Jika Tempat Kerja Berubah Jadi Gudang Derita

Saya pindah-pindah kerja sebanyak delapan kali. Di sektor pemerintahan ataupun swasta. Dari satu lembaga ke lembaga lain. Dari satu kota, ke kota lain. Dari satu negera, ke negara lain. Sebanyak itu pula saya jumpai tidak ada organisasi yang sempurna, setidak-sempurnanya diri saya. Tidak ada yang perfect memang dalam dunia ini. Bisa jadi saya terlambat mengetahui falsafah kerja dalam hidup. Tetapi itulah kenyataannya.

Jutaan orang mengalami hal yang sama. Mereka cari tempat yang lebih baik dan lebih baik. Meloncat ke sana-ke mari, menengok ke kanan-ke kiri. Siapa tahu barangkali ada tempat berteduh yang lebih sejuk. Akan tetapi apa lacur? Banyak mereka yang beruntung, meski tidak sedikit pula yang jadi hancur.

Melihat selembar foto yang nyangkut di Facebook (FB) tadi pagi, membuat lamunan saya hanyut. Pandangan saya tertuju pada sosok Anas, begitu saya biasa sebut namanya. Salah satu seorang kerabat, tidak kurang dari lima belas tahun pengalaman kerjanya. Sosoknya terpampang dalam foto tersebut. Dia masih nampak segar, bugar dan tampan. Saya, waktu itu, berharap bahwa dia kelak bisa berhasil dalam kariernya. Mengangkat derajat dan martabat keluarganya. Membuat kami semua bisa bangga. Setidaknya, ada yang bisa diharap darinya.

Lima belas tahun berlalu sudah. Begitu cepat. Lebih cepat saya rasakan dari perjalanan Bus Patas Malang-Surabaya yang biasa saya menjadi pelanggannya di kala kerja. Secepat itu pula perubahan yang saya rasakan terjadi dalam diri Anas. Bukannya lebih baik. Namun sebaliknya. Itu dalam pandangan saya. Bukan darinya.

Perubahan yang ada pada Anas, saya rasakan bukan hanya dari aspek fisik saja tentunya. Bahkan dalam tinjauan sosio-psikologis, saya tidak melihat adanya perbaikan yang significant dalam diri Anas. Ah…..saya jadi ikut merasakan betapa tidak nyaman perjalanan hidupnya. Sebuah penilaian sepihak memang.

Tahun ini, dia bertambah usia, sekaligus berkurang jatah umurnya. Sama seperti saya. Tahun lalu, dia sempat empat kali harus mondok di sebuah rumah sakit. Dua kali di antaranya saya diberikan kesempatan oleh Allah SWT untuk bisa melihat dari dekat kondisinya. Ada rasa bersalah dalam diri saya, karena dia tidak bisa membantunya maksimal meraih sesuatu yang menurut ukuran saya mampu diciptakannya, guna merubah dirinya. Betapa malang nasibnya.

Saya memang tidak pernah tahu bagaimana dan seperti apa tempat kerjanya. Siapa rekan-rekannya. Serta bagaimana lingkungan di mana dia berada. Yang saya banyak dengar darinya adalah, bahwa Anas senantiasa menikmati perjalanan profesinya. Bahagia di antara rekan-rekannya. Serta diterima di lingkungan di mana dia tinggal. Sebuah cerita sepihak yang justru membuat saya jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan Anas?

Sayangnya, Anas tidak mampu meyakinkan saya bahwa dia seharusnya tidak berada dalam situasi dan kondisi seperti sekarang ini bila ditunjang oleh kondisi tempat kerja, tempat di mana dia tinggal, serta rekan-rekan kerja dan masyarakat sekelilingnya. Saya hanya ingin tahu, bahwa peran tempat di mana seseorang bekerja, berpengaruh amat besar dalam perkembangan diri seseorang, bukan hanya karier. Bahkan sosial, spiritual serta professional.

Anas bekerja sebagai guru, di sebuah sekolah dasar negeri di sebuah pelosok desa di Pasuruan, Jawa Timur. Anas meniti kariernya dari sana. Tidak kurang dari lima belas tahun silam. Di tengah ketidak-berdayaannya di atas sebuah tempat tidur di rumah sakit, saya berusaha membantu untuk menyelesaikan urusan administrasi di tempat kerjanya. Saya pun meluncur ke sana.

Terdapat tiga persoalan mendasar yang bagi saya bisa menjadi himah dan pelajaran berharga. Bahwa fisik yang sudah melemah, teman tidak ada, harta pun tak punya, erat kaitannya dengan kerja. Sebuah kenyataan yang saya kurang yakin apakah Anas menyadarinya. Dalam kondisi sakit waktu itu, sudah tentu dia tidak mampu melakukan itu semua.

Saya tidak ingin berlagak kayak FBI agent yang sangat getol mencampuri urusan orang lain serta seluk beluknya. Saya hanya tergelitik ingin tahu lebih jauh, mengapa dia ‘tumbuh dan berkembang’ seperti ini? Tidak seperti kebanyakan guru-guru yang pernah saya kenal. Sebuah profesi yang sebenarnya menjanjikan perbaikan kondisi finansial jika digelutinya dengan baik.

Dalam segi sosial, kita tidak harus menjadi seorang Ketua RT agar kita bisa bergaul dengan masyarakat sekitar. Kita juga tidak harus keluar setiap hari anjang sana, melongok tetangga, mengunjungi sanak keluarga. Bisa jadi, keterlalu-seringan bertandang ke sana-ke mari, malah jadi bahan ngrumpi, bukannya mendapatkan ‘isi’.

Pula dari sisi fisik, kesehatan, kita tidak harus membeli makanan yang mahal agar tubuh ini bisa sehat. Apalagi di desa, di mana sayuran serta tumbuhan lain yang segar guna dikonsumsi untuk kepentingan tubuh ini umumnya tersedia. Intinya, untuk hidup dan berbadan sehat, tidak harus mewah.

Saya ketemu dengan pimpinan Anas, sang Kepala Sekolah. Saya ketemu teman-teman sejawat Anas, para guru, hampir semuanya. Saya juga ketemu salah satu rekan kerja Anas, yang menurutnya ‘paling dekat’ meskipun dalam pandangan saya ‘begitu jauh’. Ketidak-dekatan Anas dengan rekan-rekan kerja membuat saya prihatin. Karena yang saya dengar, dari empat kali dirawat, hanya sekali rekan-rekan kantor nya menjenguknya. Betapa sepi rasanya. Dari para guru yang berbicara di depan mata kepala saya, Anas bukan seorang sosok guru sebagaimana yang Anas gembar-gemborkan pada saya selama ini. Kembali, saya bertanya dalam diri saya: apakah Anas salah pilih?

Penghasilan sebagai guru mestinya menempatkan Anas dalam posisi ekonomi yang lebih baik dari kebanyakan orang. Apalagi Anas golongan IIIA. Tapi kenapa dia selalu kekurangan? Hutang pun di mana-mana. Padahal anak dan keluarga juga tidak? Perabotan rumah tangga apalagi. Ketika saya lihat di rumah sakit, kartu Asuransi saja juga belum klar. Sementara si Rupiah tidak terlihat di dalam dompetnya. Kondisinya yang lemah, dihimpit badan yang kurus kering, keberangkatan Anas ke rumah sakit bukannya diantar oleh orang-orang sekitar atau rekan kerjanya. Bagaimana semua ini bisa membuat Anas betah?

Pembaca……

Semua orang mendambakan tempat kerja yang nyaman. Semua orang menginginkan imbalan yang setimpal. Semua orang juga memimpikan lingkungan kerja yang ideal. Namun guna mewujudkan persyaratan itu semua, nyaris tidak mungkin, kecuali jika kita sendiri yang bertindak sebagai pengelolanya.

Ada banyak hal-hal yang dalam jangkauan dan genggaman kita. Tidak terhitung pula yang di luar control atau kendali kita. Ini semua lantaran keterbatasan yang kita miliki sebagai manusia.

Karena itu, beberapa rumusan dalam memilih atau mengantisipasi persoalan kerja itu penting. Sayangnya, acapkali kita tidak dalam posisi untuk memilihi. Sebaliknya, sering terjadi di mana kita ‘terpaksa’ untuk mengambilnya, bukannya memilih.

Bagaimana jika hal ini yang terjadi?

Yang pertama, adalah penting sekali mengenal sisi positif diri sendiri. Mengidentifikasi berbagai segi positif itu penting sekali karena mengedepankan sisi positif akan menempatkan ‘kelebihan’ yang di anak tangga teratas. Apakah itu bakat, pengetahuan maupun ketrampilan, baik itu soft skils atau hard skills. Hasil dari identifikasi potensi membuat kita dalam wining position, bukannya kalah dalam tawar-menawar.

Yang kedua, tanamkan pemikiran bahwa duit bukan menjadikan prioritas utama dalam pencarian kerja. Tempat di mana saya bekerja saat ini (bukan dalam satu departemen), seringkali saya temukan senior hingga manager yang jelas-jelas gajinya amat besar hanya bertahan beberapa bukan saja. Sesudah itu mengundurkan diri, alias berhenti.

Hal ini menunjukkan bukti bahwa duit bukan motivasi utamanya. Sebaliknya, jika kita menempatkan prestasi (mutu) dalam kerja pada urutan pertama, yang namanya uang akan mengikuti di belakang kita. Kalau tidak dalam waktu dekat, percayalah, tidak bakalan lama.

Ketiga, utamakan keseimbangan sosial. Ingat, bahwa pekerjaan yang baik adalah amalan yang ilmiah. Syukur kalau ditunjang dengan ilmu yang ilmiah. Artinya, pekerjaan kita menyumbangkan nilai manfaat bagi masyarakat. Syukur jika bisa diimplementasikan di tengah-tengah masyarakat. Guru, tukang kayu, seni bela diri, perawat, dokter, insinyur, teknisi komputer, semuanya bisa membawa hikmah bagi masyarakat luas. Persoalannya, kita terkadang malu ‘mengumumkan’ kepada masyarakat bahwa kita bisa dan bersedia membantu mereka sekaligus mengamalkan ilmu kita.

Tiga hal di atas, jika diterapkan dalam praktik di tempat kerja, bakal membantu kita paling tidak, merasa betah atau kerasan. Toh tempat kerja, apalagi jika kita di luar negeri, sifatnya selalu sementara.

Terlebih lagi jika diniatkan ibadah, subhanallah. Kerja pun nikmat. Wallahu a’lam!

Doha, 14 January 2011

[email protected]