Sejarah (Moga Tidak) Berulang : Ketika Adu Domba Setan Kecil dan Setan Besar

Inilah maknanya sepanjang dua puluh tahun Orde Baru, ABRI selalu memusuhi dan berusaha menghancurkan kekuatan Islam. George Aditjondro pun membeberkan peranan berbagai tokoh yang “menukangi” CSIS, setelah Pater Beek antara lain Ali Moertopo sampai Benny Moerdani, Harry Tjan Silalahi, Soedjati Djiwandono, Hadi Soesastro, Liem Bian Koen dan kakaknya Liem Bian Kie, Daoed Josoef dan serenceng nama lainnya. Pos strategis pada empat kali kabinet yang disusun Soeharto (1967—pra Pemilu I–1971, 1977, 1982 telah menempatkan tokoh-tokoh sekuler dan Nasrani mulai Frans Seda, Sumarlin, Radius Prawiro, Ali Wardhana sampai Wijoyo Nitisastro, hingga Adrianus Mooy, dan Soedradjad Djiwandono, dan Cosmas Batubara. Di tubuh ABRI pun dicengkeram panjang oleh ABRI Nasrani sejak dikuasai Mareden Panggabean, Sudomo sampai Benny Moerdani. Sementara di tubuh Golkar yang menguasai mutlak politik di Indonesia, duduklah tokoh Nasrani dan sekuler yang berseberangan dengan Islam, seperti Jacob Tobing, Midian Sirait, David Napitupulu, hingga Rachmat Witoelar.

Sepanjang penguasaan rezim Soeharto oleh rekayasa tink-tank CSIS itu, posisi umat Islam betul-betul dilecehkan habis-habisan bahkan diperhinakan sepanjang 20 tahun (1967-1987). Umat Islam selalu dicurigai tidak setia kepada Dasar Negara Pancasila, dan difitnah selalu merencanakan hendak menegakkan Negara Islam, seraya membongkar-bongkar isu lama yakni masalah Piagam Jakarta yang dianggap dosa besar kelompok Islam di awal Proklamasi. “Buldozer” Ali Moertopo pun toh terus menggilas apa yang tersisa dari kekuatan politik Islam. Partai-partai Islam pun dipaksa berfusi menjadi satu nama Partai Persatuan  Pembangunan (PPP), tapi dilarang memakai gambar Ka’bah yang tetap menakutkan rezim Soeharto dan diyakini akan menjadi alat pemersatu ampuh umat Islam.

Belum cukup, secara menyakitkan sepanjang waktu, umat Islam selalu dituduh sebagai tidak mempunyai Wawasan Kebangsaan, Anti Pancasila, tidak memiliki toleransi dan selalu menindas kalangan minoritas. Belum lagi produk-produk undang-undang di DPR yang didominasi Golkar selalu diterbitkan UU yang selalu berlawanan dengan aspirasi Islam. Ingat saja berbagai sikap pemerintah yang anti jilbab pada 1980, UU Perkawinan 1974, lalu sengaja membuat peraturan anak-anak sekolah untuk Hormat Bendera ketika memasuki kelas yang sengaja dipakai alat untuk mengejek dan melecehkan umat Islam karena bagi umat Islam, kegiatan Hormat Bendera bagai kegiatan Penjajah Jepang dengan Sekere-nya tiap pagi memaksa rakyat Indonesia menghadap matahari dan memberi hormat matahari. Pada 1975 pegawai negeri saat itu tidak berani terang-terangan shalat Jumat di jeda istirahat kantor, ingat pula pada masa itu mubaligh tidak leluasa berkhutbah jika mereka tidak memiliki SIM (bukan SIM motor tapi Surat Ijin Mubaligh). Ingat pula AM Fatwa sepulang khutbah Idul Fitri dilukai senjata tajam oleh oknum militer mencederai pipinya. Protes-protes Sjafruddin Prawiranegara dalam khutbah dan ceramahnya yang berani tidak digubris rezim Soeharto. Inilah fakta ketertindasan umat Islam dalam sejarah Orde Baru.