Ipin Anak Seluruh Hidupnya

”Bapak kenal, anak yang suka pakai topi polisi yang markirin mobil di sekitar sekolah Bapak?”

“ Ya, kenapa, Bu?”

“Itu putra pertama saya. Ipin namanya”.

Terbayang oleh saya seorang anak lelaki tanggung yang setiap hari mangkal di area parkir sekolah tempat saya mengajar. Saya tahu anak itu selalu memakai topi polisi, memakai seragam satpam dan mondar-mandir  mengatur setiap kali ada kendaraan keluar masuk sekolah. Di tambah sedikit kesan, bahwa anak itu agak “lain” dari umumnya kita.  Hanya itu.  Tapi kali ini saya baru mengenalnya utuh dari ibunya.

Saya menemukan pembuktian lagi bahwa kasih ibu memang sepanjang jalan. Tidak pernah habis rasanya menggali dan menemukan keutulusan hati seorang wanita-ibu kepada anaknya bagaimanapun keadaan anaknya itu. Seorang ibu rela merasakan teriknya matahari, asalkan anaknya tetap teduh. Rela berbasah-basah kuyup, asalkan anaknya tetap kering. Ibu rela menahan lapar dan dahaga, asalkan anaknya kenyang dan terpuaskan hausnya. Bahkan seorang ibu tidak ragu menukarkan nyawanya saat melahirkan, asalkan anaknya mengecap kehidupan.

Ibu menjelma demikian karena ia adalah madrasah  yang dibangunnya di atas dasar nilai ruhani yang paling kokoh yaitu rahim; kasih sayang. Rahim ibu hanya satu dari berjuta-juta rahim milik manusia karunia Allah, dan hanya seorang ibu yang paling memahami eksistensi rahim kepada buah hatinya. Dengan kasat mata, bahwa hanya dalam dekapan ibunya, seorang anak dapat tidur pulas dengan nyaman dan terpuaskan emosinya.

Hanya seorang ibu yang paling mengerti, rengekan dan tangisan buah hatinya, justru di saat orang lain tengah dibuai mimpi indah memuaskan kantuknya. Saat orang lain lebih suka memilih bentakkan dan gemerutuk gigi kemarahan, ibu lebih memilih sapaan lembut dan senyum dikulum mengingatkan kesalahan buah hatinya.

Dan satunya-satunya orang yang dengan rahimnya, rela menghisap cairan yang menyumbat hidung anaknya saat flu dan pilek, hanyalah ibu. Pantaslah kalau Abul Qasim sampai menegaskan, ” Ibumu … Ibumu … Ibumu, lalu bapakmu”.

Bagaimana dengan ibu yang kejam, yang meninggalkan anaknya sendiri dalam ketakutan ? Atau dengan sengaja membuangnya di tepi jalan dalam keadaan hidup atau telah kaku membiru setelah digugurkan ? Apakah tidak ada rahim di dalam dirinya ?

Bukan. Mereka bukanlah ibu. Mereka hanya wanita biasa yang dengan alasan tertentu mencampakkan sementara naluri keibuannya. Mereka bukanlah seperti ibu Musa as. yang menghanyutkan bayinya di sungai karena perintah wahyu untuk menyelamatkan bayinya. Bahkan ibu Musa as., pada akhirnya mendapatkan keleluasaan menumpahkan rahimnya setelah bayinya dilarung. Wanita yang memutus rahim pada anaknya hanyalah pengecualian atas ibu Musa as. Malahan dengan cerita itu, rahim ibu semakin cemerlang. Semakin jelasnya putih di antara hitam. Semakin dapat dibedakan wujud mutiara di antara klereng.

”Putra saya itu mengalami keterlambatan perkembangan sejak usia satu setengah tahun. Dia pernah kejang-kejang. Saya bawa ke rumah sakit. Dokter bilang, ada bagian dari syarafnya yang putus. Sejak itu, Ipin sangat lambat. Pada usia lima tahun saja, anak itu belum bisa bicara. Hingga hari ini usianya 21 tahun masih sering orang meledeknya. Memanggil Ipin bloon, idiot atau sebutan lain yang memiriskan hati saya. Bagi Ipin mungkin tak masalah karena ia ngga ngerti. Tapi, … saya remukredam”.

Ipin sering ”dikerjai” orang, tukang ojek atau orang yang sekedar iseng. Bagi sebagian tukang ojek nakal di sekitar area parkir, Ipin adalah ladang uang. Caranya: ajak Ipin keliling-keliling. Ipin senang. Kembali ke pangkalan. Ipin diturunkan dan disuruh bayar 5000. Ipin tetap senang dan membayar akal-akalan tukang ojek itu. Tapi, semaik Ipin ”dikerjai” uangnya ga pernah habis. Bahkan begitu mudahnya ia mendapatkan uang dari orang yang mungkin saja ”iba” dengan kegigihan aktivitasnya sebagai ”satpam” tanpa kantor atau juru parkir tanpa status itu.

Atau sewaktu-waktu dua atau tiga orang tukang ojek itu mengajaknya ke warteg untuk ngopi dan merokok. Ipin tetap senang dan membayari kopi dan rokok itu hanya karena mereka mengacungkan jempol, tepukan di bahunya dan kata-kata,” Makasih, Bos”.

Kali ini ada senyum diwajahnya saat cerita Ipin ditipu.Tiga kali Ipin dibelikan sepeda, tiga kali pula ditipu sepedanya.

”Ipin, mana sepedanya”.

”Ada orang pinjem, Mah. Ipin tunggu sampai magrib, ngga datang-datang lagi orangnya”.

”Ipin kenal engga orangnya”?

”Engga”.

Saya terpingkal, sedih dan nlangsa dalam diam. Keculasan masih ada di mana-mana. Begitu rakusnya sebagian kecil orang, keterbatasan orang lain dijadikan umpan mata kail untuk memenuhi ”tembolok”nya. Sampai kapan  kita akan tetap menemukan kejanggalan tata nilai?  

Saya hanyut mengikuti kisah Ibunya Ipin di sela-sela melaksanakan tugas negara di hari ketiga. Mengawas hari itu menjadi tidak lagi tegang dan membosankan. Saya tanyakan kepadanya, apakah menyesal atas nasib yang dialami anaknya itu. Dijawabnya dengan sangat tegas; tidak. Menurutnya, Ipin membawa guratan nasibnya sendiri dan ibunya hanyalah bagian kecil dari hidupnya. Tetapi yang pasti bagi dirinya, Ipin adalah anak dari dan untuk seluruh hidupnya.

Ia sudah tidak lagi ingat berapa uang yang telah dihabiskan untuk pengobatan Ipin. Sudah berapa rumah sakit, dokter syaraf, psikiater atau alternatif yang telah ia kunjungi untuk kesembuhan anaknya itu. Sampai saat ini, ia masih tetap mencari di mana lagi tempat penghobatan yang memberinya harapan kesembuhan anaknya.

Entah sudah berapa porsi hidupnya untuk Ipin yang diceritakannya. Tetapi ada satu yang paling liat, saat Ipin hilang di penghujung tahun 1999 di bulan Ramadhan. Betapa gigihnya ia mencari anaknya setiap hari selepas Shubuh dan kembali sampai di rumahnya tepat saat waktu berbuka tiba.

”Pengalaman mencari Ipin saat itu tidak ingin saya lupakan. Saya akan tetap menyimpannya sampai batas akhir hidup saya. Bayangkan Pak, saya tidak merasakan lelah mencarinya selama hampir 15 jam seharian sambil puasa, full sebulan puasa. Ini ni yang bikin saya gagal menjawabnya, setiap hari ada saja orang komplek yang menitipkan uang untuk ongkos saya. Banyak di antara mereka bahkan saya tidak kenal”.  

Meskipun akhirnya ia tidak menemukan anaknya sendiri dalam pencarian, akhirnya Ipin kembali ke rumah seminggu setelah lebaran tahun 2000. Ada orang yang menyampaikan khabar bahwa Ipin ada di stasiun Klender. Pada kisah bagian ini kelihatan ada titik air mata di kedua sudut matanya.

Mungkin mengingat kondisi anaknya yang sedemikan menderita saat dijemput di stasiun itu. Ipin Kotor, kurus, pucat, sakit, apalagi aroma yang tidak sedap dari tubuhnya. Namun tak urung, ia tetap memeluk anaknya. Didekapnya dengan kasih dan ditangisinya sesenggukan.

Selepas mendengar kisah ibunya Ipin, penghormatan saya terhadap para ibu akan saya lipatgandakan. Sampai sebegitu ya seorang ibu, menggema di dalam hati. Sejurus saya teringat sekian banyak orang. Terutama kedua orang tua, isteri dan anak-anak. Mengingat orang tua jadi ingin segera mencium tangannya. Mohon ampun dan ridhonya lalu meminta berkahnya.

Mengingat isteri, betapa rapuhnya saya sebagai lelaki yang mungkin tidak seteguh mentalnya mengasuh anak-anak. Sebagai ayah saya bersyukur diberikan anak yang sehat dan berharap dapat memelihara dan mendidiknya dari segala keburukan. Wahai Rabb Yang Pengasih dan Penyayang, hamba sandarkan semua asa dan harapan itu kepada-Mu.

 

Ciputat, 1 Mei 2009