Antara Doa dan Kepastian

Tahun ketigaku disini, adalah tahun duka juga bahagia. Di tahun itu untuk pertama kalinya kampus Azhar menetapkan aku termasuk mahasiswa yang harus ngulang alias tidak lulus. Sedih memang, hanya untuk mengejar ketertinggalan beberapa mata kuliah, aku harus menunggu tahun berikutnya. Tapi ya begitulah adanya, kampus antik tempat menimbah ilmuku yang katanya telah berusia ribuan tahun itu, memang punya cara tersendir i. Agak sedikit beda dengan yang lain. Karena azhar ingin mahasiswanya benar-benar menguasai mata kuliah yang diajarkan. Makanya diberi waktu setahun untuk mengulang kembali jika lebih dari dua mata kuliah yang tinggal. Bahkan, yang lebih dahsyat adalah mereka yang di strata dua. Kalau dalam ujian ada satu mata kuliah yang tinggal, maka wajib mengulangnya bersamaan mata kuliah yang lulus.

Tapi, waktu itu juga aku merasakan kebahagiaan. Memang hidup tak selamanya di bawah. Sewaktu-waktu bisa naik ke atas. Dunia bagaikan roda yang berputar. Satu saat kita menangis, mungkin tak selang begitu lama kita bisa tertawa. Itulah romantika kehidupan. Selalu hadir berpasang-pasangan.

Impian, berwujud kenyataan. Betapa tidak, dulu sebelum tiba di Mesir, kapan ya aku bisa melihat ka’bah. Bayanginnya antara Mesir dan Saudi itu dekat. Jadi, kemungkinan besar peluang menunaikan ibadah haji lebih besar ketimbang dari Indonesia. Dan akhirnya, the dreaming comes true. Aku jadi juga berangkat ke tanah suci tahun itu. Ya, meskipun tidak mulus-mulus aja proses pengurusannya.

Hal yang paling mendebarkan, saat pengurusan, aku harus berhadapan dengan administrasi yang berbelit-belit. Waktu itu, semua berkas telah lengkap, tinggal taqdim (ngajukan) ke travel. Selanjutnya pihak travel lah yang membawa ke safarah (kedutaan ) saudi untuk mengambil visa haji. Apa yang terjadi, ternyata dalam kelompok berkas yang diajukan, punyaku di tolak pihak travel. Sebab passporku baru, dan mereka minta syahadah taharrukah, semacam surat keterangan dari imigrasi setempat yang menerangkan kalau aku belum pernah haji dalam kurun empat tahun. Soalnya jatah haji di Mesir hanya boleh sekali dalam empat tahun.

Apakah takdir yang berlaku, kayaknya aku belum di perkenankan berucap labbaikallahuma labbaik. Waktu yang mepet. Hanya tinggal satu minggu untuk jatah pengajuan. Sementara pihak imigrasi mengatakan syahadah taharukah baru bisa diambil bulan depan. Cuma bisa pasrah, dan berdoa.
Yang bisa kulakukan saat itu ya, cuma berdoa. Terkadang kalau teringat Ka’bah, tak sadar air mata langsung tertumpah. Berharap tamasya rohani tahun itu, setidaknya bisa mengurangi kesedihanku karena tinggal kuliah, namun mungkin lagi-lagi kebahagian belum berpihak padaku. Cuma doa dan munajat panjang yang tertumpah dalam sujud-sujud malam.

Ada satu yang membesarkan hatiku, kalimat yang terdengar dari ustad Hasan saat menerima panggilan Hpnya. Beliau adalah pengajar di lisanul arab. Tempat kami kursus bahasa arab. Tengah mengajar, Hpnya berdering, dan diapun berbicara. Satu kalimat yang langsung tertangkap olehku saat dia bilang inna du’a wa al qada’ musharaah. Doa dan kepastian itu bertempur. Lebih banyak doa, maka peluang dikabulkan keinginan kita juga lebih besar. Maka harus tetap optimis dan terus berdoa sampai keputusan itu ada.

Langsung, teringat kembali urusan hajiku. Tak henti-hentinya berdoa. Dan aku yakin bisa berangkat. Wal hasil, seminggu setelahnya aku ke kantor imigrasi mengambil syahadah taharrukah. Lalu, taqdim ke travel dan seminggu setelahnya passporku dapat visa haji. Alhamdulillah.

Doa, memang begitu berharga. Ini adalah senjata yang paling ampuh untuk setiap masalah. Namun terkadang, kita belum optimal menggunakannya. Sehingga terkadang masih enggan berdoa pada saat-saat genting. Bahkan, karena seringny berdoa, dan ternyata jarang dikabulkan. Maka degan cepat ia putus asa. Dan beranggapan doa atau tidak sama saja.

Ini adalah sikap yang keliru. Seorang muslim tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan aktifitas yang satu ini. Tidak berdoa sama sekali, justeru bisa bisa kita dicap sebagai hamba yang sombong. Karena secara tidak langsung , kita tidak mengakui kemahakuasaan Allah. Kalau Tuhan saja sudah disepelekan, bagaimana kebahagian hidup akan diperoleh. Itu makanya doa termasuk ibadah. Beribadah, berarti mengakui bahwa diri kita itu rendah dihadapan yang Maha kuasa. Bukankah doa juga seperti itu.

Sebenarnya tidak ada ruginya kalau kita berdoa. Dikabulkan atau tidak, kita tetap untung. Kalau belum dikabulkan, kita telah mengantongi pahala dari doa itu. Kalau makbul, dapat pahala plus dengan terwujud keinginan. Tinggal seberapa sering dan ikhlas doa itu dipanjatkan. Jangan lupa pula, kalau doa itu harus yakin.

Saya pernah melihat buku La taruddu al qadha’ illa ad du’a. Tidak berubah keputusan kecuali dengan doa. Judul yang cukup memukau . Bagus untuk membentuk pola pikir positif terhadap doa. Juga biar kita tidak pesimis kalau berdoa tapi tidak dikabulkan. Di situ, banyak dijelaskan bagaimana seharusnya kita memandang doa. Dan akhirnya kita bisa menggunakan doa itu secara profesional dan proporsional. Bagaimana caranya dan kapan waktunya serta sikap apa seharusnya diambil terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada pada doa.

Intinya, dibuku itu kalau mau doa makbul, kuncinya ikhalas dan yakin. Dan fungsi doa cukup penting. Bayankang, bait-bait munajat yang terangkai dari hamba mampu merubah qadha atau ketetapan yang pernah dibuat oleh Sang pencipta. Dan itu bisa dibuktikan sendiri. Mungkin, Allah berencana memutuskan A kepada kita. Namun kita ingin keputusan itu menjadi B. dan doa mampu merbah keputusan yang tadinya A menjadi B.

Maka tepat kalau ada ungkapan doa itu bertempur dengan ketetapan yang ada. Kalau Allah mengatakan, berubah atau tidaknya seseorang tergantung bagaiman dia merubahnya. Itu artinya doa juga merupakan rangkaian usaha yang bisa kita lakukan.

Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhiratil hasanah waqina azabannar

http://www.madhan-syah.blogspot.com/