“Aku Bukan Nihon-jin !”

Entah kenapa, isu SARA mulai menghangat bahkan sempat memanas lagi di rumah kami. Sudah bukan rahasia lagi kalau anak sulungku sangat tidak suka bila disebut Nihon-jin meskipun sebenarnya dia adalah Nihon-jin.

Awalnya aku tahu kalau dia sangat marah disebut Nihon-jin adalah dari penuturan kakek-kakek yang biasa bermain bersama anak-anak di taman yang kebetulan berada dibawah apartemen tempat tinggal kami. Di taman tersebut biasa berkumpul anak-anak Jepang maupun beberapa anak Indonesia yang kebetulan teman akrab anakku.

Suatu hari, kakek tersebut bercanda bersama teman anak sulungku “Wach kamu Indonesia-jin ya?; tapi bahasa Jepangmu bagus. Kalau dia sich memang Nihon-jin jadi bahasa Jepangnya pera-pera” katanya sambil menunjuk ke arah anakku.

Tanpa diduga teman anakku tersebut protes “Tidak, dia bukan Nihon-jin tapi Indonesia-jin sama-sama aku!” “Iya, aku Indonesia-jin” sambut anakku bersemangat sambil berlari meninggalkan kakek tersebut. Sejak saat itu kakek tersebut senang sekali menggoda anakku dengan mengatakan bahwa dia adalah Nihon-jin. Dan biasanya anakku sangat marah sekali apalagi kalau menggodanya berulang-ulang, Dipuncak kemarahannya, dia pernah mencoba menendang kaki kakek tersebut. Untung saja aku lihat jadi aku sempat memperingatkan dan menasehati anakku. Kalau saja dia benar-benar menendang kakek itu, aku yakin kakek itu akan jatuh tersungkur sebab dia sudah sangat berumur (70 tahunan) dan bermasalah dengan kakinya (tidak bisa berdiri tegak).

Akan halnya kakek tersebut, semakin marah anakku, semakin senang dia jadinya. Jujur saja, aku juga kadang-kadang jadi kesal dibuatnya karena mertuaku sempat laporan kalau anakku nggak mau dibilang Nihon-jin. Saat itu aku hanya menanggapi dengan senyum biasa dan kuanggap angin lalu saja. Tapi seiring perkembangan waktu, Ibu mertuaku mulai sering mengangkat isu tersebut dan aku jadi merasa tidak enak karena takut disangka akulah yang mengajarinya.

Puncak ketidaknyamanan tersebut terjadi saat acara makan malam keluarga di rumah mertuaku. Kebetulan mereka menyajikan sashimi, ikan mentah khas Jepang yang biasa dimakan dengan kecap asin Jepang. Melihat anakku yang sangat lahap meyantap sashimi, mertuaku kelihatan sangat puas dan senang sembari berkomentar “Yappari, anata wa nihon-jin desu ne?”

Reaksi anakku sungguh sangat tak terduga. Serta merta dia menghentikan makannya dan berteriak keras “Boku wa nihon-jin janai yo!” terus ngambek dan tidak mau lagi menyentuh makanan didepannya. Suamiku senyum-senyum saja melihat ulah anakku, sementara kedua mertuaku berusaha tertawa meskipun terasa getir. Sedangkan aku merasa malu sekali dan takut kalau-kalau mereka benar-benar berpikir bahwa akulah yang mengajari anakku.

Ingin rasanya aku berkata “Nak, buat Ibu, apapun nasionalismu tidak menjadi masalah buat Ibu asalkan kau tetap jadi orang Islam yang baik dan teguh memegang ajaran-Nya, sampai Allah memanggil kita”. Tapi tenggorokan dan lidahku rasanya kelu sekali antara takut menyinggung hati mertua dan takut salah bicara. Alasan yang kedua terasa sangat dominan karena aku belum begitu fasih untuk menjelaskan hal-hal yang kompleks dalam bahasa Jepang. “Duch, bagaimana cara bilangnya ya?”, batinku pusing.

Kalau sudah begitu, yang ada adalah sebuah penyesalan panjang kenapa aku tidak pernah mau serius dan secara formal belajar bahasa Jepang. Padahal aku mungkin bisa lebih banyak mengenalkan Islam di bumi Sakura ini seandainya aku bisa berbahasa Jepang.

Beberapa hari lalu, isu SARA kembali muncul ke permukaan. Dengan tergopoh-gopoh anak keduaku (3 tahun) berlari kearahku dan bertanya:
“Ibu, Ibu, Ojii San wa Nihon-jin?”, tanya anakku
“Hai” jawabku
“Obaa San mo Nihon-jin?” tanyanya lagi
“Shana Chan mo Nihon-jin ne, onaji….” “So yo” sahutku lagi. Anak perempuanku langsung tertawa-tawa senang. Ditengah tawa renyahnya, tiba-tiba kakaknya keluar dan nyeletuk “Boku wa Indonesia-jin yo, Ibu to ishou!” sontak anak perempuanku menghentikan tawanya dan berteriak “Wuaaaaaaaaa” sambil air matanya bercucuran dia bilang "Tidak mau sendiri, mau sama Ibu!" Aku berusaha menghiburnya, dengan mengatakan bahwa dia sama-sama Ibu (Indonesia jin) sambil terus mencari solusi terbaik.

Sejak saat itu, dialog pertanyaannya terus diulang-ulang dari hari ke hari dan selalu berakhir sama, tangisan. Aku sampai bingung memberikan penjelasan yang sesuai dengan logika anak seusianya.

Sedikit demi sedikit, di setiap kesempatan aku selalu berusaha untuk memberi pengertian kepada anak-anakku (terutama si sulung) bahwa apapun kebangsaannya nggak terlalu bermasalah, yang penting dia adalah Islam no jin. Akupun mulai belajar membiasakan diri bahwa setiap saat kalau putri kecilku bertanya “Ibu wa nano jin?” dengan mantap aku akan menjawab “Islam no Jin”.

Dan sepertinya usaha itu mulai membuahkan hasil karena saat dialog kebangsaan kembali mencuat minggu lalu, anak sulungku sudah bisa berucap:
“Andi kun wa Islam no Jin yo ne, Ibu?” “Iya” jawabku
“Kalau begitu ayah juga Islam no Jin ya Bu?” “So!” kataku mengiyakan.
“Minna kazoku de?” ulang anakku setengah tak percaya “So yo!” kataku lagi.
“E…!” teriak anakku senang karena keluarganya tidak harus terpecah jadi dua antara Nihon-jin (ikut ayah) maupun Indonesia jin (ikut Ibu).

Anak sulungku melompat-lompat kegirangan dan sesaat kemudian menghampiriku lagi sambil menarik-narik tanganku supaya melihat kearahnya.
“Ah, so ya ne, Ibu…Islam no Jin wa ii ne, minna wa kazoku dakara…” katanya senang sambil mengulang pesan yang biasa aku sampaikan bahwa semua orang islam itu adalah saudara tanpa kecuali. Alhamdulillah, Ya Allah, ternyata identitas sebagai “Islam no jin” telah menghilangkan isu SARA di lingkungan kami dan sekaligus menyatukan hati kami.

Fukuoka, Februari 2009

Terjemahan Bebas
– nihon-jin = orang Jepang – Indonesia jin = orang Indonesia
– Pera-pera = lancar
– Yappari anata wa nihon-jin desu ne = kamu benar-benar orang Jepang ya
– Boku wa nihon-jin janai yo = aku bukan orang Jepang loh
– Ojii San wa nihon-jin? = Kakek orang Jepang ya?
– Obaa San mo nihon-jin? = Nenek juga orang Jepang?
– Onaji = ishou = sama
– Ibu wa nano jin? = Ibu orang apa? – Islam no jin = orang Islam
– Minna kazoku de? = semua anggota keluarga
– Ah, so ya ne, Ibu…Islam no Jin wa ii ne, minna wa kazoku dakara =  Ah iya ya Bu, jadi orang Islam enak ya karena semua saudara (keluarga)