Menara Sabila

Negeri 5 menara, itulah yang terlintas dalam anganku saat pertama kali memasuki gerbang pondok pesantren modern ini. Bangunan yang megah dan tertata rapi, lingkungan yang bersih dan asri, para santri putra dan putri yang berkelompok terpisah saling menjaga diri, begitu indah dilihat dan menyejukan hati.

Melihat dan merasakan langsung suasana pondok yang berlokasi di desa Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang, Banten ini mengingatkanku pada kisah Alif Fikri, tokoh sentral dalam buku Negeri 5 Menara yang ditulis oleh A. Fuadi.

Beginikah suasana di negeri 5 menara? Aku sadar, siang itu aku tidak sedang berada di pondok Madani seperti yang diceritakan dalam buku tersebut, tapi aku bisa merasakan semangat Alif Fikri dan keempat sahabatnya dalam menuntut ilmu. Bahkan jika mereka ( Alif Fikri dan sahabatnya ) memiliki lima menara ( mimpi ), maka di sini ada enam menara. Satu diantaranya langsung kami ‘bangun’ saat pertama kali menginjakan kaki. Aku berharap sekali tahun depan putriku bisa menuntut ilmu di sini. Begitupun ketika kutanya putriku, dengan semangat ia katakan ingin didaftarkan saat itu juga. Tentu saja, aku tidak bisa menuruti permintaannya. Ia kini masih duduk di kelas lima, harus bersabar menunggu satu tahun lagi. Dan aku harus bekerja lebih keras lagi, menjemput rejeki untuk biaya sekolahnya nanti.

Di sini, di halaman pondok pesantren ini, kami bangun satu buah menara atas nama Sabila, sebuah mimpi dan harapan bahwa putriku kelak bisa memenuhi kewajibannya selaku muslim, menuntut ilmu di sini. Amin.

Sebenarnya, kedatangan kami Minggu siang kemarin adalah atas kebaikan Pak Lanjar, pemilik kontrakan belakang rumah yang kini tinggal di Jakarta. Dua bulan lalu, aku pernah bercerita padanya tentang keinginanku memasukan Sabila ke pesantren setelah lulus SD nanti. Dan berawal dari obrolan singkat waktu itulah, Jum’at sore kemarin beliau berkirim sms, mengajak kami ikut ke ponpes modern ini. Selain menjenguk putrinya yang kini sudah duduk di kelas dua aliyah, Pak Lanjar sengaja mengajak juga seluruh keluarganya untuk menemani dan memberi dukungan kepada putri kedua mereka yang akan mengikuti tes seleksi tsanawiyah kelas excellent yang berstandard internasional. Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar dan pada akhirnya Alma, putri kedua Pak Lanjar dinyatakan lulus dan diterima di kelas excellent, mengikuti jejak kakaknya.

Sekitar enam jam lamanya kami berada di pondok pesantren yang kudengar adalah terbesar di Tangerang ini. Dan aku manfaatkan kesempatan ini untuk melihat secara langsung kegiatan para santri. Sementara Pak Lanjar dan keluarganya menunggu Alma yang sedang mengikuti tes, aku dan Sabila berkeliling kawasan pondok yang ternyata sangat luas. Meski baru pertama kali datang, rasanya aku dan putriku merasakan hal yang sama. Betah. Semoga ini pertanda bahwa kelak ia bisa menjadi bagian dari pesantren ini. Amin.

Masih setahun lagi. Sebagian wali murid mungkin merasa belum perlu mencari dan memilih sekolah untuk putra putrinya. Tapi aku mempunyai pertimbangan lain. Bukan terburu-buru atau tergesa-gesa bila aku mulai mengumpulkan informasi tentang sekolah lanjutan yang terbaik untuk Sabila, termasuk mengunjungi secara langsung bila itu memungkinkan, seperti yang saat itu kami lakukan. Bagaimanapun, memilih sekolah tidak boleh dilakukan secara asal-asalan.

Dan dari semua spesifikasi yang diinginkan, menjadi priorotas utama adalah sekolah yang memiliki kurikulum pendidikan yang dirancang utnuk mempelajari apa-apa yang diperintahkan Allah dan mengarahkan para pelajarnya untuk mencintai dan mentaati Allah dan rasol Nya. Kurikulum pendidikan yang memberikan ilmu dunia dan akhirat dalam porsi yang tepat, yang mengajarkan akhirat sebagai satu-satunya tujuan sedang dunia hanyalah sarana menuju akhirat.

Selain itu, lingkungan sekolah termasuk tenaga pendidiknya adalah hal juga yang tak boleh dianggap sepele sebab salah dalam memilih justru bisa berakibat fatal. Harus diyakinkan bahwa lingkungan sekolah mendukung proses kegiatan belajar mengajar. Juag para tenaga pendidiknya haruslah amanah.

Dengan pertimbangan itulah, maka meski masih setahun lagi aku mulai mengumpulkan informasi. Dan dari semua standard yang aku tetapkan, masuk pesantrenlah pilihan yang tepat untuk putriku. Aku tak hanya ingin putriku menjadi pintar, tapi juga benar dan berakhlakul karimah dalam perbuatan dan tingkah lakunya. Tidak hanya cerdas, tapi juga sholeh dalam kesehariannya. Dan, di pondok pesantren inilah aku bangun menara ( cita-cita dan harapan ) semoga Allah memudahkan semua perkara, melancarkan segala urusan, hingga bila nanti tiba waktunya putriku bisa diterima, menuntut ilmu dan kelak bisa mengamalkan apa yang ia pelajari demi tegaknya agama ini, untuk kemaslahatan umat dan meraih kesuksesan dunia hingga akhirat. Amin, ya Rabb.

http://abisabila.blogspot.com