Matinya Nurani Kita

Pagi itu kereta yang membawaku dari stasiun Cilebut menuju stasiun Jakarta Kota terlihat agak lengang, namun tidak ada kursi kosong yang tersedia untuk mengurangi beban gravitasi tubuhku yang lumayan berat ini selama dalam perjalanan. Semua kursi telah terisi oleh para penumpang yang berangkat dari stasiun Bogor. Jadilah aku berdiri sambil berpegangan besi tiang pegangan yang sudah karatan disana-sini. Saudaraku, inilah sarana transportasi kaum urban yang paling diminati jutaan masyarakat pinggiran Jakarta, dan aku pun harus terbiasa dengan kondisi kereta rongsokan yang tarif tiketnya murah meriah ini.

Seperti kebiasaanku setiap hari naik kereta, aku berdiri membaca koran sambil sesekali mataku menjelajahi pemandangan yang ada di dalam kereta rakyat ini. Tiba-tiba mataku terpaku pada empat orang pria muda yang duduk berjejeran di hadapanku. Mereka berumur sekitar 40an tahun. Menariknya, semuanya memakai baju gamis, ada yang memakai sorban ala pangeran Diponegoro dan ada pula yang hanya berkopyah putih ala Ustad Arifin Ilham. Mereka juga bercelana cingkrang alias menggantung diatas mata kaki, memakai sendal jepit yang mirip dipakai di dalam film-film Si Pitung tempo dulu, dan yang tidak ketinggalan adalah hampir semuanya mereka berjenggot dan berewokan, bahkan ada yang jenggotnya setengah memaksa alias tumbuhnya tidak kompak. Entahlah mungkin mereka tidak memupuknya dengan obat penumbuh jenggot sehingga hasilnya kurang sedap dipandang mata atau bagaimana.

Lamat-lamat aku dengar mereka sedang asyik membicarakan masalah yang serius yang menyinggung-nyinggung tentang aktivitas dakwah Islam. Sesekali mereka berbicara campur-aduk antara bahasa Indonesia dengan jargon-jargon aktivis islam seperti "ane-ente", "tabligh", "dakwah", "taklim" dan selanjutnya. Tapi apa peduliku, itu urusan mereka dan aku bukan bagian dari komunitas mereka. Mungkin mereka sedang dalam perjalanan menghadiri sebuah pengajian di suatu tempat di Jakarta.

Tak berapa lama kereta ekonomi yang aku tumpangi ini berhenti di sebuah stasiun di sekitar Depok untuk mengangkut para penumpang. Tampaklah olehku serombongan ibu-ibu yang kelihatannya mau tamasya ke Jakarta dengan membawa sekalian anak-anak mereka yang masih bailta. Tampak olehku di antaranya ada dua orang ibu paruh baya berjilbab yang sedang menggendong anak balitanya dengan menggunakan kain jarik gendongan. Mungkin balita tersebut adalah anaknya atau juga cucunya, waallahu ‘alam.

Ada hal yang membuat aku miris selama dalam perjalanan ini. Sejak kereta berangkat dari stasiun terakhir tadi, aku melihat rombongan ibu-ibu penggendong anak tersebut terus berdiri sambil sesekali terhuyung-huyung ketika kereta apinya bergoyang akibat lintasan rel keretanya yang tidak stabil. Ingin rasanya aku memberi tempat duduk buat ibu-ibu penggendong balita tersebut yang terlihat sudah kepayahan karena beban tubuh si anak yang hampir sama beratnya dengan sekarung beras 15 kilogram, namun apa daya aku pun masih tetap dalam posisi semula, berdiri dan berpegangan pada tiang pegangan yang karatan dan patah dibagian ujungnya.

Ketika beberapa stasiun telah terlewati, tidak ada seorang penumpang pun, khususnya kaum pria, yang mau mengalah untuk memberi tempat duduk kepada rombongan ibu-ibu penggendong anak tersebut. Lebih memprihatinkannya lagi, rombongan empat pria yang mirip pasukan mujahidin Afganishtan yang ingin berangkat jihad melawan tentara sekutu tersebut tetap tak bergeming alias mangkreng di tempat duduknya yang nyaman. Meskipun ibu-ibu tersebut tidak jauh berdiri dari tempat mereka duduk, tidak ada sepotong katapun keluar dari mulut para "ksatria kesiangan ini" untuk mempersilahkan ibu-ibu tersebut duduk.

"Ampuni kami ya Allah…" lirihku.

Aku cuma bisa mengelus dada dan istighfar dalam hati. Muslim macam apa manusia-manusia bersorban ini yang lebih mementingkan dirinya dan obrolannya. Mereka diberi fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan ibu-ibu tersebut namun mereka tetap duduk manis di bangkunya seperti puteri keraton yang sedang dipingit. Lupakah mereka akan pesan Rasul dalam hadis-hadis sahihnya bahwa barang siapa yang membantu menghilangkan beban penderitaan saudara-saudaranya maka Allah akan menghilangkan kesusahannya di dunia dan di akhirat.

Aku sempat bersu’udzon kepada kaum ini. Mungkin bagi mereka rombongan ibu-ibu ini bukan dari kelompok mereka sehingga tidak ada urusan dengan mereka, atau mereka menganggap ibu-ibu ini sudah terbiasa sehari-harinya untuk berdiri sepanjang perjalanan, atau "para mujahidin" ini adalah kaum mualaf yang belum tahu bagaimana berhubungan dengan sesama muslim dan sesama manusia, atau mereka salah baca kitab sehingga jadi keblinger otaknya.

" Tidakkah kalian malu dengan sorban, jenggot, gamis, dan celana cingkrang yang selalu kalian bangga-banggakan sebagai bagian dari hidup kalian yang kalian anggap zuhud? Sudah matikah hati nurani kalian? Bagaimana kalau ibu-ibu itu adalah isteri atau anak kalian atau ibu kalian sendiri? Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian…" gerutuku dalam hati.

Mungkin benar kata seorang ulama terkenal yang mengatakan bahwa "cahaya kebesaran Islam tertutup karena kebodohan ummatnya". Dan saat itu aku sedang menyaksikan sebuah pemandangan lain dari kebodohan itu. Mungkin tidak salah juga bila orang kafir menjuluki kita sebagai kaum "sontoloyo" alias brengsek yang selalu bikin onar, karena mungkin memang kita sendirilah yang secara aktif dan agresif membenarkan tuduhan itu serta menjadi pendukungnya.

Waallahu ‘Alam..

Bay

* Sebuah Kenangan Pahit di atas Kereta Ekonomi Jabotabek tahun 2006

www.eljowo.multiply.com
[email protected]