The Little Srilanka, What to be Prod of?

Siang tadi, dalam kesibukan weekend, bel pintu berdering. Kadang saya jengkel. Seringkali orang tak diundang atau salah alamat yang saya temui di depan pintu. Pengantar makanan dari KFC misalnya, acapkali salah alamat. Maklum, flat yang kami huni satu-satunya di groundfloor, tidak bernomer. Jadi, risikonya ya …itu tadi. Mereka pikir otomatis bernomor satu, langsung saja tekan tombol bel. Padahal tidak!

Pintu saya buka. “Yes….???” Saya menyapa, lesu. Lelaki setengah baya, berdasi, berkulit agak hitam, tersenyum, membalas: “Good afternoon Sir!” Membuat saya berubah. Setidaknya rasa iritasi jadi berkurang, karena keramahan ekspresi raut mukanya. Dia mulai membuka bicara. “My name is Siva. I am from Book Deals Trading. I would like to…..” Dan seterusnya.

Sebelum dia rampung menyampaikan segala bentuk jurus pendahuluan, saya buka lebar daun pintu. “Come in….please!” mempersilakan dia masuk. Ada garis kelelahan di wajahnya. Bercampur haus.

Barangkali begitulah. Wajahnya mengingatakan saya ketika berjuang di Trenggalek Selatan, di tengah hutan saat berjalan memenuhi panggilan masyarakat setempat memberikan pelayanan kesehatan. Bedanya, medan. Saya di hutan rimbun penuh dedaunan, yang satu ini di gurun. Tapi siapa peduli? Lelah..ya…lelah…butu air. Titik! Belum selesai lamunan tentang Trenggalek, kemudian dibuyarkan oleh: “Thanks!” ucapnya, lega.

Lelaki yang kemudian saya kenal sebagai salesman ini, menawarkan paket buku untuk anak-anak: First Reference for Young Readers. Menarik sepertinya. Meski bukan untuk saya. “This is not for me!” saya berusaha menolak. “I know. This might be good for your children!” Dia coba meyakinkan.
*****

Singkat cerita. Saya ambil buku tersebut. Saya bersedia membayar. Selain harga yang sudah dipatok, saya tambahin sedikit duit, yang barangkali bisa digunakan untuk beli juice. Tidak banyak jumlahnya.
Di luar dugaan saya. Tidak seperti kebanyakan salesman, orang yang satu ini beda. Dia kembalikan duitnya (Baca: Tip) kepada saya. Saya katakan: “This is from my heart!” “I appreciate that! This water is enough. Thanks!” Jawabnya, sambil membuka tutup botol air kemasan yang saya berikan. Namun kembali, agak setengah ‘memaksa’, saya taruh dalam genggamannya. Saya mengira, duit itu sudah ada di tangannya.

Saya kemudian sibuk melihat kembali buku-buku yang berjumlah lima buah dalam paket tersebut. Menarik memang. Beratnya sekitar 2 kgs. Seharga Rp250 ribu. Bagus untuk anak-anak, yang belajar bahasa Inggris. Buku seperti ini, di Indonesia pasti mahal sekali. Karena selain kualitas kertasnya, diperkaya dengan isi serta package yang menarik dan berwarna warni.

Ketika pamitan, dia bertanya kepada saya:” How is English book in Indonesia?” “Well…unlike you in Srilanka, you use English for study purposes, in Indonesia, you will not get good market for English books like in your place!” saya coba sedikit elaborasi.
“Yeah…because we were under British!” Tambahnya.
“We were under the Dutch!” jelas saya lebih lanjut.

Begitulah. Kemudian saya tutup pintu dan Siva pun melenggang…menjajakan buku-bukunya ke tempat lain.

Ketika saya ambil buku-buku yang dia taruh di meja, saya terkejut. Duit tambahan dari saya yang jumlahnya tidak seberapa tersebut, tidak dia ambil. Sebaliknya, hanya sebatas harga buku yang tertuang dalam kuitansinya saja yang dibawa. Saya tahu, ini bukan sebuah ketidak-sengajaan. Dia seorang pekerja. Dia butuh, kadang, tambahan upah. Saya yakin, pasti ada yang melatar-belakangi mengapa dia putuskan untuk tidak mengambilnya. Persoalannya bukan pada jumlah. Begitulah kesimpulan saya.
*****

Pertama kali ketemu orang asal Sri Lanka, saat saya bekerja di Kuwait, lebih dari sepuluh tahun lalu. Ratna namanya. Dia perawat asal Candy. Sebuah kota kecil di sebelah timur Colombo, sekitar 2 jam perjalanan. Ratna, sebuah nama yang umum di Indonesia sebagai sebuah nama hanya untuk perempuan, tetapi Ratna Srilanka ini laki-laki.

Dari sana kemudian merambat. Semakin lama, semakin banyak jumlah orang Srilanka yang saya temui. Di Timur Tengah, perlahan-lahan jumlah pekerja asal Srilanka yang dikirim ke sana, merangkak, naik. Apalagi sesudah terjadi perang sipil.

Saya tidak bakal membahas bagaimana sepak terjang orang-orang Srilanka di Timur Tengah. Saya hanya menyoroti kejadian siang tadi, serta mengambil hikmah dari sikap salesman Srilanka yang jarang saya temui.

Mayoritas pekerja asal Srilanka, ada pada level bawah. Seperti juga orang-orang asal Bangladesh (tentu saja orang Indonesia juga). Saya belum pernah menemui (meski barangkali ada saja), orang Srilanka yang menduduki porsi manajer di tempat-tempat di mana saya bekerja serta di lingkungan saya tinggal di luar negeri. Paling banter yang saya temui ya… itu tadi: sales executive atau Foreman.

Srilanka, negara yang ratusan tahun dijajah bergantian oleh Portugis, Belanda kemudian Inggris, sejak awal tahun 1500-an, sepertinya tidak pernah berhenti menderita. Awal tahun 1971 ketika mulai merasakan leganya bernafas dari cengkeraman kolonial inggris, nyatanya tidak membuat Srilanka lebih leluasa mengembangkan sayap berbagai sendi kehidupan ke arah yang lebih baik. Perang demi perang antar mereka sendiri membuat rakyat Srilanka melarat. Ribuan yang meninggal serta ratusan ribu kehilangan tempat tinggal. Ada yang lari ke Canada. Ada pula yang ke Amerika Serikat, juga Eropa. Ironisnya, di tengah-tengah kemelaratan Srilanka pernah meraih prestasi sebagai negara yang paling berhasil dalam menjalankan Keluarga Berencana, jauh sebelum Indonesia koar-koar tentang itu. Lulusan ahli Srilanka juga dikenal dan diakui oleh Inggris, Amerika Serikat serta Canada, tanpa harus menterjemahkan ijazah mereka. System pendidikan di Srilanka memang peninggalan Inggris. Srilanka yang barangkali miskin, nyatanya bisa berbangga.

Meski demikian, sikap salesman asal Srilanka yang yang temui tadi siang, membuat saya sebagai warga Indonesia, sempat terpana. Di tengah-tengah himpitan ekonomi yang demikian penat, ternyata orang ini masih menempatkan ‘martabat’ jauh lebih tinggi ketimbang sekedar uang. Sebuah istilah yang saya ingat dari buah karya Dahlan Iskan: Ganti Hati.

Sikap seorang anak manusia yang menempatkan prinsip dalam hidup. Tidak tergoyah oleh kenikmatan apalagi kemewahan yang sesaat. Lelaki Srilanka yang tidak kenal lelah mengetuk satu pintu ke pintu lain ini, ternyata tidak hanya menyandang barang dagangan di tangannya. Dia memang tidak mewakili semua orang Srilanka atas sikapnya. Tetapi di mata saya pasti, dia kantongi nama besar bangsa dan negaranya. Bahwa meski melarat, tetapi bermartabat.

Manusia Srilanka, tidak semiskin yang saya duga!

Doha, 8 January 2011
[email protected]