Dipaksa Memikul Tanggung jawab

Miris sekali mendengar penuturan seorang ibu yang berhasil menghantarkan anaknya menjadi salah satu kontestan uji bakat yang diselenggarakan sebuah stasiun televisi swasta. Ibu tersebut sangat suka cita menanggapi keberhasilan buah hatinya, dia berharap kalo anaknya lolos menjadi juara bisa mengangkat nasib keluarganya, membuatkan rumah untuknya dan membiayai sekolah saudaranya.

Selintas harapan ibu itu sangat wajar dan sungguh mulia anaknya bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Seorang anak tentunya dianjurkan untuk berbakti dan memuliakan kedua orang tuanya, namun orang tua pun punya tanggung jawab yang besar terhadap anak-anaknya. Diantaranya adalah menafkahi dan memenuhi kebutuhannya, memberikan pendidikan yang baik dan menyediakan tempat tinggal yang layak.

Himpitan ekonomi yang semakin menyesakan dada tidak lantas bisa dijadikan alasan untuk mengeksploitasi anak, menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian. Apapun profesi yang dijalani anak tetap orang tua tidak patut mengambil keuntungan ekonomi dari anak-anaknya.

Mungkin Kita sudah terbiasa melihat anak-anak jalanan yang bekerja di jalanan yang ternyata atas perintah orang tuanya, mereka bergelantungan di bis-bis, berpanasan di jalan raya, hilir mudik di tengah keramaian kota. Orang tua dengan sukarela melepas anak-anaknya tanpa memperdulikan keselamatan dan pergaulan mereka. Banyak diantaranya yang terjebak dalam kehidupan hitam dan tindak criminal.

Seringkali kita mengutuk pada orang tua mereka, tapi sebenarnya tidak jauh berbeda esensinya dengan para orang tua yang memaksa anak-anaknya terjun ke dunia gemerlap selebritis, walaupun dianggap lebih bergengsi tapi esensinya sama. Sama-sama mengeksploitasi anak dan lepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai orang tua.

Kisah yang serupa banyak juga dialami oleh saudara-saudara kita yang bekerja di luar negeri. Mereka rata-rata jadi tulang punggung keluarganya. Mungkin masih bisa dimaklumi bagi anak laki-laki, menanggung kehidupan orang tuanya. Tapi sangat memilukan bila dialami juga oleh anak perempuan.

Ada cerita yang cukup menyayat hati, seorang TKW ditarget oleh ibunya untuk membayar hutang keluarganya yang tidak sedikit, setelah bekerja lima tahun hutangnya belum lunas juga. Usut punya usut ternyata uang yang dikirim ke ibunda tercintanya setiap bulan digunakan untuk main judi. Ketika anak ini berniat pulang karena kondisi fisik sudah sakit-sakitan, oleh ibunya dilarang keras bahkan diancam tidak akui lagi sebagai anak.

Kisah lain yang tak kalah mirisnya, seorang TKW sudah sangat ingin menikah dan calon pun sudah ada, tapi tidak mendapat restu orang tuanya karena Dia jadi tulang punggung keluarganya. Orang tuanya akhirnya mengizinkan dengan satu syarat calon menantu harus menyiapkan uang puluhan juta sebagai ganti anaknya dinikahi. Banyak juga diantaranya yang dituntut untuk memenuhi ambisi orang tuanya untuk membuat rumah, membeli sawah, membeli kendaraan, dan lain-lain.

Karena tuntutan yang besar dari keluarganya tidak sedikit yang akhirnya memilih jalan pintas, menggadaikan kehormatannya. Alangkah naïf orang tua turut andil menjerumuskan anak-anaknya menempuh dosa besar. Bukan sebaliknya membimbing anak-anaknya menghindari maksiat kepada Allah.

Memang Kita sangat mengenal label anak durhaka, label tersebut sepertinya patut juga disandang oleh orang tua yang mengabaikan kewajibannya. Bukankah anak-anak adalah amanah dari Allah yang akan diminta pertanggung jawabannya di akherat kelak. Dan setiap tanggung jawab yang tidak bias dipenuhi akan ada balasannya di hari abadi nanti. Wallohu’alam