Ketika Keputusan Besar Itu Terabaikan

Saya hanyalah seorang buruh. Bekerja berdasarkan waktu yang sudah ditetapkan oleh bos tempat saya bekerja. Gaji bulanan tidak seberapa tapi Alhamdulillah cukup untuk hidup sebulan dan sedikit menambah poin di rekening tabungan. Kadang ada sedikit tambahan jika dapat tugas keluar. Usia saya tak lagi muda, walaupun belum juga layak disebut dewasa. Saya anak ke enam dari enam bersaudara.

Saya tinggal jauh dirantau sehingga jarang bertemu dengan keluarga dan teman-teman di kampung. Kesepian? Pasti. Saya tinggal di mess yang disediakan perusahaan tempat saya bekerja. Kami tinggal berempat, cewek semua tentunya. Kami seumuran dan belum ada yang menikah. Di kota tempat saya tinggal memiliki ciri khas yang aneh. Kalau di jawa, pasangan muda-mudi punya malam mingguan, muda-mudi di kota saya tinggal bukan hanya malam mingguan, tapi juga malam kamisan. Jadi jadwal apel seminggu dua kali, malam kamis dan malam minggu. Saya tidak tahu mengapa bisa seperti itu.

Satu hal yang berbeda antara saya dan teman-teman serumah. Kalau di kedua malam itu mereka keluar dengan pacar masing-masing, saya cukup berdiam di kamar berkhalwat dengan netbook teman curhat saya. Satu prinsip yang saya yakini –walaupun ilmu agama saya masih dangkal-, saya tidak mau pacaran. Kalau memang sudah siap, menikah saja. Ketika berkesempatan menimba ilmu di kota pelajar beberapa tahun yang lalu, saya sering mengikuti kajian yang mengupas hal tersebut. Interaksi ikhwan-akhwat. Saya mencoba mengamalkan ilmu yang saya dapatkan tersebut, walau tentu belum bisa sempurna.

Pemahaman agama yang masih sangat dangkal kadang membuat saya berpikir, ”ah, jalan dengan teman cowok kan gapapa yang penting bukan pacaran!”. Gubrak!!! Astaghfirullah, saya tersadar. Apapun bentuknya, dengan siapapun itu, ketika berdua dengan laki-laki yang bukan muhrim bukankah setan akan menjadi yang ketiga?

Saya mulai membersihkan hati, mencoba untuk melakukan muhasabah. Apa kiranya yang membuat saya kadang merasa sangat rapuh. Mudah terpancing dengan obrolan teman-teman tentang pasangan mereka. Saya butuh teman sejati! Tapi bagaimana caranya?

Saya mempunyai seorang sahabat baik. Ikhwan. Saya juga tidak ingta lagi seperti apa wajahnya. Tiga tahun lebih kami tidak bertemu. Tetapi ketika berinteraksi melalui sms atau telephon, saya merasa nyaman. ”Astaghfirullah, perasaan apa ini?” takut terjebak pada perangkap syaithon, saya sampaikan perasaan saya pada ustadzah, tempat saya menimba ilmu pekanan. Saran beliau, ”Tanyakan apakah ikhwan itu mau serius dengan anti. Jika memang iya, minta ustadznya menghubungi saya, insya Allah kami bantu.” Hari itu juga saya menghubungi ikhwan sahabat saya tadi.

Sangat tidak ahsan seorang perempuan secara vulgar meminta pernyataan tegas dari seorang ikhwan yang dia sendiri tidak tahu apakah ikhwan itu juga punya iktikad yang sama. Astagfirullah, saya tidak tahu apa yang terjadi dengan saya waktu itu. Yang jelas, saya tidak mau melakukan kesalahan dengan menyimpan perasaan tak karuan dan masuk dalam alam angan-angan. Sebuah keputusan besar yang sulit saya ambil. Keberanian saya kumpulkan. Akhirnya, sore itu, dia memberi sebuah jawaban yang intinya dia tidak siap untuk menikah. Ciiiiiiiit, brak!!! Seperti sebuah benda yang jatuh dari ketinggian. Kalau dalam pelajaran fisika, ada Gerak Jatuh Bebas Tak Beraturan, kira-kira seperti itu dengan perasaan saya waktu itu. Ugh, izzah sudah tergadaikan ditambah dengan hantaman keras yang tidak saya sangka sama sekali. Masya Allah…

Saya mencoba menenangkan diri, memohon ampun padaNya. Mengiba meminta belas kasihNya. Adakah ini sebuah ujian atau peringatan yang Allah berikan kepada saya. Saya yang bukan siapa-siapa berani mengungkapkan perasaan pada seorang yang –mungkin- jauh lebih baik dari saya. Air mata itu akhirnya mengalir juga setelah sekian lama tertahan karena kenagkuha yang membuat enggan untuk berkhalwat denganNya di penghujung malam. Walau sempat limbung, saya mencoba tegar. Saya mencoba berpikir positif, mungkin Allah tahu kalau sebenarnya saya belum siap untuk membina rumah tangga. Menjadi ummi bagi anak-anak saya.

“…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S Al-Baqarah : 216)

Saya jadi teringat dengan kakak-kakak senior saya sewaktu di yogya. Banyak dari mereka yang sekarang sudah menjadi orang hebat. Ada yang bekerja di instansi pemerintah, BUMN, dosen bahkan ada yang mendapatkan scholarship untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Mereka jauh lebih berumur dari saya. Mereka lebih matang dibanding saya dalam segala hal. Tapi jodoh mereka juga belum datang. Saya jadi malu dengan diri saya sendiri.

Seharusnya saya harus menyiapkan bekal untuk menuju ke jenjang itu dan bersabar dengan ketetapanNya dengan tidak melupakan ikhtiar tentunya. Saya optimis, pada waktu yang tepat jodoh saya akan datang. Juga jodoh kakak-kakak senior saya. Juga jodoh para ukhti sholehah di belahan bumi manapun. Dan, dia yang datang adalah ikhwan terbaik yang Allah persembahkan untuk kami. Dengan kesabaran dan keikhlasan kami menantinya. Insya Allah.

Sekedar berbagi —[email protected]