Persaudaraan Di Komplek Elit

Benarlah kata Al-Qur’an, bukan uang yang menyatukan perbedaan, bukan garis keturunan yang menyambung kasih sayang,  bukan kecantikan dan ketampanan yang mempertautkan hati, bukan pula apapun artificial dunia yang membanggakan. Bukan, tetapi iman yang mampu melakukannya.

Iman tidak mengenal batas zona eksklusif meskipun perbedaan nampak amat mencolok. Warna kulit yang kontras, cengkok bahasa yang unik atau budaya yang berwarna seperti pelangi. Bagi iman, itu bukan soal. Iman memang tidak mengubah kulit hitam menjadi putih, misteri pengertian bahasa menjadi terpecahkan atau menyeragamkan warna budaya menjadi tunggal. Bukan. Tugas iman lebih mulia dari itu, yakni membingkai pluralitas tersebut dalam satu tata-nilai yang tunduk kepada hukum Allah subhanahu wa ta’aala.

Sudah banyak bukti, uang justru menjadi sumber konflik dan permusuhan walau dalam satu darah geneologi. Trah dan keturunan malah memenjarakan manusia dalam kotak perbedaan antara darah marah dan darah biru. Tampan dan cantik rupawan justru jadi pemantik keretakan hubungan karena dibakar cemburu dan perselingkuhan. Tapi iman, justru menyelamatkan siapapun dari berbagai fitnah dunia itu dan mampu menarik lengannya dari jurang neraka meskipun sebelah kakinya telah dijilat ujung apinya.

Sebab itu tidak ada nikmat dalam persaudaraan, selain persaudaraan yang berpijak di atas pola dasar iman, dalam naungan Islam dan relasi kesetaraan ihsan.

 ***

Luar biasa. Wanita itu telah melewati masa-masa kritis dalam pengabdiannya pada suami. Di saat genting, antara pertaruhan hidup dan mati nyawa orang yang dicintainya itu, ia berani memutuskan bahwa operasi adalah jalan yang terbaik berpegang pada analisa dokter. Ia berpikir jernih di tengah kegagapan orang-orang dekatnya. Sementara pihak yang diharapkan memberi jalan keluar, hanya mengarahkannya ke jalan buntu.

“Cari jalan lain!”.

“Alternatif saja!”.

”Jangan terlalu percaya pada dokter!”.

”Dokter juga manusia, dia bukan Tuhan!”.

Keputusan dari hasil munajatnya benar. Sang suami telah pulih atas izin Allah melalui meja operasi, yang mungkin saja tak tertolong apabila hatinya termakan oleh amarah yang riuh rendah di belakangnya. Syukurnya kepada Allah tak henti-henti, meskipun perasaannya ”dipanggang” dilema persoalan harga diri. Tapi ia tidak peduli.

Cintanya pada suami kini semakin berlipat-lipat. Hasratnya hanya satu; mendampingi kekasih hidupnya itu hingga tutup usia walau sepanjang hayat tangannya harus rela menyodorkan obat dan segelas air putih bagi kesehatan pasangan hidupnya. Yang penting baginya, pengabdian sebagai isteri harus tuntas sampai di ujung jihad di jalan Tuhan.

Kanjeng Nabi pernah berujar, bahwa neraka akan disesaki oleh wanita. Banyak wanita ”tersinggung” dengan nasehat nabi itu. Tersinggung karena mungkin saja mengapa harus wanita yang disebut. Ada yang meresponnya dengan berhenti ngaji. Yang sebagian lagi meminta hadits-hadits yang dikaji dipilih yang enak-enak saja. Bahkan ada yang meminta ustadznya diganti dengan ustadz lain. Ustadz yang lebih mengerti perasaan wanita dan sebagainya alasan dibuat-buat. Padahal semestinya mencari tahu, mengapa wanita yang dimodelkan dalam hadits itu.

Tidak semua wanita diisyaratkan Nabi demikian. Hanya wanita tertentu saja. Wanita yang berjubel di neraka itu menurut pensyarah hadits, adalah wanita yang selalu menyusahkan suami. Wanita yang tidak pernah merasa puas dan ridha atas pemberian nafkah suami. Wanita-wanita yang nusyuz. Wanita yang berpaling dengan lelaki lain saat suaminya tidak di rumah. Atau memasukkan laki-laki asing ke kamarnya di saat suaminya bekerja untuk menghidupinya. Wanita yang tidur diranjang pengantinnya tapi bukan dengan pasangan sahnya. Wanita-wanita seperti isteri Abu Lahab atau seperti isteri Nabi Luth. Bukan untuk wanita saleha.

Tentu saja, lelaki pun apabila memiliki kesamaan dengan sifat-sifat wanita di atas sangatlah aneh kalau dapat melenggang dan menikmati surganya Allah dengan santainya. Jadi, para wanita semestinya tidak perlu berkecil hati. Surga dan neraka tidak bias gender.    

Sementara, wanita salehah dijanjikan surga yang di bawahnya mengalir sungai keabadian. Di antaranya adalah wanita yang telaten saat suami sehat dan tetap sabar saat suami tak berdaya melawan penyakit. Isteri yang bersyukur saat suami di puncak sukses dan tetap menggandengnya mesra di saat suami terpuruk di buritan nasib. Wanita-wanita yang tetap menjaga kehormatannya karena taat suami dan takut kepada Allah.

 ***

Wanita itu menghayati nilai ketaatan.

Tetapi wanita tetaplah wanita. Ia dekat dengan air mata sebab halus perasaannya. Ia mudah gamang meskipun pilihannya sudah benar, sebab bahasa qalbunya lebih dominan dari pada nalar pikirnya.

Pertolongan Allah selalu datang di saat yang tepat. Meskipun ia seperti ditanggalkan dari pohon silsilah saat musibah itu dialami suaminya, hatinya mengharu biru di rumah sakit tempat suaminya dirawat. Mulutnya terkatup rapat tanpa bahasa menyaksikan para tetangga di komplek ia tinggal hadir di depan ruang operasi. Kehadiran mereka dirasakannya sebagai anugerah besar, baik secara moril maupun materil. Di sinilah kemudian syukurnya menyeruak:

”Ya Rabb, mereka bukanlah saudara-saudaraku. Tapi mereka semua hadir di depan ruang operasi memberikan dorongan moril bahkan materil. Mereka ijin dari kantor masing-masing hanya untuk memberikan dukungannnya khususnya pada suami saya. Saya bersyukur kepada-Mu Ya Rabb. Bersyukur telah menempatkan kami pada lingkungan yang bersaudara kerena Allah dan Insya Allah semua mereka orang soleh”.

Yang sering kita dengar, betapa kehidupan komunitas komplek apalagi komplek elit terkesan individualistik. Hidupnya nafsi-nafsi. Rumah dibatasi pagar tinggi dengan Herder di muka pintu mengawasi. Dengan tetangga jarang bertemu. Bahkan mungkin tidak saling mengenal meski mereka dipisah hanya oleh sebidang pekarangan samping. Tapi tidak di komplek wanita ini.

Pengalaman hidupnya berbicara banyak tentang nilai persaudaraan seiman di komunitasnya. Nilai etika bertetangga sungguh hidup dan perlu dicontoh bagi kita. Dengan asumsi bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki status pekerjaan yang mapan dan penting, tetapi mereka mendahulukan kepentingan tetangganya di saat genting dan meninggalkan pekerjaannya sementara waktu. Hadir di ruang operasi dengan harus menggagalkan pertemuan dengan klien di kantornya, atau mengubah jadwal meeting, atau bahkan mungkin juga merelakan nilai bisnis yang sudah di depan mata lepas dari tangan. Tentu secara materi, hal itu bukanlah persoalan sederhana dan gampang. Tetapi nilai materi itu menjadi tidak berarti apa-apa dan sangat ringan untuk diabaikan jika berangkatnya karena iman dan ukhuwwah.

Benarlah ungkapan bijak, bahwa tetangga yang beriman hakikatnya adalah saudara terdekat kita. Sebelum sanak saudara sekandung mengetahui kesulitan kita apa, tetangga sudah lebih dahulu mengulurkan tangan meringankan beban. Bahkan bisa jadi mereka lebih care atas persoalan hidup yang tengah kita hadapi. Wajarlah agama mewajibkan untuk memuliakan tetangga yang demikian.

Karena itu, kebahagiaan dan ketersiksaan dalam hidup bertetangga atau bemasyarakat sebenarnya tidak bisa diukur dari elita dan tidaknya suatu tempat tinggal. Tetapi lebih kepada isi hati dari para penghuninya. Seindah dan senyaman apapun sebuah komplek hunian, tidaklah akan mampu menghadirkan ketentraman dan ketenangan bagi penghuninya apabila diisi oleh hati-hati yang zalim, jahat dan berakhlak buruk. Tentulah sebuah kebahagiaan yang sempurna, apabila sebuah hunian ditata asri, nyaman dan berkelas dan para penghuninya membawa serta iman dan mengusung nilai persaudaraan dalam kehidupan di antara mereka. Seperti kehidupan di komplek wanita itu.

 

Ciputat Nopember 2009