Kemenangan

Semula saya tidak bisa menerima perlakuan instruktur kursus mengemudi yang akrab dengan marah. Setiap instruksi tidak bedanya dengan kemarahan. Padahal semua orang, termasuk dia sendiri, tahu, bahwa kami kursus tidak gratis. Kalau dirupiahkan angkanya bisa jutaan. Sementara di Indonesia, surat izin mengemudi (SIM) bisa diperoleh hanya dalam hitungan jam bahkan. Adik saya cuma bayar Rp 400 ribu kemudian dapat SIM. Singkat. Di sini memang beda. Apalagi kalau kelasnya yang berstandar internasional. Bagi orang kecil kayak saya, mencekik leher rasanya.

Yang saya permasalahkan bukan cekik-mencekik biaya kursusnya. Persoalannya adalah: kemarahan dari instruktur tadi. Saya sudah sampaikan kepadanya bahwa sebaiknya kalau mengajari, bukan hanya saya saja, jangan sambil marah, karena pelajar kursus tidak dapat menyerap pelajaran yang disampaikan instruktur dengan baik. Jangankan dalam kondisi proses belajar mengajar seperti ini. Dalam keadaan normal pun, saya yakin tidak ada orang yang senang kalau teman duduk di sebelah selagi kita sedang mengemudi, nyerocos. Setuju atau tidak, hal ini akan mengganggu konsentrasi. Walaupun saya tahu, berprofesi sebagai instruktur kayak dia, pasti banyak stres nya. Apalagi jika menghadapi murid kayak saya! Dia tak bergeming.

Saya bukan anak kecil yang mau begitu saja menyerah terhadap keadaan. Apalagi kalau harus ganti instruktur. Saya tidak mau! Saya akan hadapi tantangan di depan ini. Saya akan lihat sampai sejauh mana sang instruktur akan bertahan dengan kemarahannya. Setidaknya, saya harus mencari tahu, tanpa bermaksud menjadi seorang detektif, apalagi James Bond, kenapa dia sering marah. Saya tidak mau terkesan sombong. Ini hanya menyangkut kiat menghadapi masalah sosial kehidupan saja yang bisa terjadi kepada siapa saja kan?

Hampir setiap kali kursus, saya berusaha meyakinkan diri ini bahwa kemarahan yang dia utarakan adalah demi kebaikan saya. Itu yang pertama. Yang kedua, saya berusaha meyakinkan diri, bahwa wataknya memang demikian, sedangkan saya belum terbiasa dengan lingkungannya. Jadi saya harus menyesuaikan diri dengannya. Bukannya dia yang harus menyesuaikan diri dengan kondisi mental psikologis saya. Yang ketiga, sambil berlalunya waktu, saya mau tahu, apa gerangan yang menyebabkan dia sering marah.

Ketiga formula tersebut saya padukan dengan sebuah metode: personal approach. Pendekatan pribadi. Saya orangnya kadang sok teoritis. Tapi biarlah! Agak risih juga mula-mula, karena metode ini penerapannya tidak jarang harus menerobos batas-batas antara guru dan murid. Bahkan, kalau boleh bilang, saya akan mengajaknya untuk mencapai destinasi sebagai teman dan saudara seiman.

Satu potensi yang membuat saya bisa ‘masuk’ dalam ‘alam’ instruktur tersebut adalah: dia sering berucap ‘La ila ha illallah…’. Tapi beberapa detik kemudian, mencak-mencak. Lho? Namun saya sadar, dalam naungan Islam, semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Buktinya, mana ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh Rasulullah SAW?

Lengkapnya begini:
Setiap hari, pada jam kursus, saya selalu membawa juice kecil yang saya selipkan di tas. Saya tahu dia pasti haus, karena kursus sedang berlangsung dalam musim panas. Risikonya memang berat: kalau sehari tidak membawa juice, walaupun tidak dikatakan, dia bisa jadi bertanya-tanya, kenapa saya tidak membawanya. Akan tetapi satu hal yang perlu diingat, bahwa juice ini tidak boleh diidentikan dengan sogokan. Kursus mengemudi lulusnya tidak bisa disogok. Kecuali kalau kita mau menyogok dan yang disogok juga tidak menolak. Produk dari kursus adalah ketrampilan mengemudi demi keselamatan diri kita dan orang lain. SIM tidak sama dengan ijazah sarjana beberapa anggota parlemen kita!

Saya pikir memang demikian. Bahwa tidak ada yang gratis dalam hidup ini. Menciptakan suasana persaudaraan juga dibutuhkan pengorbanan. Apalah artinya sebotol juice dibanding dengan nilai sebuah persahabatan. Alhamdulillah, pelan-pelan ada hasilnya. Satu di antaranya, saya jadi terbiasa dengan kemarahannya. Kemarahannya tidak membuat lagi diri saya goyah. Saya bisa cuek selagi dia marah. Alhamdulillah!

Urusannya tidak selesai sampai di situ. Selagi mengemudi, saya kadang berbicara soal pribadinya. Kayak konsultan psikologi dengan kliennya. Dia ‘berontak’. Katanya saya banyak omong. “Kalau sedang mengemudi jangan banyak omong! Konsentrasikan dengan mobilmu dan jalan raya!” Katanya agak dongkol. Saya jadi terdiam.

Suatu hari dia lagi timbilen (pembengkakan di kelopak mata. Red). Saya tawarkan kalau dia mau obat. Dia setuju saja. Dari situ lambat laun hubungan kami jadi lebih akrab dari sekedar murid dan instruktur. Hari-hari berikutnya dia bahkan cerita tentang anak-anaknya, isteri, saudara, hingga teman-teman yang sakit serta tak ketinggalan, gaji bulanannya. Kali ini saya yang kuwalahan meladeninya!

Ketika sudah sampai yang terakhir ini, saya baru mengetahui bahwa salah satu latar belakang kemarahannya adalah tekanan ekonomi. Dari gaji Dhs 2500, dipotong bank Dhs.1000, kemudian Dhs 1000 untuk sewa rumah, dan sisanya Dhs 500 untuk bayar air listrik. Bagaimana dengan makan dan minumnya? Pakaian, obat-obatan, kebutuhan sekunder lainnya? Daftarnya akan panjang untuk diukur. Banyak orang malang. Malah lebih berat kadarnya dari dia. Wallahu a’lam! Saya jadi turut sedih mendengar paparannya.

Sore itu dia bilang tidak ada kredit sama sekali di HP nya. Saya pun tergerak untuk sedikit membantunya. Siapapun butuh berkomunikasi pada zaman ‘edan’ ini. Bagaimana tidak edan, lha wong dulu tidak ada internet dan HP orang tidak punya banyak masalah, sekarang ketika fasilitas hidup dilengkapi koq tambah sengsara?

Setiba di rumah, saya sempatkan ke grocery untuk membeli kartu telepon elektronik. Seketika itu juga saya telepon dia dan minta mencatat nomor kartu teleponnya. Lantaran tidak ada bulpen malam itu, sambil mengulang-ulang apa yang saya diktekan, direkam langsung ke dalam Hpnya. Namun bermasalah. Beberapa kali di coba, bahkan hingga keesokan harinya, nomor kartu telepon tersebut katanya salah. Saya gelisah.

Esok harinya, dua kali Etisalat saya hubungi untuk mengklarifikasi nomor kartu tersebut. Dua kali itu pula tidak berhasil. Saya sabar menunggu hingga dua hari berikut, karena terhalang Jumat. Sesampai di kantor Etisalat, saya terkejut, karena nomor tersebut sudah diambil oleh orang lain, dengan nomor telepon empat digit di depan, diberikan oleh petugas Etisalat kepada saya. Gusar, langsung saya hubungi kembali dia, saya tanyakan siapa saja orang di dalam kendaraan bersama dia malam itu ketika saya beri nomor kartunya. Pada saat yang sama saya berikan empat nomor digit dari Etisalat tadi.

Betapa kaget, karena nomornya cocok dengan salah satu nomor HP orang yang duduk di belakang mobil. Langsung saja saya hubungi pemilik nomer tersebut yang sekaligus teman instruktur saya.

Singkat cerita, dia memang mengambil nomor kartu telepon tadi. Sebelumnya, terus terang, saya mengancam akan mengadukan ke polisi jika dia tidak kembalikan uang Dhs 40 atau diberikan ke intruktur saya. Hal itu saya kemukakan lewat sms, karena HP nya tidak diangkat.
Beberapa saat kemudian instruktur saya menelpon, menyatakan permohonan maafnya atas kesalahan temannya, yang katanya ‘kharami’. Saya terima permohonanya, walaupun sebelumnya jengkel karena saya sempat dibuat repot.

Yang jadi pelajaran adalah menyelami jiwa manusia itu berat. Akan tetapi yang lebih berat adalah menyelami diri sendiri. Kita mudah saja mencap orang pemarah, sok emosi, gampang tersinggung dan sebagainya, tanpa mau belajar memahami apa sebenarnya penyebab semua ini. Ingatkah kita akan kisah Rasulullah SAW yang dihina dan dilempari batu hingga berdarah, sampai-sampai Malaikat Jibril AS menawarkan apakah orang-orang tersebut ditumpas dengan Gunung Uhud saja. Namun Rasulullah SAW menjawab dengan nada negatif: “Jangan. Siapa tahu dari keturunan mereka nanti akan lahir manusia-manusia yang memuliakan Allah!” Subhanallah.

Kita memang bukan sekelas Rasulullah SAW, namun kita bisa mengambil hikmah perjalanan dakwah beliau SAW, bahwa alangkah indahnya jika hidup ini kita penuhi dengan sedikit kesabaran untuk belajar tentang pribadi dan karakter orang lain. Dengan begitu, insyaallah kita akan terhindar dari buruk sangka dan dengki. Yang tinggal kemudian adalah rasa sabar dan pemaaf sebagai bagian dari makna hakiki Idul Fitri, Hari Kemenangan! Wallahu a’lam!

[email protected]