Gagalnya Pernikahanku

“Akhi jadi kan datang ke rumah ana hari ini?”, “Insya Allah jadi ukhti (saudari), ni lagi siap-siap”, begitu jawabku membalas sms dari seorang wanita, sebut saja namanya ukhti Juhari, yang mencoba memastikan kedatanganku bersama beberapa orang tua Gampoeng dan alim ulama pada hari H yang sudah kami sepakati sebelumnya.

Hari itu langit begitu cerah, secerah wajahku yang terus melempar senyum setiap menjumpai orang-orang di jalan-jalan. “Hai Izzuddin, mau kemana nich?”, tanya Mustafa, teman ngaji saya di Pesantren dulu yang kebetulan berpapasan saat kami mengisi bensin di samping bengkel Federal Service, “rencana ada hajatan besar Tgk, do’ain sukses ya?! Sahutku dengan senyuman yang terus mengembang di wajah. Dengan kondisi kereta yang hancur-hancuran, namun tidak menyurutkan semangatku untuk terus melaju menempuh perjalanan yang lumayan jauh, dari Matangkuli ke Panton Labu. Dibawah sengatan terik matahari siang itu kami terus melaju dengan kecepatan tinggi dengan harapan tiba tepat waktu.

Ada rasa kebahagiaan yang tiada tara di hatiku, bagaimana tidak, apa yang selama ini ku impikan mungkin akan segera menjadi kenyataan pikirku dengan penuh harap. Apalagi sesampai kami disana ternyata keluarga ukhti Juhari menyambut kami dengan sangat mulia, aneka makanan pun dihidangkan didepan kami. Keluarganya memang sangat bersahaja, “dari gaya mereka bertutur kata mungkin mereka memang orang-orang yang berpendidikan”, pikirku. Rumahnya sederhana, namun lebih bagus dari rumahku, di depannya berdiri sebuah Balai Pengajian tempat anak-anak di kampung itu belajar mengaji Alquran dan kitab-kitab lain.

Seusai acara makan-makan hari itu, salah seorang seorang alim ulama yang menyertai perjalanan kami tadi memulai pembicaraan terkait tujuan kedatangan kami yang bermaksud untuk ‘mengkhitbahi’ seorang putri di rumah itu. “Dengan izin Allah kami menerima khitbah putri kami dari pihak saudara, semoga niat baik kita diridhai oleh Allah”, begitu jawab abangnya yang mewakili pihak keluarga sebagai juru bicara. Dari cerita kemudian, saya ketahui bahwa abangnya bernama Rasyidin adalah seorang Ustazd yang yang faqih lagi zuhud, yang sudah menghabiskan umur sekitar 10 tahun untuk belajar Ilmu Agama di sebuah Pesantren di Aceh Timur.

Saat itu hati saya betul-betul gembira, selama ini saya bahkan sudah memasukkan agenda nikah sebagai suatu kewajiban syar’i yang harus saya laksanakan scepatnya. Hal ini tidak terlepas karena posisi saya sebagai penuntut Ilmu Agama yang meniscayakan saya untuk konsisten dalam kebaikan, agar saya bisa menjadi contoh bagi teman-teman dan masyarakat dalam mempelopori berbagai kebaikan di masyarakat, agar Allah menjaga hatiku supaya sesuai antara ucapan dan perbuatan saya, begitu azamku selama ini.

Apalagi akhir-akhir ini beberapa Mesjid di Kecamatan saya dan sekitarnya sudah mulai mempercayakan saya menjadi khatib shalat jum’at, hal ini tentunya semakin menggelorakan semangat saya untuk merubah status saya menjadi seorang Ustazd yang sekaligus sebagai seorang suami, saya pikir dalam hal ini ‘lebih cepat lebih baik’ meski umur saya baru 24 tahun, karena semakin cepat hati terjaga maka akan semakin mudah bagi kita untuk berusaha istiqamah dijalanNya. Meskipun akan dihadapkan kenadala ‘kesulitan ekonomi’ nantinya tapi saya sudah siap lahir batin, karena saya yakin kalau kita ingin menikah dengan tujuan menjaga hati, maka Allah akan memberi kita keluasan rizki untuk mewujudkan cita-cita mulia itu.

Jauh sebelum hari khitbah itu, kami sudah seiya-sekata dalam semua hal yang telah kami diskusikan. Hampir tidak ada perbedaan mencolok dari sisi pemikiran dan agenda-agenda kami ke depan nanti. Bahkan ukhti Juhari juga sudah sangat siap dengan konsekuensi jika setelah menikah nanti saya akan berangkat kuliah S-2 keluar Negeri, tempat para aktor film “KETIKA CINTA BETASBIH(KCB)” berakting, kuliah di Mesir memang sudah lama saya impikan, jauh sebelum film KCB dibuat, bahkan sebelum Novel fenomenal penggugah jiwa “AYAT-AYAT CINTA” diterbitkan. Beruntung saya memperoleh beasiswa dari Pemerintah Aceh, jadi saya pikir kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, meskipun status saya sudah berkeluarga tekadku dalam hati tempo hari.

“Emang akhi pikir saya anak kecil?”, ucapnya ketika itu melalui pesan singkat menjawab tantanganku jika harus meninggalakan dia untuk melanjutkan study. Hampir tidak ada perbedaan diantara kami, bahkan kami sudah sangat saling memahami kondisi ekonomi masing-masing. Ukhti Juhari bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah instansi pemerintah di Lhokseumawe , sementara saya tercatat sebagai Guru di sebuah Pesantren salafi di Matangkuli, pedalaman Aceh Utara.

Proses ta’arruf/perkenalan kami memang hanya lewat secarik kertas biodata diri kami beserta selembar foto close up masing-masing, dan hanya berjalan dalam tempo waktu yang sangat singkat, dan sekali pun kami belum pernah bertemu atau bertatap muka secara langsung, bahkan sampai semua cerita itu berakhir, mungkin juga sampai kehidupan dunia ini berakhir. Belum pernah bertemu saya pikir bukanlah sebuah masalah, toh pada akhirnya setelah nikah kami juga akan hidup bersama.

Sebenarnya waktu itu beberapa teman di Pesantren pernah mendesakku agar berjumpa dulu dengan dia sebelum melanjutkan ke proses selanjutnya, memang ada niat hati saya untuk minta jumpa(tentu saja bukan berdua saja). Tapi ketika saya mencoba menelpon ke no dia namun tidak ada yang angkat, mungkin ‘lagi sibuk’, gumamku dalam hati ketika itu!.

Akhirnya saya mengirim pesan singkat/sms ke no-nya mengutarakan niat hati ini untuk bertemu sebelum kami memutuskan bermusyawarah dengan keluarga kapan hari akadnya , “’afwan ukhti, bolehkah kita jumpa barang sekejap, agar tenanglah hati ini”, lalu ukhti Juhari menjawab, “akhi belum percaya sama ana?”. “bukan ukhti, ana cuma ingin mendiskusikan beberapa hal aja, gak pa2 kan?. “sabar akhi, insya Allah nanti kita akan ketemu, percayalah! Jawab ukhti Juhari kembali. “Oo ya udah gak pa2 juga ukhti, saya percya ukhti!” jawabku mengakhiri pesan singkat kami.

Meskipun niat saya gagal, namun sedikitpun kepercayaan saya berkurang, bahwa inilah akhwat/wanita terbaik yang saya cari selama ini. Bahkan saya tambah yakin dengan cerita-cerita teman dia guru pengajian pekanan saya bahwa ukhti Juhari orangnya sangat santun, dewasa dan relegius, hal ini pula yang semakin hari semakin menumbuhkan rasa cinta dihati saya. Untuk wajahnya dari pertama melihat foto bahkan saya sudah terpesona, mungkin lebih cantik dari artis di film KCB yang spektakuler itu, bahkan saya merasa malu tidak memiliki wajah seganteng bintang film AAC, tapi saya tetap bersyukur dan meyakini bahwa seorang wanita yang shalihah seperti ukhti Juhari tidak menilai sesuatu yang tidak abadi.

Beberpa pekan setelah hari khitbah itu, saya kembali menghubungi ukhti Juhari untuk mengkonfirmasikan keputusan keluarga kami untuk kembali mengunjungi keluarganya memastiakan kapan bisa dilaksanakan akad beserta berembuk untuk mencapai kesepakatan tentang jumlah mahar. Tapi anehnya, semenjak saat itu tidak ada telepon saya yang diangkat, hanya satu sms saya yang terjawab dari beberapa sms yang saya kirim, “akhi, mari kita bersujud simpuh memohon ampun kepadaNya atas semua kekhilafan kita, berapa banyak dosa tidak terduga telah kita perbuat, semoga Dia mengampuni kita, amiin!”

Sms itu saya baca berulang-ulang, seribu pertanyaan berkecamuk dipikiran saya, apa gerangan dosa yang telah saya perbuat, atau mungkin ada kata-kata saya yang telah membuat hatinya terluka. Jika “iya”, maka sungguh sangat jahatlah saya yang telah menyakiti seorang wanita yang begitu bersahaja. Beberapa hari kemudian, saya menjumpai guru pengajian saya, beliau sudah mendapat informasi dari Ustazah di Pengajian ukhti Juhari yang juga istri dari guru pengajian saya tadi. Akhirnya saya mendapati diri saya yang telah salah melangkah hingga ukhti Juhari berubah pendirian, saya baru menyadari kesalahan apa yang telah saya perbuat, semua sms “menanyain kabar” yang pernah saya kirim ternyata juga di forward langsung ke guru pengajiannya, hingga beliau juga bisa menilai bahwa tekad saya untuk menikah tidak lagi seratus persen karena Allah.

“maka pantaslah cinta saya gagal bertasbih….!!!, jeritku dalam hati.

Berlinanglah airmataku menyaksikan mega film “KETIKA CINTA BERTASBIH” yang awal bulan lalu diputar di Gedung Sosial. “Andai aku seperti Azzam” hayalku dalam hati. Namun saya juga berbangga, masih ada gadis-gadis Aceh yang memiliki ‘izzah begitu tinggi dalam menjaga diri dan kesucian niat dan hatinya, mungkin melebihi artis pemeran film KCB itu. Seperti ukhti Juhari misalnya. Meski hanya sedikit sekali… sangat sedikit.

Teuku Zulkhairi, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Aceh