Kurindu Panggilan Itu

Tiga hari sudah, aku berada di kota Kembang. Tentunya dengan dingin dan hiruk pikuk kota Bandung yang kembali menyergap. Ada sesuatu yang kembali mengisi hari-hariku. Panggilan di lima waktu untuk menunaikan sebentuk kewajiban. Selalu di waktu yang sama. Sesuatu yang sebelum dua minggu lalu adalah sesuatu yang biasa bagiku. Bahkan, mungkin teramat biasa. Suara merdu yang menggetarkan jiwa. Menembus relung kalbu. Merasuk hingga lubuk hati yang terdalam. Mengingatkan untuk berhenti sejenak. Berganti dengan berharap dan menghamba. Lewat sebuah untai kewajiban.

Dua minggu yang lalu, suara itu hampir tak pernah menyentuh indera pendengaranku. Kalaupun ada, bukan lewat lantunan merdu suara muadzin. Melainkan melalui televisi yang ada di kamar hotel tempat aku menginap atau ruang tengah hotel lain juga tempaku menginap. Itupun hanya di satu waktu, saat semburat merah mulai menampak di usia senja. Saat siang berganti malam. Namun, itu bukan juga untukku. Panggilan itu untuk orang-orang yang ada dalam kawasan waktu Indonesia Barat. Sedangkan aku, saat itu, berada di pelosok sebuah kota di timur Indonesia.

Sudah kupastikan dari awal, ada perbedaan waktu antara kota Bandung, yang sehari-hari merupakan tempat domisiliku, dengan tempatku selama dua minggu itu, sebuah kota kecil menjelang perbatasan Indonesia-Timor Timur. Sekitar satu jam lebih awal. Juga sudah kutanyakan dengan seorang rekan kerja tentang waktuku menunaikan kewajiban lima waktuku. Pasti, semuanya membentuk serangkaian ‘alarm’ di kepalaku. Mengingat-ingat dan memastikan kewajibanku untuk tidak terlupakan.

Namun, tetap saja, hari pertama adalah hari yang membuatku shock. Ternyata, jam di handphoneku masih mengacu waktu Indonesia Barat. Aku lupa menggantinya. Matahari memang sudah menuju ke peraduannya. Senja memang sudah menghampiri. Tapi, panggilan yang kutunggu tetap tidak terdengar, walaupun jarak antara masjid dan hotel tempat aku menginap hanya berapa ratus meter. Sesuatu yang baru aku ketahui menjelang kepulangan ke Bandung. Setelah berpikir ulang dan bertanya dalam hati: masih lamakah waktuku untuk menunaikan kewajibanku?, aku ingat sekarang aku berada di kota yang waktuku untuk menunaikan kewajibanku berbeda sekitar satu jam dengan kota Bandung. Akibatnya, kewajibanku senja itu sangat telat tertunaikan. Bahkan, mungkin, hampir menjelang kewajiban berikutnya. Akibat yang lain, jam makan malampun bergeser beberapa menit. Yang menjadi sangat kasihan adalah rekan-rekanku. Jam makan malam merekapun ikut kena imbasnya. Karena menungguku menyelesaikan kewajibanku.

Sesuatu atau seseorang memang baru terasa berarti dan berharga bagi kita di saat pada kehidupan yang lain kita tidak menjumpai atau bersama dengan sesuatu atau seseorang itu. Aku mengalaminya selama dua minggu itu. Panggilan itu tidak bersamaku. Ah, memoriku berputar, mengingat sudah berapa kali aku menyia-nyiakan panggilan itu. Atau, bahkan mungkin, sengaja menyia-nyiakan?

Saat panggilan itu terdengar di awal malam. Hatiku bicara. Ah sebentar lagi, kan baru selesai makan malam. Masih kenyang. Kadang-kadang juga kalah dengan hawa dingin dan sinetron atau film di televisi di kamarku. Terasa berat menunaikan di awal waktu. Di awal panggilan.

Saat panggilan itu terdengar di pagi menjelang dan kokok ayam mulai bersahutan. Hatiku bicara lagi. Hmm, bentar lagi. Masih dingin. Kadang juga terkalahkan dengan selimut biruku. Terasa berat menunaikan di awal waktu. Di awal panggilan.

Saat panggilan itu terdengar di pertengahan siang menjemputku. Hatiku bicara lagi. Hmm, bentar lagi. Kan baru dimulai panggilan itu. Kadang juga dengan langkah berat menuruni deretan anak tangga menuju tempat panggilan itu berasal, untuk menunaikan kewajiban secara berjamaah.

Saat panggilan itu terdengar di saat siang merambat petang. Hatiku bicara lagi. Hmm, bentar lagi. Nanggung di depan komputernya! Kadang rasa malaspun masih menggelayut menemani langkah-langkah kaki menuju arah panggilan itu, untuk menjemput sebuah keridhoan, melalui penunaian sebuah kewajiban.

Saat panggilan itu terdengar di saat semburat merah di ufuk barat. Hatiku bicara lagi. Hmm, bentar lagi. Kadang penunaian kewajibanku di awal waktu terselingi dengan kegiatan mandi sore, sepulang dari aktivitas delapan jam di kantor.

Ah, aku ingat. Saat apapun selama dua minggu itu. Saat awal malam. Saat pagi menjelang dan kokok ayam mulai bersahutan. Saat pertengahan siang menjemputku. Saat siang merambat petang. Juga, saat semburat merah di ufuk barat. Semua sama. Hampir tak ada beda. Panggilan itu tidak terdengar. Bukan karena aku tidak menemukan masjid di sana. Ada, walaupun tidak seperti banyaknya aku menemukan masjid di kota Bandung. Tapi, mungkin, lebih kepada bentuk sebuah toleransi. Sebagian besar masyarakat kota itu, bahkan mungkin seluruhnya, adalah bukan muslim. Akhirnya, aku hanya bisa mengira untuk menunaikan kewajiban lima waktuku. Bahkan sengaja melebihkan, supaya merasa benar-benar aman aku menunaikan kewajibanku pada waktu yang benar.

Dua minggu, aku merindukan panggilan itu. Saat ini, kudengar kembali panggilan itu. Di lima waktuku. Mengawali saat-saat aku harus menunaikan kewajibanku. Hanya satu harapku: semoga aku bisa mengurangi kesia-siaan yang pernah aku lakukan. Semoga.

@ August, 2007, Bandung