Terima Kasih Atas Sebuah Episode

Bismillah,

Siapa yang akan menyangka jikalau setelah 15 tahun berlalu aku bisa datang ke tempat yang sama saat aku masih mengenakan seragam sekolah SMP?

Siapa yang akan menyangka jikalau aku masih bisa berjumpa dengan guru-guruku yang dulu mengajarku dan tetap berdedikasi tinggi mendidik anak-anak di negeri orang?

Ah, semua tidak ada yang tahu dan tidak ada yang akan menyangka termasuk aku sendiri, bahwa aku akan berjumpa lagi dengan mereka, dengan almamaterku yang menyimpan kenangan yang indah masa remaja.

Saat pertama kali melangkahkan kakiku memasuki gerbang KBRI Bangkok di akhir bulan Oktober 2004, hatiku bergemuruh diliputi penuh tanda tanya. Seperti apakah sekolahku yang dulu? Bagaimanakah kabar guru-guruku tercinta?

Senyum menghias di wajahku selaras dengan lincahnya bola mataku yang tak henti-henti menatap sekeliling KBRI. Saat itu aku, suami, dan tiga anak kami bermaksud mendaftarkan sekolah untuk dua anak kami di SIB (Sekolah Indonesia Bangkok) tempat yang sama saat dulu aku bersekolah di sana menimba ilmu.

Perasaan takjub merasuk dada, KBRI tampak semakin gagah, bersih dan terawat dengan baik.

Saat menuju gedung SIB kulihat seorang lelaki paruh baya yang rasanya tak asing lagi buatku. Ya, dialah guru matematika dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) yang sempat mengajarku saat itu. Walau tampak lebih tua (tentunya) namun wajahnya terlihat putih dan bersih. Rambut yang mulai memutih justru menambah kewibawaannya.

Kusapa beliau, beliau tampak terkejut sambil terus mencoba mengingat kembali murid-murid beliau yang jumlahnya sudah ratusan. Maklumlah, SIB diresmikan sejak tahun 1970 dan murid-murid yang datang silih berganti dalam periode yang bervariasi.

Ada yang hanya beberapa bulan, 1 tahun, 2 tahun, bahkan ada pula yang sejak TK sampai SMA menjadi siswa di sana sehingga jika dilihat dari usia sekolah tentu jumlah total muridnya tak bisa dibilang sedikit. Tak lama kemudian beliau sudah dapat mengingat kembali, aku salah satu murid beliau di tahun 1987-1989.

Setelah kami berbincang dengan hangat, aku utarakan maksud kedatangan kami yaitu untuk mendaftarkan sekolah anak-anakku. Sekilas beliau bergurau, “Dulu Bapak mengajar mama sekarang Bapak mengajar cucu”. Kami pun tertawa bersama. Nah, berawal dari situlah aku memasuki episode kehidupanku di negeri gajah putih. Sejak suami tercinta diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di Thailand.

Kala pertama datang ke Bangkok, aku baru saja menjalani persalinan anak ketiga, membawa bayi berusia tiga bulan dengan dua orang kakaknya di usia lima dan delapan tahun. Walaupun dulu aku sudah pernah tinggal di sini namun semuanya terlihat tak sama.

Semua nampak menjadi berbeda dan serba baru buatku dengan statusku yang tentunya sudah berubah, sebagai seorang istri bagi suamiku dan seorang ibu bagi tiga anak-anak kami. Semua bagiku tampak masih membingungkan karena aku harus beradaptasi lagi dengan suasana yang baru.

Seiring dengan berjalannya masa, perlahan aku mulai belajar mengatur waktu dengan baik. Semua pekerjaan rumah tangga kami bagi berdua. Kami mencoba melakukan pekerjaan sesederhana mungkin.

Tak ada lagi istilah pakai popok untuk bayi perempuanku. Kami harus menghemat waktu dan energi termasuk urusan cuci-mencuci. Walaupun dulu sempat kurang “sreg” dengan istilah pampers namun kali ini aku harus bisa berkompromi dengan pampers untuk bayi mungilku yang cantik.

Akhirnya istilah pampers yang dulu saat kedua kakaknya balita hanya dipakai saat bepergian saja, kini menjadi sebuah kebutuhan sehari-hari sampai bayiku menginjak usia 2 tahun. Begitulah keadaannya.

Lain lagi dengan urusan perut. Buku resep yang dulu di Indonesia tak pernah kusentuh bahkan nyaris tak punya (berhubung khodimat yang selalu memasak) kali ini sengaja aku beli dan kubawa untuk menjadi andalanku belajar memasak.

Anak-anak semakin besar dan semakin mandiri. Aku pun belajar mandiri seperti mereka. Karena aku sudah mulai terbiasa dengan ritmeku, maka aku punya waktu untuk urusan lain. Aku pun mulai berkenalan dengan warga Indonesia yang ada di sini dan bergabung dengan pengajian ibu-ibu. Ya, ajang ini menjadi salah satu ajang temu kangen kami sesama warga Indonesia.

Kadang-kadang rasa rindu kepada sanak keluarga hinggap di dada, namun kami coba atasi dengan bersua melalui telepon. Di satu sisi aku merasakan sebuah hikmah bahwa kedekatan aku, suami, dan anak-anak sebagai satu keluarga inti menjadi semakin erat dan kokoh. Rasa saling memiliki dan membutuhkan terasa sekali.

Banyak orang bilang bahwa Bangkok adalah surga dunia baik untuk berbelanja maupun kehidupan malamnya. Tak sedikit orang datang ke sini hanya untuk suatu tujuan negatif yang jauh dari kata halal. Memang sektor pariwisata memegang peranan penting di negeri ini.

Namun salah seorang sahabat pernah berkata, “Biarlah banyak orang menganggap demikian dengan Bangkok, namun kita harus punya persepsi yang berbeda. Sebagai umat Islam kita harus bisa mendapat “sesuatu” di negeri ini yang tentunya berguna untuk bekal kita pulang ke tanah air dan bermanfaat untuk dunia dan akherat kita”. Kata-katanya begitu mendalam buatku.

Ya, ternyata di sinilah aku banyak menimba ilmu yang belum tentu aku dapatkan jika aku di tanah air. Di sini, aku banyak berjumpa dengan orang-orang yang berhati mulia dan memahami apa arti persahabatan yang sesungguhnya.

Mereka tak pernah lelah untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Walaupun banyak yang telah kembali ke tanah air, namun bersahabatan dan tali silaturrahmi tetap terjalin dengan baik. Di sini aku banyak belajar dan memperdalam dienku Al-Islam, memperbaiki bacaanku dan meningkatkan hapalanku.

Peran menjadi 100% ibu rumah tangga juga bukan hal yang mudah. Selain menjadi guru les bagi anak-anakku sendiri untuk mengajari mereka mengaji, berhitung, membaca, dan beberapa pelajaran yang lain, aku juga harus banyak belajar bagaimana menjadi seorang istri dan ibu yang sabar dan ikhlas. Yaitu seorang wanita yang penuh kelembutan dan kasih sayang kepada anak-anak agar aku dapat meraih ridlo-NYA kelak. Ya, aku tak menyangka bahwa ternyata di sini kutemukan rangkaian mutiara yang indah dipandang mata.

Di sini pula aku belajar tentang bagaimana menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Ruang lingkup yang kecil dengan karakter dan watak manusia yang berbeda-beda menjadi tantangan tersendiri buatku. Lagi, di sini juga aku belajar keterampilan dari teman-teman yang ikhlas membagi ilmu, belajar membuat gelang dan menjahit. Pun di sini aku mulai belajar menulis.

Tak terasa sudah 5 tahun 7 bulan aku dan keluarga merantau, nun jauh di negeri seberang. Sebulan lagi, inshaALLOH kami sekeluarga akan berhijrah kembali ke tanah air tercinta, berkumpul lagi dengan orang tua dan sanak keluarga.

Rasa gembira membuncah di dalam dada tak sabar menanti hari itu tiba. Bagaimana tidak? Kata-kata yang selalu aku tunggu selama dua tahun akhirnya terucap juga dari mulut suamiku tercinta. Namun tak dapat dipungkiri, ada rasa haru dan sedih akan meninggalkan negeri yang sedang dilanda politik yang berkepanjangan ini.

Episode di negeri gajah putih segera berakhir. Aku akan kembali ke tanah air dengan episode berikutnya. Ya, hidup ini bagaikan sebuah buku yang terdiri dari beberapa episode (bab). Setiap hari adalah setiap lembarnya. Entah pada episode yang mana buku ini akan selesai. Itulah pertanda akhir hidup kita.

Semoga kita dapat mempersembahkan buku yang baik untuk keluarga kita. Buku yang akan dibacakan di yaumul akhir nanti. Ada buku yang tebal dan ada pula buku yang tipis. Ada buku yang penuh makna namun ada pula buku yang tak berarti apa-apa bahkan tak sedikit buku yang merusak akhlak.

Terima kasih Yaa Rabb, telah Kau beri aku kesempatan mendapatkan ilmu yang berguna pada episode ini. Terima kasih suamiku, melaluimu aku bisa datang kembali ke sini yang tidak pernah aku sangka sebelumnya dan mendapatkan hikmah yang tiada tara.

Semoga, kami dapat terus istiqomah menjaga dan menjalankan serta membagikan ilmu dan hikmah yang pernah kami dapat di negeri ini. Semoga kami tidak akan terlena dengan segala kemudahan dan kenikmatan di negeri sendiri, inshaALLOH.

“ALLOH memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-NYA. Dan barang siapa yang diberi hikmah, ia benar-benar telah diberi kebajikan yang banyak…..” (QS Al- Baqarah [2] : 269).

Semoga kami semua tergolong ke dalam hamba-hamba-MU yang demikian Yaa Rabb, aamiin.

Wallohua’lam bishshowaab.

Mkd/bkk/11.05.2010