Haji dan Kekuatan Umat

Haji adalah salah satu rukun Islam yang lima. Haji mengandung makna yang sangat dalam dan manfaat yang beragam.

Haji bisa ditinjau dari sudut ekonomi dan bisnis, yang hasilnya memang sangat signifikan. Allah swt pun dalam al-qur’an menyinggung masalah ini dengan firmanNya : ليشهدوا منافع لهم" Liyasyhadu manafi’a lahum". (agar mereka menyaksikan berbagai keuntungan buat mereka) Surat al-Hajj: 28.

Dari sejak zaman Jahiliyah, jamaah haji merupakan pangsa pasar yang cukup menjanjikan bagi para pedagang dari berbagai penjuru dunia, hingga saat ini.

Dari sudut akademik ilmiyah, haji sejak dulu dijadikan sebagai forum pertemuan ilmiah para Ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia. Mereka saling bertukar pendapat, muzakarah, bahkan talaqqy (berguru langsung) kepada syuyukh (guru besar) yang datang menunaikan haji ke Hijaz. Terutama perawi-perawi hadits memanfaatkan benar suasana haji dengan kedatangan muhaddits-muhaddits dan fuqaha’ dari negara lain, untuk berguru dan meriwayatkan hadits dari mereka.

Dalam catatan biografi para ahli hadits, keterangan ini banyak kita dapatkan. Umpamanya, Imam al-Hakam ibn Utaiba, seorang pakar hadits dan fiqh sekaligus, yang hidup di Kufah, Iraq, pada abad ke 2 H.

Ketika beliau menunaikan haji, oleh para pencari hadits dimanfaatkan untuk berguru dan talaqqi. Kata salah seorang yang hadir ketika itu: "Tak ada yang lebih ahli sekarang ini di antara dua gunung kota Madinah, yang melebihi keilmuan al-Hakam." ما بين لابتيها أفقه منه. (ma bayna labataiha afqoh minhu).

Begitulah haji menjadi ajang pertemuan dan reuni para Ulama dari berbagai penjuru, baik dari Hijaz, Kufah, Basrah, Khurasan, Mesir, Yaman, Samarqand, Syam, dan negeri lainnya.

Bahkan sebagian mereka memanfaatkan waktu musim haji untuk menghasilkan karya ilmiyahnya, karena pelaksanaan haji paling tidak memakan waktu tiga bulan, sebab sarana transportasi kala itu sangat sederhana sehingga memakan waktu yang agak panjang.

Yang menarik, di antara mereka adalah seorang cendekiawan Indonesia abad ke 19, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Termasi, seorang ‘alim berasal dari Termas, Jawa Timur yang lama bermukim di Makkah, Arab Saudi. Syekh Mahfuzh dalam bukunya "Manhaj zawi an-Nazhar" di bidang Ilmu Hadits, menulis dalam mukaddimahnya, bahwa buku itu dia tuntaskan selama pelaksanaan haji. Begitulah para Ulama yang menyibukkan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat.
Jika haji kita cermati, melalui ajaran yang terkandung di dalamnya, akan kita dapatkan sejumlah mutiara yang mahal yang dapat dinikmati para tamu Allah, kendatipun tidak selamanya berupa materi, antara lain :

Solidaritas/Kekompakan

Ada pelajaran yang sangat berharga dari haji, yaitu membangun solidaritas sesama muslim. Sebuah kekuatan dahsyat yang tampak pudar akhir-akhir ini, baik di tingkat rendah maupun di level internasional.

Kekuatan umat cenderung terpecah-pecah. Masing-masing jama’ah merasa kelompoknya yang paling benar (كل حزب بما لديهم فرحون ) “Setiap kelompok merasa bangga dengan apa yang dimilikinya”.Negara-negara Muslim asyik dengan persoalannya sendiri-sendiri. Negara muslim yang kaya asyik menikmati kekayaannya, membiarkan saudaranya bangsa Palestina kelaparan, tertindas, terjajah oleh zionis Israel.

Adapun mereka yang sama-sama melaksanakan haji, memiliki rasa kebersamaan karena hati mereka diikat oleh ikatan pemersatu yang hakiki, kesamaan tujuan sesama pengabdi Allah swt, pencari ridhoNya, (إنما المؤمنون إخوة ), jauh dari faktor pemersatu yang palsu, seperti satu negara, satu bahasa, satu etnis, satu profesi, satu hobi, satu partai, dan lainnya.

Pertemuan antar Bangsa

Haji bisa berfungsi sebagai Multi Konperensi ummat Islam sedunia. Dalam ibadah haji, berbagai professi dan tingkatan ummat, berkumpul dalam waktu dan tempat yang sama. Mereka bisa membincangkan berbagai persoalan ummat di berbagai belahan dunia, dari berbagai sudut pandang.

Umpamanya dari sisi ekonomi dan bisnis, jika sisi ini dianggap sebagai salah satu titik lemah ummat Islam di dunia, para pengusaha Muslim dari berbagai negara dapat saling tukar menukar informasi tentang peluang bisnis di negara masing-masing, merencanakan kerjasama ekonomi dan dagang antar sesama bangsa Muslim.

Di tingkat dunia Arab saja, kita temukan, modal usaha dimiliki oleh negara-negara Teluk Arab (seperti Saudi, Qatar, Kuweit, Emirat). Tenaga kerja dan SDM dimiliki oleh Mesir. Lahan yang luas dimiliki oleh Sudan. Jika potensi ini disatukan, maka di sana akan muncul ‘Macan ekonomi Arab’.

Apa lagi jika diperluas ruang lingkupnya ke dunia Islam. Tenaga kerja dan SDM yang bisa dipasok oleh Indonesia dan Pakistan, disamping Mesir. Profesionalisme-nya Malaysia, Sumber Alam dan lahan juga tersedia di Indonesia. Belum lagi jika disertakan Afrika, tidak diragukan, akan lahir kekuatan ekonomi yang cukup diperhitungkan, kendatipun belum bisa digolongkan sebagai ‘superpower’.

Semua ini membutuhkan diskusi dan pertemuan dalam satu meja yang tersedia sarananya pada ibadah Haji.

Yang mengganjal sekarang di tengah umat Islam, egoisme dan fanatisme kebangsaan yang menghancurkan solidaritas dan kesatuan. Demikian juga persoalan industri, teknologi informasi dan bidang lainnya selama tidak menghilangkan misi awal, yaitu menunaikan faridhoh haji.

Fungsi ini selama ini kurang dioptimalkan oleh umat. Padahal ia merupakan peluang emas untuk mengembangkan potensi umat secara besar-besaran. Umat lain tidak memiliki ajaran seperti ini, namun mereka tetap berusaha untuk menciptakan jaringan seperti itu.

Tak kurang pentingnya, membincangkan soal dakwah Islam. Alhamdulillah sisi ini sudah berjalan melalui Rabithah Alam Islami. Para da’i diundang haji oleh pemerintah Saudi setiap tahun dari berbagai negara. Di sela-sela haji itu mereka dapat memanfaatkan keberadaan delegasi-delegasi untuk mengkaji realita dakwah di negara-negara Muslim, baik mayoritas ataupun minoritas, dan merencanakan strategi dakwah yang lebih menjawab tantangan dakwah masa kini.

Namun, hendaknya pertemuan seperti itu tidak sebatas basa-basi, sambil lalu, dan hasilnya dapat dijadikan acuan dan panduan bagi umat Islam. Jadi, yang akan terbentuk di tengah umat –dengan ibadah haji- adalah jaringan yang didasari oleh aqidah, keimanan, sehingga melahirkan hubungan yang penuh dengan kejujuran dan amanah.

Kerja Keras

Ibadah haji juga membentuk pribadi Muslim pekerja keras yang terbiasa dengan tantangan. Ini mudah dipahami, karena hampir setiap manasik melibatkan fisik dan membutuhkan kerja keras. Dan semuanya penuh tantangan.

Untuk melaksanakan Tawaf, seorang Muslim harus berjuang menghadapi kepadatan manusia. Jika orangnya pesimis, begitu melihat lautan manusia, ia praktis akan mundur dan bisa saja membatalkan hajinya.

Tetapi muslim yang hakiki, tidak akan demikian. Begitu juga halnya ketika Sa’i dan melempar Jumrah yang sangat kental dengan nuansa pergulatan. Ibadah-ibadah itu secara tidak langsung membentuk watak dan kepribadian Muslim yang siap menghadapi tantangan. Bukan muslim yang lemah semangat.

Mentalitas seperti ini sangat berguna di zaman sekarang yang sangat diwarnai oleh persaingan. Namun seorang Muslim juga sudah terbiasa tertib dalam bersaing. Tidak langsung menghalalkan apa saja asal memperoleh kemenangan.

Disiplin Aturan

Haji juga melahirkan sikap disiplin. Disiplin dalam berbagai sisinya, termasuk disiplin pada aturan dan sistem.

Tak ada yang Muslim yang memprotes aturan berpakaian dengan dua potong kain Ihram yang berwarna putih, sekalipun ia sanggup membeli kain Ihram yang terbuat dari sutera.

Tak seorangpun yang menolak untuk Tawaf tujuh keliling berdesak-desakan dengan orang biasa sekalipun ia seorang Raja, Presiden, menteri, atau jenderal. Tak seorangpun membantah atau membuat aturan baru, bahwa tanggal 9 zulhijjah, semua hujjaj harus berada di Padang Arafah sebelum tenggelam matahari.

Ini disebabkan karena taat pada aturan yang berlaku. Sikap disiplin dalam ibadah inilah yang perlu ditularkan ke seluruh sisi kehidupan. Tanpa disiplin, dunia akan kacau dan tidak beraturan. Masing-masing orang berbuat semaunya. Tapi kenapa kemudian, dunia Islam menjadi terkenal dengan tidak disiplin?

Jawabannya, sebuah ajaran jika tidak dipraktikkan dan tidak dibangun sistem untuk menjalankannya, akan membuat ajaran itu tidak berbekas, dan hanya sebatas teori. Sementara umat lain, yang secara nilai, peradabannya tidak mewariskan sebuah ajaran yang mulia, tetapi mereka mengcreate ajaran itu dan membangun sistem agar ajaran itu dilaksanakan, maka tidak mustahil mereka akan lebih riil dari kaum Muslimin. Dalam soal ini kita teringat pada firman Allah Swt :

يا أيها الذين آمنوا لم تقولون ما لا تفعلون . كبر مقتا عند الله أن تقولوا ما لا تفعلون.

(Hai orang yang beriman. Kenapa kamu ucapkan apa yang tidak kamu perbuat, besar sekali murka Allah, kamu ucapkan apa yang tidak kamu lakukan.). Surat ash-Shaff 2-3.

Ikhlas

Ikhlas adalah buah dari seluruh Ibadah. Muslim yang tekun ibadah akan menjadi hamba yang Ikhlas. Untuk mengatur sebuah negara seperti Indonesia, sangat dibutuhkan keikhlasan mencari ridho Allah Swt.

Saat ini, kita membutuhkan pemimpin yang ikhlas, bekerja karena Allah untuk kepentingan bangsanya. Dalam kenyataan, tipe pemimpin seperti inilah yang hampir tidak kita dapatkan lagi. Masing-masing tokoh berfikir untuk mengejar keuntungan duniawi dan materi di balik usahanya.

Mereka berlomba mencari jabatan, bukan karena ingin menyumbangkan jasanya untuk bangsa, tetapi karena ada sesuatu yang menjanjikan kesenangan di balik jabatan itu. Andaikan tak ada sesuatu yang diharapkan secara finansial ataupun non finansial dari jabatan itu, niscaya tak ada orang yang terpanggil untuk memegang jabatan. Di sinilah fungsi Haji mendidik muslim menjadi manusia yang Ikhlas. Wallahul musta’an.