Sisi Lain Ilmuwan Jerman (5)

Suatu saat ada praktikum improved cooking stoves[1] dan yang menjadi tutor praktikum adalah Dr. Blum langsung. Ia mengajak agar ketika praktikum sekalian dimanfaatkan kompornya untuk menyajikan makan siang bersama. Kami semua tentu senang dengan ide ini. Setiap satu kali sepekan kami bisa menyisihkan uang belanja di kantin dan makan bersama dengan menu yang disajikan teman-teman kami.

Kelompok pertama yang melakukan praktikum ini adalah Andreas dan Silvia. Mereka betul-betul menyiapkan masakan dari awal ketika praktikum dan kemudian benar-benar memasaknya dengan kompor tersebut. Kelompok-kelompok berikutnya biasanya hanya memanaskan masakan yang sudah jadi dan menyiapkannya dari rumah.

Waktu itu giliran saya dan Chandra mengerjakan praktikum ini. Maka kami berbagi tugas. Chandra menyiapkan lauk sayuran berkuah khas Nepal beserta salat yang menjadi kebiasaan orang Jerman, dan saya yang menyiapkan bagian karbohidratnya, maksudnya nasi, roti, dan sejenisnya. Waktu itu saya mengambil pilihan itu karena beralasan saya tidak pandai memasak. Saya pun berpikir hendak menyajikan apa pada praktikum kami nanti. Saya ingin menu yang khas Indonesia tetapi relatif mudah cara membuatnya. Muncullah ide untuk membuat nasi goreng saja.

Sebelumnya saya tidak pernah membuat nasi goreng. Bila di rumah, saya makan nasi goreng yang dibuat oleh ibu saya, adik saya, mertua saya, dan istri saya. Saya tinggal menikmati saja. Ketika dahulu kos di Bandung hampir setiap makan malam saya rasanya makan di warung nasi goreng yang dekat dari kosan. Penjualnya bernama Syukron, orangnya sangat ramah dan nasi gorengnya enak, porsinya pun cukup. Melihat Syukron memasak, saya sempat berpikir bahwa tidaklah susah membuat nasi goreng itu, kecuali bumbunya mungkin. Maka saya pun kemudian mencari resep nasi goreng di internet, dan kemudian mulai belajar membuatnya.

Beberapa hari saya belajar untuk membuat nasi goreng. Saya mencari metoda yang tepat agar ketika pada hari praktikum, saya punya cukup waktu sebelum praktikum yang dipakai untuk menyiapkan nasi goreng ini dalam jumlah banyak kepada teman-teman kami. Jadi fokusnya sendiri bukan lebih kepada rasa, tetapi bagaimana menyiapkan nasi goreng ini dalam porsi banyak.

Yu Chun sempat mengomentari saya yang memasak di dapur. Baginya mungkin tumben temannya ini bersentuhan dengan panci dan asap masakan. Resep saya sederhana karena saya cari yang paling mudah bahan-bahannya. Waktu itu bahan tambahan adalah telur dan sosis sapi.

Berulang-ulang saya coba, akhirnya saya merasa sudah cukup untuk kelak disajikan. Rasanya sendiri tidaklah istimewa bagi saya tetapi ketika pertama kali mencicipinya habis juga nasi goreng buatan sendiri itu. Tentu saja, karena lapar dan memang masakan sendiri. Satu hal yang membuat saya puas adalah nasi goreng saya tidak berminyak. Ayah saya dan saya memang tidak suka dengan nasi goreng yang pekat dan berminyak. Istri saya yang pandai membuat nasi goreng seperti ini. Akhirnya saya pun berpikir memang baru begini hasil saya memasak tetapi insyaALLAH sudah cukup untuk disebut nasi goreng.

Pada hari praktikum saya datang telat ketimbang biasanya, karena pagi-pagi harus menyiapkan nasi goreng ini dalam porsi besar, dan lama. Andreas waktu itu berkomentar bahwa dia sendiri tadinya sudah ingin makan di kantin saja. Chandra sudah membereskan kursi dan meja di pekarangan Energielabor. Waktu itu adalah musim panas, jadi amat pantas makan sambil menikmati kehangatan matahari.

Chandra sempat protes pada saya kenapa saya lama baru datang, maka saya katakan apa adanya. Tidak berapa lama Chandra pun memanggil teman-teman kami yang lain untuk makan. Bahkan waktu itu kebetulan mahasiswa-mahasiswa PhD dalam groupnya Prof. Peinke ikut kami ajak. Lucunya ketika teman-teman kami menghadapi menu kami, respon mereka beda-beda. Lauk Chandra enak, siapa yang meragukan masakan bangsa asia selatan. Tetapi nasi goreng ini memang aneh bagi mereka dan baru.

Stanley menanyakan kepada saya, apakah nasi goreng saya itu pakai telur. Saya pun menjawab ya. Rupanya Stanley ini tidak bisa makan telur. Saya yang tidak tahu tentu meminta maaf atas ketidaktahuan saya. Ia bercerita bahwa ketika masih kecil dulu keluarganya memiliki peternakan ayam, dan ia sering makan telur. Tetapi kemudian ketika ia menyadari bahwa dosis asupan telurnya sudah terlalu banyak, maka sejak saat itu ia menghindari telur. Alasannya lucu juga bagi saya.

Alan, mahasiswa PhD bidang tenaga angin dari Meksiko berkomentar bahwa di Meksiko ia juga tahu menu yang mirip seperti nasi goreng ini. Chandra malah bertanya sosis yang saya pakai. Ketika saya menjawab sapi, maka ia menjawab, "Kahfi, you eat my god.“ Saya baru sadar bahwa Chandra Hindu dan sapi adalah hewan suci bagi mereka. Tentu saya meminta maaf lagi pada Chandra sambil beralasan hal ini benar-benar di luar perhitungan saya.

Anehnya, Chandra malah memakan nasi goreng saya. Evelyn, salah satu tutor praktikum kami menanyakan apa nama menu ini. Kemudian Ritah malah menanyakan bagaimana membuatnya, maka saya jelaskan apa adanya. Tetapi kemudian saya katakan pada Ritah bahwa ini adalah pertama kalinya saya memasak dalam arti sebenarnya dan semua yang hadir di sini adalah bagian dari eksperimen saya. Maka seketika itu pula Ritah berkata, "Oh…Kahfi, No…“ Ia pun lalu berseru pada Evelyn mengatakan bahwa ini pertama kali saya memasak, dan mereka semua adalah bahan percobaan saya. Maka Evelyn hanya tersenyum sambil sedikit tertawa melihat tingkah Ritah. (Selesai Bersambung ke Bab Berikutnya Science for All)

Catatan :

[1] Kompor alternatif dengan bahan bakar biomassa, misalnya kayu kering