Perkenalan (1)

Saudaraku, mari kita mengembara sebentar. Saya mengajak kita semua untuk sejenak mengarungi bagaimana kehidupan di Bumi ALLAH, yang mayoritas penghuninya belum mengenal Sang Pemilik, padahal Dia Yang Maha Pemurah selalu mencurahkan kemurahan-Nya terlepas hamba itu ingat atau tidak kepada-Nya. Banyak yang lain yang sudah lama hidup di negeri ini, yang lebih pantas untuk bercerita, sedangkan saya baru dan insyaALLAH hanya 1,5 tahun di Jerman. Tetapi izinkanlah anak kampung yang sedang mengembara di Jerman ini menuturkan sedikit kesaksiannya.

Saya sebenarnya takut dan tidak biasa membuat tulisan seperti ini. Apalagi ketakutan saya bila bukan terlalu banyaknya saya menyebut selain Dia Yang Satu, jikalau dalam tulisan ini kata yang paling banyak disebut adalah “saya”. Tetapi saya tidak mampu menyimpan Tanda-Tanda Terang Kemahakuasaan-Nya di salah satu pelosok bumi yang sebenarnya tidaklah menyerupai titik sekalipun di alam semesta tak terukur ini. Dia Maha Luas, maka amat luas pula yang bertasbih pada-Nya. Biarlah bila ada kesalahan saya dalam paparan ini, maka ALLAH Yang Akan Mengurusnya.

Sungguh, rumput dan salju di Jerman yang merunduk merendah, bertasbih layaknya padi dan hujan yang merunduk tunduk di Bumi Zamrud Khatulistiwa

Kalaulah ada hidayah itu datang dua kali, maka bagiku yang pertama adalah ketika aku menginjakkan kakiku ke Salman, dan yang kedua adalah ketika kakiku hendak beranjak dari Jerman. Cukuplah dua kali Dia mengetuk pintu hati hamba, hamba ingin yang berikutnya adalah ketika tidak ada lagi hijab antara Dia dan hamba

Akhukum, Kahfi

==========================================================================

Ketika pertama kali saya sampai di Jerman, maka yang pertama saya cari adalah bagaimana menelepon keluarga di Indonesia. Wartel? Di sini ada wartel, hanya saja saat itu saya belum tahu apa istilah wartel di Jerman, sedangkan yang banyak tersedia adalah telepon umum memakai kartu dan koin. Hati saya terlalu gelisah dan rasanya hanya menambah gelisah bila harus berinteraksi dengan alat-alat yang masih asing cara penggunaannya. Maka datanglah saya ke suatu kios, dan menanyakan pada seorang ibu tua yang menjaganya. Sambutan yang pertama diberikannya kepada saya adalah senyuman. Ia kurang mengerti apa yang saya inginkan, karena aneh saja orang ke kios bertanya bagaimana menelepon keluarganya. Kemudian ia memanggil 2 anak muda yang ikut menjaga kios tersebut, yang satu pria dan yang lain wanita. Mereka ternyata mahasiswa, dan memahami masalah saya, maka mereka pun memberitahu solusi atas masalah saya.

Ketika itu ada orang mengantri untuk membayar di belakang saya, tetapi sang ibu tua dan kedua mahasiswa begitu sabarnya melayani saya yang menghujani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan sepele. Sampai akhirnya ketika mereka yakin saya mendapatkan poin dari saran mereka, maka baru mereka mempersilahkan pengantri di belakang saya untuk membayar. Saat itu saya tidak membeli apa-apa di kios tersebut, dan ketika berpamitan mereka melepas saya dengan senyum yang lepas.

Yang paling saya cari ketika mengunjungi supermarket kali pertama adalah ember atau gayung. Maklum kamar mandi dan toilet di Jerman tidak mendukung untuk bersuci dengan cara yang saya nyaman dengannya. Maka saya tanyakan pada kasir di mana saya bisa menemukan ember. Ia sedikit tertawa bahwa tidak ada ember di sini, tapi saya bisa mendapatkannya di pasar, di pusat kota. Pasar?

Yang terbayang oleh saya pasar itu ya seperti Pasar Balubur di Bandung. Sampai di pusat kota, habis rasanya saya kelilingi pusat kota tersebut, tak juga saya temui pasar tersebut. Di kemudian hari baru saya sadar bahwa keseluruhan pusat kota itulah pasar. Akhirnya saya hanya membeli sebuah cup yoghurt di supermarket dan menggunakannya untuk membantu bersuci.

Orang yang ditugaskan oleh universitas untuk menjemput saya di stasiun kereta sesampainya saya di kota tempat studi adalah Isam, seorang muslim dari Palestina. Ketika tahu dia dari Palestina, maka saya katakan padanya, “We are brother”, dan ia pun tersenyum mengangguk. Ia katakan pada saya bahwa Oldenburg adalah kota sepeda. Kotanya flat (datar), sangat nyaman bersepeda. Di sini, mahasiswa, profesor, anak-anak, pemuda, kakek-nenek, semuanya bersepeda.

Dan memang itulah adanya. Ia menyarankan saya untuk secepatnya membeli sepeda, dan ia tunjukkan toko yang tidak jauh dari universitas. Sesampai di asrama, Isam menunjukkan kamar saya dan memberitahu informasi seperlunya mengenai asrama. Walau dari luar, asrama ini cukup megah, 10 tingkat, tapi kamar saya hanya kamar yang sederhana dan bersih. Di kemudian hari saya mengetahui bahwa bagi mahasiswa yang akan meninggalkan asrama maka kewajibannya adalah membersihkan asrama ini sebagaimana kali pertama ia memasukinya, sehingga mahasiswa baru yang akan tinggal mendapati kamar sama seperti yang ia dapati.

Kamar saya di lantai pertama, ukurannya 4 x 3 m, diisi tempat tidur, meja, lemari pakaian, lemari buku, dan rak buku di dinding yang bisa di lepas-pasang. Ya, sederhana, tetapi setelah dipikir, bukankah ini sudah cukup bagi saya?

Penghuni asrama yang pertama kali saya temui adalah Nadine dan Cologne. Mereka agak heran juga ketika saya tidak membalas uluran jabat tangan mereka, namun hanya mengatupkan dua tangan saya di dada, sambil tersenyum paksa. Saya kenalkan diri saya, dan kami hanya berbicara sebentar. Tiap lantai terdiri dari 8-11 kamar, dan berbaris di sisi kanan dan kiri koridor.

Teman saya dari Nigeria, Stanley, mengatakan desain koridor di asrama kami ini seperti penjara di negerinya. Isam kemudian membawa saya ke kamar salah seorang penghuni di koridor kami, ia bilang bahwa orang ini adalah orang baik, dan akan siap membantu saya. Namanya, Bhatti, dari Pakistan, tetapi panggilannya adalah Sunny. Pemuda Pakistan ini persis seperti yang Isam bilang, sangat penolong. Mulai dari mencari ganti bola lampu di kamar saya, mendaftar akses internet asrama, mencarikan sepeda yang bisa saya pakai, hingga mengajarkan kepada saya filosofi memasak, dan menjadikan saya tester-nya.

Bila saya ada di asrama, maka tidaklah ia memasak dan kemudian bersiap menyantap sebelum mangajak saya untuk makan bersamanya. Ketika kami makan bersama ia sering memaparkan hadis, kagum juga saya dengan pengetahuannya. Ia selalu bersemangat bila berbicara antara ajaran Islam dan kenyataan yang ditunjukkan oleh umat Islam.

Saya masih ingat bagaimana ia menceritakan bahwa ia pernah ke Dubai, di mana begitu banyak gedung-gedung megah nan ajaib namun di belahan bumi Islam lainnya kelaparan di mana-mana. Dalam hal memasak, ia punya rahasia yang unik. Saya bingung ia tidak pernah menakar bumbu atau campuran masakan lainnya. Ketika saya tanyakan alasannya, ia menjawab bahwa ia baru belajar memasak semenjak di Jerman.

Satu tahun ia coba-coba sendiri bagaimana memasak, dan katanya feeling-nya yang kemudian mengukur setiap takaran untuk masakannya. Tetapi masakannya betul-betul enak. Bahkan setelah terampil memasak, ia membuka jasa menyajikan masakan bagi keluarga Jerman yang ingin menikmati menu Asia.

Dalam hal memasak, saya belajar darinya untuk menakar hanya dengan feeling, tetapi sayang rasa masakan saya tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan guru saya.

Saya merasa beruntung karena di asrama saya banyak juga yang muslim. Di koridor kami masih ada Kimet, seorang gadis Turki yang tidak memakai hijab. Ketika Bulan Ramadhan, saya dan Bhatti sedang menikmati ifthar bersama, dan dia datang menghampiri kami sambil bercanda menjawab kata-kata kami dalam bahasa arab yang merupakan istilah-istilah dalam Islam.

Ya, Turki adalah negara 99% Muslim, walau angka desimal yang dihilangkan lebih menunjukkan dekatnya ia ke 100%, jadi tidak heran jika naluri mereka adalah menganggap bangsa manapun yang muslim layaknya saudara mereka. Kemudian ada Shoeb, dari Bangladesh, mahasiswa ekonomi dan informatika. Di Oldenburg, mahasiswa bisa mengambil bidang studi yang tidak hanya satu displin ilmu, tetapi gabungan dari satu atau beberapa bidang, dan Shoeb adalah salah satunya.

Gelar yang diberikan pun hanya satu gelar akademis, kalau dalam Bahasa Indonesia mungkin adalah Sarjana Ekonomi dan Informatika. Bhatti sendiri belajar politik, hukum, dan ekonomi juga, tetapi saya tidak menanyakan apa gelar akademis yang akan ia terima, karena bagi saya hanya menambah keheranan saja. Shoeb ini teman yang ramah.

Entahlah, tetapi sepanjang saya hidup di Jerman, bangsa dari Asia Selatan adalah orang-orang yang sangat ramah, terlebih bila kami sesama muslim, dan satu lagi, mereka jago masak. Mereka sering mengajak saya untuk makan bersama menikmati masakan mereka, tetapi tidak saya penuhi setiap waktu, karena saya sendiri malu tidak menyiapkan apa-apa untuk hidangan tersebut. Kemudian ada Abdul Wahid, dari Pakistan, yang dulu tinggal di asrama kami, tetapi semenjak melakukan tesis, ia lebih sering menetap di Köln1.

Hanya kadang-kadang kami bertemu di Oldenburg. Ia juga orang yang ramah, dan ketika saya sedang bertandang ke kamar Shoeb, saya bisa melihat betapa khusyuknya ia melakukan shalat. Bahkan salah seorang Bruder2 yang sering menjadi imam dan khatib di masjid juga tinggal di asrama kami. Semenjak saya tinggal di Jülich3, saya lupa namanya, yang saya ingat nama depannya, Abdul. Ia berasal dari Arab dan saya kesulitan mengingat nama-nama saudara saya dari Arab yang diawali dengan Abdul, karena seringkali mereka punya nama yang sama. (bersambung)

Catatan :

1 Köln = Dibaca Koeln (huruf ö dibaca seperti hendak mengucapkan huruf e tetapi dengan vokal o, begitulah guru Bahasa Jerman saya memberikan tips)

2 Bruder = brother = saudara

3 Jülich = Kota kecil di barat daya Jerman, ejaan ü mirip dengan tips sebelumnya, hanya diucapkan dengan vokal u