Sopir Bis (3)

Pernah suatu kali ketika bulan lalu ada karnaval di wilayah Nordrhein Westfalen[1] , maka bis amat penuh dengan penumpang yang berpakaian serba aneh. Bagi saya, karnaval di Jerman ini adalah ajang bagi orang Jerman untuk menumpahkan segala ekspresi mereka dengan memakai pakaian yang aneh-aneh, berhura-hura dengan minuman, dan bernyanyi-nyanyi serta berpesta. Saya pernah katakan pada saudara saya bahwa karnaval ini adalah waktunya bagi orang Jerman untuk membuang sampah sembarangan.

Saudara saya itu malah membalas bahwa karnaval ini adalah waktunya bagi orang Jerman untuk menjadi gila. Ya, memang begitulah kenyataannya. Kota menjadi penuh sampah pecahan botol sesudah karnaval ini. Ketika itu saya pulang dari institut sehingga saya tidak menyaksikan karnaval. Institut sendiri sepi karena banyak peneliti yang merayakan karnaval di kota. Bahkan peneliti yang masuk kantor pun berpakaian yang aneh. Ketika saya baru tiba di institut dan hendak menuju ke ruangan, saya melihat Uwe, salah satu rekan kerja saya membelakangi saya memeriksa rak suratnya. Saya sempat kaget ketika ia berpaling, hidungnya menjadi merah berbentuk bola, sambil kemudian mengucapkan, "Hallo.“ Ia memakai bola merah untuk menutupi hidungnya sebagai pakaian karnavalnya.

Sore itu pusat kota Juelich memang penuh sampah, kebanyakan adalah pecahan botol. Walau memakai sepatu, saya sendiri jadi berhati-hati dalam melangkah karena tidak sedikit saya jumpai pecahan yang cukup besar. Ketika saya menunggu bis di halte, sebenarnya sudah ada perasaan tidak enak, tetapi saya tidak tahu apa sebabnya. Hari itu saya sedang menjalankan shaum sunnah dan berharap tidak terlalu lama tiba di rumah sehingga bisa segera berbuka. Ternyata firasat saya kemudian menjadi jelas. Bis pun datang tetapi amat penuh dengan penumpang. Saya waktu itu hanya berpikir bahwa saya harus naik bis ini, karena kalau saya terlewat maka waktu maghrib pun akan terlewat oleh saya ketika sampai di rumah. Maka saya paksakan naik ke dalam bis dan saya menjadi penumpang terakhir yang dizinkan naik oleh sang sopir. Penumpang lain yang sudah ikut menunggu terpaksa mengambil bis sejam berikutnya.

Di dalam bis amat ramai dengan suara para penumpang, bercampur antara nyanyian, obrolan, teriakan, dan tawa. Saya bisa melihat wajah sopir bis yang terganggu dengan kebisingan penumpang ini. Awalnya sang sopir masih bisa bersabar dengan tingkah para penumpang ini. Tetapi suatu saat terdengar suara kaca pecah. Ya, salah satu jendela bis dipecahkan oleh penumpang. Sang sopir tentu ingin tahu apa yang terjadi. Maka ia melihat dari kaca spionnya ke arah penumpang untuk mencoba sedikit mendapatkan jawaban.

Ia kemudian mengendarai bis dengan pelan dan kemudian mengambil handphone-nya, sambil berbicara di HP sekaligus menyetir bisnya. Bis sempat menjadi tidak teratur jalannya. Ini memang bukan hal yang lazim di Jerman, bahkan mungkin melanggar hukum, bila seorang sopir bis berbicara di HP ketika menyetir. Ia katakan bahwa ia menelepon polisi. Maka ketika selesai menelepon, ia pun berhenti pada halte yang disepakatinya untuk menjadi tempat dia menunggu polisi. Halte ini adalah satu halte sebelum desa saya, dan jaraknya sekitar 2 km dari halte desa saya. Akhirnya ia pun berhenti di halte ini. Maka saya tentu bingung. Waktu maghrib sudah sampai, bahkan sudah agak gelap.

Saya sendiri sudah membaca doa berbuka dalam hati walau saya tidak mendapati sesuatu pun untuk diminum atau dimakan. Waktu itu saya masih menunggu dan berharap sang sopir akan kembali melanjutkan mengendarai bisnya. Ia terlihat bolak balik ke dalam bis dan memeriksa jendela bisnya yang pecah. Ia marah kepada penumpang dan menyuruh penumpang untuk tetap di tempatnya karena polisi akan segera datang.

Saya yang merasa tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan juga cemas dengan waktu maghrib saya yang sudah hampir habis, kemudian mengambil keputusan untuk berjalan kaki saja dari halte itu ke rumah. Jalan itu adalah jalan raya yang tidak tersedia jalur khusus bagi pejalan kaki. Mobil yang melewati jalan ini pun biasanya melaju kencang karena memang lalu lintasnya tidak terlalu ramai. Maka saya pun berjalan di pinggir jalan sebelah kanan sambil tetap melihat kebawah di tengah waktu yang sudah mulai gelap, berhati-hati menjaga langkah saya agar tidak terlalu ke tengah jalan. Ada beberapa penumpang yang juga ikut berjalan kaki tetapi mereka berjalan di sisi kiri jalan, di seberang sisi saya.

Sisi jalan yang saya pakai adalah sisi jalan tempat mobil datang dari arah belakang, sehingga saya tidak tahu bila mobil datang dan cahaya mobil lah yang kemudian memberitahu saya bahwa ada mobil melaju di belakang saya. Waktu itu saya tidak sempat berpikir untuk berpindah sisi jalan, karena entahlah, menurut saya sama saja, toh sama-sama sudah gelap. Benarlah itu kali pertama saya berjalan sambil khawatir kalau-kalau mobil dari belakang tidak menyadari keberadaan saya.

Bila saya berjalan dalam keadaan gelap di perladangan maka saya masih bisa tenang karena amat jarang mobil yang melewati jalan kecil perladangan menuju desa saya. Tetapi ini di jalan besar dan saya sendiri sudah sulit melihat jelas langkah saya karena terlalu lamanya saya hanya melihat ke bawah, melihat aspal jalan tempat saya melangkah. Waktu itu saya hanya berjalan cepat berharap segera sampai di rumah. Sempat saya sesali diri saya kenapa tadi tidak naik kereta saja, tetapi ya tidak ada gunanya rasa sesal. Saya hanya berpikir bahwa kalaupun ajal saya datang di sini, maka saya sedikit tenang karena ajal saya datang di hari saya berpuasa.

Kalau begitu, lalu apa yang saya kagumi dari sopir bis di desa? Jawabannya adalah keterampilan mereka mengendalikan bis mereka. Ya, ketika bis harus masuk melewati desa-desa, maka jalan-jalan yang harus dilalui adalah jalan yang sempit. Jalan-jalan ini hanya cukup untuk dua mobil dan biasanya di sisi kiri kanan jalan juga banyak mobil yang parkir sehingga kadang-kadang kendaraan harus memberi jalan terlebih dahulu kepada kendaraan lain yang lebih berhak. Nah, keterampilan sopir bis ini adalah ketika mengatasi tikungan sempit, melewati kepitan sempit antara mobil-mobil yang parkir, dan menghadapi sesama mobil besar yang ikut melewati jalan-jalan sempit ini.

Saya benar-benar takjub, mereka begitu halusnya membawa bis dan begitu tenang ketika melewati medan kendara yang amat riskan. Ya, berjalan pelan sedikit, ikuti feeling pengalaman mereka mengendarakan bis, dan bis pun melewati ruang sempit dengan mulus. Wajah tenang mengendalikan bis itu bisa saya lihat dari kaca spion yang terletak di atas sang sopir.

Pernah suatu saat bis saya melaju cukup kencang dalam jalan yang sempit, dan ternyata dari arah yang berlawanan juga ada mobil besar yang melaju cukup kencang. Waktu itu kami hendak melewati tikungan. Ketika melihat mobil besar itu, maka saya hanya berujar dalam hati, "Mungkin inilah yang pertama.“ Maksud saya adalah mungkin itulah kali pertama selama saya di Jerman mendapatkan bis saya bersenggolan dengan mobil lain. Mobil besar itu sudah telat langkah, sehingga langkah antisipasi hanya layak dilakukan oleh bis kami.

Maka kemudian begitu ahlinya sang sopir bis kami memainkan stirnya sambil memperhatikan kedua spionnya, dan amat tipis, mungkin hanya satu jari telunjuk, saya jelas melihatnya dari jendela saya, melewati badan mobil besar itu, dan…lolos! Hebat!…begitulah ujar saya dalam hati. Sang sopir bis pun kemudian berseru dan menggerakkan tangannya layaknya ekspresi, "Yes!“ sambil mengomentari apa yang baru saja dilewatinya kepada penumpang yang duduk di dekat dia. Saudaraku, di Jerman ini tiap pekerjaan diserahkan pada ahlinya. Jadi ketika ia adalah seorang sopir bis sekalipun, maka dapat dijamin bahwa ia adalah ahlinya dalam mengendalikan tubuh besar yang berkali-kali lipat ukuran badannya itu.

Catatan :

[1] Juelich dan desa saya termasuk ke dalam negara bagian di Jerman ini