Ambil Saham

Ramadhan sebagai bulan tarbiyyah benar-benar kita rasakan. Bulan di mana kesempatan untuk mendidik diri dan keluarga menjadi pusat semua aktivitas kita. Mulai terbit fajar hingga terbenam matahari, kita manfaatkan untuk menyegarkan kembali nilai-nilai ruhani yang pernah kita terima dulu dari kedua orang tua.

Sekarang, nilai-nilai itu kita semai lagi di lahan keluarga sendiri, kepada isteri dan anak-anak kita. Kita tengah menjaga kesinambungan rantai kebajikan yang buhul dan simpulnya telah erat diikat dari generasi ke generasi. Di tangan keluarga kita, buhul dan simpul rantai itu dieratkan lagi jangan sampai tercerai berai, apalagi terputus. Begitulah pengalaman Ramadhan berulang layaknya siklus kehidupan yang tak pernah berakhir.

”Nak, sekaranglah saatnya bagimu belajar berpuasa”.

”Tapi, aku lapar. Pingin minum”.

”Insya Allah, Ade kuat menahan tidak makan dan minum sampai Maghrib nanti”.

”Gendong”.

Seperti ini pengalaman saya dulu pertama kali belajar berpuasa. Sekarang, hal yang sama berulang pada putera saya yang kedua. Awalnya kasihan dan iba. Anak kelas 2 SD yang masih senang jajan dan bermain itu harus merasakan haus dan laparnya berpuasa. Tidak kurang dua belas jam sebelum Maghrib tiba, saya berjuang meyakinkan dan menghiburnya bahwa ia mampu. Dan akhirnya selamat. Hari pertama berpuasa lulus sampai Maghrib dengan tiga kali menangis, dua kali minta gendong, lebih dari tiga kali merajuk minta makan dan minum sampai minta traktir mie ayam lepas tarawih. Biasanya satu sampai tiga hari pertama, memang begitu. Jika tiga hari pertama yang paling riskan itu dapat dilewati dengan kesabaran, Insya Allah selanjutnya akan terasa lebih ringan.

Ramadhan adalah kesempatan emas untuk menorehkan celupan ketaatan pada setiap anak cucu. Meskipun setiap waktu celupan mewarnai jiwa mereka dengan tauhid, iman, Islam dan ihsan telah berjalan setiap saat, tetapi kesempatan di bulan mulia ini celupan harus diperkental agar menghasilkan warna yang kuat, tegas dan konsisten. Nantinya celupan jiwa tauhid,iman, Islam dan ihsan mereka tidak mudah luntur dan pudar di terpa zaman dan kerasnya godaan dunia. Jika celupan jiwa mereka tipis dan rapuh, nantinya mereka akan mudah tumbang dan gampang tergoda dengan tarikan syahwat yang semakin zaman tua, semakin kuat tarikannya.

Ramadhan adalah momen istimewa untuk menorehkan celupan Allah. Dan untuk itu, kita harus bertarung dengan berbagai faham-faham asing yang berusaha pula mencelup setiap jiwa generasi anak cucu kita. Materialisme, hedonisme, sekulerisme. liberalisme dan pluralisme adalah celupan-celupan lain yang berusaha pula merebut dan ingin mewarnai jiwa anak cucu kita hingga menguasainya secara utuh. Belum lagi jagat hiburan, infotaimen dan perangkat lunak yang dapat diakses hampir tiada jeda ruang dan waktu. Maka mempertegas kembali celupan Allah bagaikan waktu istimewa di setiap Ramadhan. Tiada celupan yang terbaik selain celupan-Nya.

”Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah” .(terjemah QS. Al-Baqarah [2] : 138)

Faham dan pengamalan Islam sesuai tuntunan Rasulullah, para sahabat dan generasi salaf yang masih murni, makin hari makin terkikis. Meskipun tetap ada sebagian kecil dari umat ini yang berjibaku mempertahankan kemurniannya. Kepada mereka sering disematkan sebutan fundamentalis, wahhabi atau Islam garis keras. Sebuah sebutan yang menyiratkan sedikit kekhawatiran dan kewaspadaan yang seolah ingin merusak pemahaman tertentu. Faham dan amaliyah atas agama mejadi simpangsiur. Berlarut-larut dan kadang menimbulkan gesekan yang melukai ukhuwwah.

Obat dari semua persoalan itu sebenarnya hanya satu, yakni mengembalikan semua amalan ibadah sesuai yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, para sahabat dan salafussalih. Tinggallah kita semua, mau atau tidak menempuh cara itu. Tetapi keyakinan saya masih menyisakan tanya, apa mungkin ada umat Islam yang enggan untuk diajak kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah?

Memertegas celupan Allah di bulan Ramadhan hingga benar-benar meresap di setiap hati anak cucu kita, adalah dalam rangka membekali mereka dengan saham akhirat. Saham yang tidak akan pernah anjlok nilainya di pasar bursa bahkan menolongnya dari kebangkrutan hidup di akhirat kelak.

Ada tiga saham yang harus dimiliki setiap muslim secara utuh. Hilang salah satunya menyebabkan ketidaksempurnaan bangunan Islam kita. Apalagi jika menolaknya, bisa menyebabkan kufur dan dianggap lari dari Islam keseluruhannya. Nah, faham-faham asing yang menggeliat dan mendekonstruksi bangunan Islam saat ini, sebenarnya menginginkan agar saham-saham itu tidak lagi dimiliki oleh generasi muslim belakangan. Mereka menginginkan orang Islam asing dengan Islamnya sendiri. Apa yang ingin kita katakan apabila ada cendikiawan muslim menyatakan bahwa semua agama sama dan benar? Bahwa shalat tidak wajib, bahwa haji dapat dilaksanakan di luar bulan dzul Hijjah, bahwa Al-Qur’an bukan kitab suci tetapi hanya kitab yang dianggap suci, bahwa semua umat masuk sorga yang penting selama hidup ia bermanfaat untuk orang lain?

Sekaranglah saatnya mempertebal celupan Allah, meskipun harus bersabar membujuk mereka terlatih puasa, terlatih bangun malam, terlatih bertadarrus, berinfak dan belajar menahan diri. Membekali mereka dengan pemahaman yang benar tentang Islam agar tiga saham itu mereka kantongi sebagai investasi akhiratnya kelak.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, “Tiga hal yang aku bersumpah atasnya, (agar) Allah tidak menjadikan siapa saja yang memiliki bagian (saham) dalam Islam, sama seperti orang yang tidak memilikinya. Dan saham-saham Islam itu ada tiga: shalat, puasa dan zakat.”

Semoga generasi kita memiliki saham-saham itu utuh sebagai investasi akhiratnya kelak. Meskipun dengan bersusah payah dan sabar membiasakan mereka untuk meraihnya.