah hanya mobil yang biasa. Bahkan mobil Prof. Stolten, kepala institut saya, bukanlah mobil yang menarik. Waktu itu Oskar hanya menjawab bahwa orang Jerman ini melihat sesuatu itu lebih pada kebutuhan. Jadi ketika sesuatu itu dirasa sudah cukup untuk kebutuhan mereka, kenapa mereka harus berpikir untuk memiliki yang lebih. Ketika saya tanyakan lalu bagaimana dengan mobil-mobil bagus itu, maka ia hanya menjawab mungkin itu adalah hobi atau sang pemilik memang punya penghasilan lain di luar institut.

Saya jadi teringat ketika dulu saya masih mengerjakan tugas akhir S-1 di lab saya, saya menunjukkan pada salah satu staf peneliti, sebuah foto di surat kabar yang tersedia di lab itu. Foto itu menampilkan Tony Blair[2] yang ketika diambil gambarnya, posenya sedang mengambil foto pula dengan handphone-nya. Jadi HP-nya ia arahkan kepada dirinya dan kepada beberapa anak kecil untuk menjadi foto baginya. Yang menarik bagi saya ketika melihat gambar di surat kabar itu adalah HP sang perdana menteri.

Ya, HP nya sangat mirip dengan HP saya. Bedanya, HP sang perdana menteri adalah seri yang ada kameranya dan saya tidak. HP saya waktu itu hanyalah seri yang bukan menjadi seri andalan sang produsen untuk menarik para pembeli. Hanya fasilitas kamera resolusi kecil itulah rasanya yang sedikit istimewa dari HP perdana menteri tersebut. Saya pun kemudian membanggakan pada staf peneliti itu bahwa HP saya ini juga HP sang perdana menteri.

Tetapi sepanjang saya hidup di Jerman, bergaul dengan para dosen dan peneliti, atau orang Jerman lainnya, terus terang belum pernah saya menjumpai mereka menggunakan HP yang mungkin disebut high-end sebagaimana yang banyak dipakai di Indonesia. Bahkan saya meminta maaf bila harus mengatakan bahwa yang memakai HP ini justru adalah saudara-saudara saya mahasiswa dari Indonesia.

Saya jadi teringat ketika salah satu produsen HP meluncurkan seri terbaru dari produk mereka yang amat diandalkan. Mereka malah meluncurkan produk terbaru dan perdana itu di negeri saya. Saudaraku, pasti ada alasannya kenapa mereka melakukan hal sedemikian. Yang jelas pastinya negeri kita adalah pasar utama mereka untuk produk jenis itu. Tetapi maukah kita berpikir lebih dalam lagi? Saya tidak mempermasalahkan bila segala fasilitas yang tersedia di HP itu mampu dioptimalkan oleh sang pengguna. Tetapi bila kemudian hanya fasilitas dasar yang dipakai dan malah seringkali tidak mengerti bagaimana memanfaatkannya dan bahkan kemudian merasa tidak perlu belajar memanfaatkannya, adakah hal ini kemudian punya sebutan lain kecuali kemubaziran?

Saya juga teringat dahulu ketika masih di Bandung, pernah membaca bahwa Onno W. Purbo, sang penggerak VoIP Merdeka[3] pun, komputer di rumahnya hanya berprosesor 233 MHz. Ya, ini karena beliau menyadari bahwa apa yang beliau punya sudah cukup untuk kebutuhan beliau. Bangsa kita ini sedang menghadapi masalah tidak tahu sebenarnya kebutuhannya apa dan tidak tahu pula apa yang bisa dilakukan dengan apa yang telah dipunya. Maka kemudian yang terjadi adalah orang lain yang mendefinisikan kebutuhan itu dan orang lain pula yang mengatur bahwa kita harus mempunyai sesuatu agar bisa melakukan sesuatu.(Bersambung)

Catatan :

[1] Volkswagen (kendaraan rakyat, begitulah arti secara bahasa)

[2] Mantan PM Inggris

[3] Gerakan memasyarakatkan telepon internet sebagai alternatif PSTN, sebagaimana yang biasa di rumah-rumah