Sisi Lain Ilmuwan Jerman (3)

Dr. Steinberger memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama asing, maksudnya bukan nama khas orang Jerman. Nikolaus, Daniel, Charlotte, dan Julianne. Sebenarnya yang masih saya ingat adalah Daniel, kerena pada waktu itu kami juga menjemputnya di suatu pinggiran kota sebelum mencapai Oldenburg. Tetapi kemudian saya mendapatkan nama-nama anaknya yang lain dalam cerita yang pernah saya kirim ke istri saya.

Dr. Steinberger pun kemudian menceritakan bahwa ia dahulu pernah tinggal bersama istri dan anak-anaknya di pinggiran kota dengan hanya membayar 40 euro sebulan. Saya tentu sulit percaya karena mana ada biaya sewa tempat tinggal semurah itu di Jerman. Tetapi Dr. Steinberger kemudian menjelaskan bahwa pemilik rumah itu memiliki lahan pertanian dan perkebunan, dan ia sekeluarga juga ikut mengerjakan lahan itu.

Saya kemudian menanyakan alasannya sekarang bekerja di bidang yang tidak berhubungan langsung dengan latar belakang pendidikannya. Waktu itu dia hanya menjawab singkat sambil tersenyum, "Karena itulah kami disebut scientist, kami bisa berpindah bidang jika kami mau.“ Sempat saya terdiam merenungi kata-katanya itu.

Saudaraku, entah kenapa ketika saya mengobrol dengan Dr. Steinberger, rasa sungkan yang semula saya prediksi akan mewarnai diri saya ketika di dalam mobil bersamanya menjadi tidak muncul sama sekali. Bahkan saya bisa mengobrol layaknya saya mengobrol dengan teman. Selama ini yang saya ketahui bahwa orang Jerman itu relatif tertutup dan kurang senang membicarakan hal pribadi mereka.

Tetapi ini tidak saya dapati pada Dr. Steinberger. Waktu itu saya hanya berpikir bahwa setiap manusia itu pasti butuh teman bicara. Ini hanya karena pembawaan Dr. Steinberger sendiri. Ia tidak melihat dirinya lebih dari saya, sehingga ketika kami berinteraksi harus jelas pula terlihat siapa yang lebih dan siapa pula yang kurang dari yang lain. Tidak, tidak ada hal ini di Jerman sebatas yang saya alami di sini.

Seorang pimpinan institut bisa begitu mudah mengobrol dengan teknisi bahkan dengan mereka yang tugasnya lebih sederhana dari itu. Bila suatu saat saya ke ruangan Dr. Steinberger dan dia sedang rapat, maka saya hanya berkata pada sekretarisnya bahwa saya akan kembali lagi. Tetapi tidak jarang Dr. Steinberger yang malah mendatangi ruangan saya dan menanyakan keperluan saya. Saya tidak merasa bahwa walau saya membutuhkan dia, tetapi dengan begitu maka pihak yang butuh lah yang harus selalu mendatangi yang dibutuhkan. Ketika berinteraksi dengan sesama peneliti di sini kami merasa betul bahwa kami saling membutuhkan. Sekecil apapun peran seseorang tetap kami membutuhkannya, dan adalah kesalahan besar dalam kerja tim bila mengabaikan peran kecil dari anggota tim itu sendiri.

Ketika awal Desember 2008 lalu ada Institutsversammlung[1] , hampir semua peneliti dan mahasiswa peneliti hadir di sini. Acara ini diadakan setahun sekali dan lebih pada mempresentasikan apa saja yang telah dilakukan oleh institut dan tiap departemen, masalah saat ini, dan apa rencana ke depan. Waktu itu tentu saya manfaatkan untuk mengetahui bagaimana orang Jerman menilai sendiri apa yang telah mereka kerjakan. Yang hadir memang banyak, bahkan ruangannya penuh, sehingga saya sendiri mendapat tempat di belakang karena datang terlambat.

Yang menarik bagi saya adalah saya tidak bisa melihat para pimpinan departemen di kursi-kursi deretan depan. Rupanya mereka tersebar. Bahkan Dr. de Haart, pimpinan departemen saya malah duduk paling belakang di pojok kanan, dan saya yakin bahwa ia bukanlah orang yang duduk di sana karena datang terlambat, melainkan karena ia lebih memilih mengambil tempat di situ. Jadi mereka yang duduk di deretan depan adalah para staf lain, mahasiswa dan teknisi pun ada yang mengambil tempat di situ. Bagi saya ini tentu fenomena yang tidak biasa.

Ketika ada forum tanya jawab, banyak yang mengajukan pertanyaan dan bahkan mengajukan kritik. Ini ditanggapi oleh pembicara secara biasa dan kemudian menjelaskan latar belakang hal yang dikritisi. Segala sesuatunya terbuka, berapa jumlah dana yang mereka terima, berapa yang sudah dimanfaatkan, dan rencana untuk mendapatkan dana penelitian baru bila suatu riset membutuhkan dana, semuanya diungkap jelas.

Presentasi mereka pun biasa saja, ringkas namun mencakup hal-hal yang penting. Saya pernah diberitahu bahwa presentasi yang bagus itu adalah yang tidak lebih dari 15 menit dan jumlah slide-nya tidak lebih dari 10 slide. Ini tentu bukan ukuran mutlak menentukan bagus tidaknya suatu presentasi tetapi memang siapa yang bisa berlama-lama melihat slide yang banyak, terlebih bila slide begitu cepat berganti dari yang satu ke slide lain. Slide itu untuk menampilkan apa yang menjadi judul utama dan sang pembicara lah yang menjabarkan cerita di balik judul utama itu.

Saya jadi teringat ketika menyaksikan kuliah umum Roger Penrose[2] melalui internet, ia malah menampilkan slide yang ditulis dan digambar dengan tangan namun berwarna-warni, padahal yang hadir adalah ilmuwan-ilmuwan top dari seluruh dunia. Entahlah, saya ini termasuk yang amat mudah jatuh cinta dengan sesuatu yang sederhana. Sesuatu yang sederhana itu bagi saya adalah kejujuran itu sendiri. Bahkan seorang matematikawan pernah mengatakan bahwa amat mudah menilai apakah suatu teori fisika itu bagus atau tidak. Lihat saja, bila rumus teori itu pendek dan sederhana, maka itulah teori yang menurut matematika teori yang indah. Tetapi kalau dipikir memang demikian adanya.

Bert adalah panggilan saya untuk kepala departemen tempat saya melakukan tesis, Dr. de Haart. Bagi saudaraku yang membaca tulisan pertama saya mungkin mengingat bahwa ketika pertama kali bertemu dengannya, maka saya mengira ia hanya seorang sopir yang menjemput saya. Berikut cerita di baliknya.

Ketika berhenti di Hauptbahnhof[3] Dueren, saya berpikir di bagian mana dari Jerman saya saat ini sebenarnya berada. Nama kota Dueren sebelumnya belum pernah saya dengar. Saya baru mengetahuinya ketika melihat jadwal perjalanan kereta yang akan saya naiki dan di mana saja pemberhentiannya. Untuk ke Forschungszentrum Juelich, saya harus naik Rurtalbahn, anggap saja ini kereta yang khusus rural area[4]. Menariknya, kereta ini bukan kereta listrik lazimnya di Jerman, tetapi seperti mesin diesel. Jadi ketika mesin kereta ini mulai dihidupkan, terdengar suara layaknya mesin mobil diesel.

Setiap gerbong punya mesin sendiri, sehingga terdengar ada delay antara nyala mesin pada gerbong yang satu dengan gerbong berikutnya. Bahkan ketika sudah sering menggunakan kereta ini saya merasa kereta ini layaknya mobil yang berjalan di jalur kereta, ya unik juga. Saudara saya Hafez dari Duisburg ketika bersama saya ke Juelich sempat mengomentari kaca jendela kereta ini yang lebar, rasanya ini pengalaman pertama baginya.

Dr. Steinberger hanya menginformasikan bahwa halte Forschungszentrum Juelich hanya satu halte sebelum kota Juelich. Dia juga memberi tahu bahwa nanti akan ada yang menjemput saya di halte itu. Sebelum saya berangkat ke Juelich, saya sempat berpikir, bagaimana orang yang bertugas menjemput saya itu bisa mengenali saya nanti di tempat pemberhentian kereta. Apakah dengan menulis nama saya pada selembar karton? Tetapi jawabannya mulai jelas bagi saya ketika dalam kereta menuju Forschungszentrum Juelich ini. Kiri kanan hampir semuanya adalah pemandangan hijau, perladangan.

Di satu sisi saya menikmati pemandangan ini tetapi di sisi lain saya khawatir juga apakah saya betah tinggal di area terpencil seperti ini. Ketika tiba di halte Forschungszentrum, hanya saya dan seorang wanita yang sepertinya dari Korea atau Jepang yang turun di sini. Saya lihat ada dua mobil parkir di halaman halte yang kecil itu. Ada dua orang pria dan sedang mengobrol. Melihat ada penumpang yang turun, salah satu pria kemudian mendekati sang wanita itu dan pria lainnya langsung menghampiri saya. Ia kemudian bertanya, "Are you the student from Oldenburg?“ Saya pun kemudian menjawab ya. Orang yang ada di hadapan saya ini berambut agak panjang sampai di bawah telinga. Memakai kemeja yang dibiarkan tidak dikancing dan bagian dalamnya T-Shirt.

Hanya itu. Mobil yang dipakai untuk menjemput saya adalah layaknya mini jeep. Di dalam mobil saya kemudian mengatakan kepada sang sopir bahwa akhirnya saya menemukan jawaban dari pertanyaan bagaimana yang menjemput saya akan menemukan saya. Dia hanya tersenyum dan kemudian membalas bahwa memang tidak banyak yang berhenti di halte ini, terlebih pada saat itu bukanlah jam sibuk.

Dia lalu membawa saya ke ruang penerimaan tamu Forschungszentrum Juelich sebelum gerbang utama, dan di sanalah saya mendaftarkan diri sebagai visitor. Selama kami bersama dalam mobil hingga di pendaftaran tamu, dia tidak pernah menyinggung apapun tentang tujuan saya ke sini, yaitu wawancara untuk tesis. Saya pun hanya mengenalnya dengan Hart ketika menanyakan namanya. Waktu itu saya belum tahu ejaan yang benar dari namanya. Kami pun sampai di Institut fuer Energieforschung[5]-Brennstoffzellen.

Di dekat tangga kami bertemu seorang pria berkaca mata, dan saya melihat sopir saya ini mengobrol dengan pria tersebut. Kami pun bersama-sama ke ruangan yang akan dijadikan tempat wawancara saya. Sempat saya tanyakan di mana toilet kepada sang sopir, dan ia pun kemudian menunjukkan toilet terdekat. Waktu itu ia juga mengatakan hendak mengambil laptop. Hingga kemudian di ruangan itu berkumpul ketiganya, sang sopir, pria berkaca mata, dan seorang pria tua yang sering tersenyum, saya tetap biasa saja, dan merasa bahwa yang akan mewawancara saya adalah dua orang itu.

Hati saya baru berdegup ketika sang sopir menutup pintu ruangan tersebut dan ia duduk di tengah-tengah dua pria lain, dan laptop hanya ada di depannya. Waktu itulah saya betul-betul menanamkan betul dalam hati saya bahwa cukuplah pengalaman ini saya jadikan pelajaran berharga agar tidak lagi menilai orang dari penampilan, khususnya bagi orang Jerman. (Bersambung)

Catatan :

[1] Semacam gathering

[2] Fisikawan, teman sejawat Stephen Hawking

[3] Stasiun kereta

[4] Pinggiran atau tempat yang lebih terpencil

[5] Institute of energy research – fuel cell