Kami Rindu Kalian, Anak Cucuku…

Sejak hijrah untuk kuliah di ibukota tahun 1990, aku selalu membiasakan diri untuk pulang kampung saat liburan, ditambah saat lebaran. Kebiasaan ini kulanjutkan pula setelah menikah. Aku bersepakat dengan suami untuk pulang kampung menjenguk orang tua minimal setiap 6 bulan sekali.

Juga mewajibkan diri pulang setiap lebaran, meski dengan perjuangan berat dan berdesakan naik angkutan umum waktu itu. Belum pesan tiket yang harus jauh-jauh hari kalau gak ingin kehabisan. Pokoknya, kalau ingat bagaimana perjuangan bisa naik kereta yang jatah tempat duduk pun susah banget kita tuju lagi karena sudah penuh sesak orang, jadi senyum2 kecut sendiri.

Naik kereta dengan seat yang terbatas, sehingga di dalam kereta harus berbagi. Ada yang duduk di kursi, ada juga yang nggelosor di depan kursi atau memanfaatkan celah antara dua kursi yang saling membelakangi. Bagiku, meski celah sempit itu nampak tidak elit, tapi justru sangat ideal untuk tidur nyenyak dengan kaki lurus, dari pada duduk di kursi, hihihi.

Pernah juga aku membawa Hurin yang waktu itu masih bayi, mudik saat lebaran, dan selama perjalanan dia mabuk darat, muntah terus sekitar 17 kali. Aku panik waktu itu takut dia dehidrasi. Tapi Alhamdulillah, begitu sampai rumah mbah-nya, dia tampak segar lagi.

Tapi betul, perjuangan cukup berat naik angkutan umum masa2 peak lebaran itu langsung hilang saat melihat wajah bapak ibu (orang tua dan mertua, karena kebetulan kami dari daerah yang sama), tersenyum bahagia melhat anak cucunya ngumpul.
Meskipun karena cucu2 ngumpul akhirnya acara tidur pun bisa rame-rame di ruang tengah karena tak kebagian kamar.

Meskipun untuk menjamin logistik selalu ada, kulihat ibu menghabiskan sebagian besar waktunya di dapur. Meskipun untuk menjemur baju seluruh keluarga besar itu akhirnya harus bergiliran saking banyaknya baju yang harus dijemur (apalagi banyak bayi2 yang masih sering ngompol). Tapi tetap kulihat pancaran kebahagiaan bapak dan ibu terlihat jelas, dari sorot mata mereka.

Sekarang, Alhamdulillah, untuk pulang kampung Allah telah berikan kemudahan dengan mobil pribadi. Jadi kerepotan di jalan saat mudik dapat dikurangi. Gak kebayang juga nggotong anak 4 yang masih piyek2 ini berdesakan tiap mau lebaran naik angkutan umum. Hufht, bisa mecedel jadi perkedel deh 😀

Tentu, kemudahan sarana ini makin menguatkan niatku untuk sebisa mungkin pulang kampung menengok orang tua. Selagi mereka masih sugeng (hidup). Jangan sampai aku menyesal di kemudian hari, menunda kepulangan hanya karena urusan pekerjaan atau ini itu yang tak kunjung habisnya. Padahal aku tak tahu kapan Allah akan memangil mereka. Saat itu tentu akan tiba. Dan sebelum tiba, aku tak ingin menyesal karena merasa kurang berbakti 🙁

Bapakku sendiri, saat awal aku menikah pernah berpesan, "Hari libur yang lain gak pulang gak papa. Tapi kalo lebaran, hukumnya wajib pulang, kecuali ada halangan banget".
Karena pesan itulah, rasanya baru 1 kali selama aku hjrah ke ibukota ini, lebaran tak pulang, karena masih baru saja melahirkan. Lebaran2 lainnya? Pulang! Meski kadang ada masanya suami nggak tega demi membayangkan anak2 yg masih kecil ini harus ikut berdesakan naik angkutan umum, tapi biasanya aku merengek, "Ayolah mas, Bismillah. Insya Alah gak papa. Nanti kita gela lho kalau gak pulang. Mumpung orang tua masih sehat"

Akhirnya, suami luluh hati, dan seperti biasa, kami pulang kampung, dengan segala cerita serunya berdesakan di kereta 🙂

Dan ternyata, begitulah orang tua, selalu merinduka anaknya. Meski kadang rindu itu mereka pendam rapat2, kuatir jika anaknya tahu maka si anak akan segera meluangkan waktu untuk menengoknya meskipun masih banyak kesibukan. Itulah setidaknya yang terekam dalam benakku, saat bersama suami dan anak2 mudik pulang kampung pada liburan tahun ajaran ini.

Karena sudah biasa setiap liburan pulang kampung, bapak ibu tentu menunggu2 kedatangan kami. Tapi, sudah sepekan liburan berlalu, kami tak kunjung datang. Memang kami mudik di ujung akhir liburan, karena kebetulan pada awal liburan aku justru ada tugas kantor ke luar kota selama sepekan.

Ibu mertua bercerita, bahwa setelah sepekan kami tak kelihatan juga, mereka agak kecewa, "Ah, ya sudahlah. Gak akan ngarep2 lagi. Gak pada pulang kali ya. Sudah seminggu lewat liburannya, gak dateng juga".

Bahkan, bapak mertua sempat meminta ibu untuk menelpon kami, sekedar mengecek apakah kami ada rencana mudik atau tidak seperti biasanya. Tapi ibu berkata, "Ndak, aku ndak akan telpon. Entar kalau aku nelpon dikira ngarep-ngarep banget. Terus ndak niat pulang jadi maksain pulang, padahal lagi banyak kerjaan. Udahlah, lupakan saja kalau anak-anak mau pulang..".

Mendengar cerita ibu mertua, campur aduk perasaanku. Terharu, sedih, sekaligus menyesal karena ‘terlambat’ mudik. Subhanallah, begitulah orang tua. Begitu besar rasa sayangnya sampai2 meskipun rasa rindu di hati mereka membuncah, mereka tahan-tahan karena tak ingin mengganggu kesibukan anaknya.

Kejadian itu makin menguatkan azzamku, untuk selalu menyempatkan diri pulang kampung menengok orang tua, sesering mungkin. Mumpug mereka masih sehat, masih diberi umur panjang.

Apalah artinya pekerjaan, jika orang tua menjadi taruhan?
Bahkan, mestinya sebagai anak, aku berkewajiban menemani masa tua mereka.
Apalagi bapak kandungku, sepeninggal ibu almarhumah, tentu membutuhkan tempat untuk berbagi rasa bersama anak2nya. Untunglah, ada salah seorang mas-ku yang dapat menemaninya.

Jadi, kalau sekedar pulang kampung secara berkala untuk menyenangkan hati mereka masih juga enggan, di mana baktiku?

Ya Allah, mudahkan kami untuk terus berbakti pada ibu bapak kami, di masa tua mereka.
Sayangilah mereka sebagai mana mereka telah menyayangi kami di waktu kecil.