Dalam suatu kesempatan Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menawarkan kepada seorang sahabat suatu kalimat yang beliau katakan sebagai harta dari harta kekayaan surga.
فَقَالَ لِي يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ قَيْسٍ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ مِنْ كَنْزٍ مِنْ كُنُوزِ الْجَنَّةِ
قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَدَاكَ أَبِي وَأُمِّي قَالَ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepadaku: ”Hai Abdullah ibn Qayis.” Aku menjawab: “Aku penuhi panggilanmu.” Beliau bersabda: ”Maukah kamu aku tunjukkan suatu kalimat yang termasuk harta dari harta kekayaan surga?” Aku menjawab: ”Tentu.” Beliau bersabda: ”Katakanlah Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta’aala).” (HR Al-Bukhari 13/105)
Mangapa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan bahwa kalimat Laa haula wa laa quwwata illa billah merupakan harta dari harta kekayaan surga? Sebab kalimat ini mencerminkan prinsip mendasar aqidah seorang mu’min. Seorang muslim diperintahkan Allah ta’aala untuk ber-tawakkal hanya kepada-Nya. Ia dilarang ber-tawakkal kepada selain Allah ta’aala. Bahkan ia tidak diperkenankan ber-tawakkal kepada dirinya sendiri. Seorang mu’min faham dan sadar bahwa hanya Allah ta’aala tempat bergantung.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ
”Katakanlah, "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah ta’aala adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS Al-Ikhlash ayat 1-2)
Bahkan seorang mu’min yakin hanya dengan bertawakkal kepada Allah ta’aala sajalah segala keperluannya akan terpenuhi. Padahal manusia hidup di dunia sudah pasti punya aneka ragam keperluan.
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
”Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah ta’aala niscaya Allah ta’aala akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS Ath-Thalaq ayat 3)
Seorang mu’min faham bahwa segala yang terjadi di dunia hanya dapat terjadi atas izin Allah ta’aala. Oleh karenanya ia tak akan pernah menyerahkan urusannya kepada selain Allah ta’aala, termasuk kepada dirinya sendiri. Ia sadar kalau dirinya sendiri merupakan makhluk Allah ta’aala yang lemah dan tidak berdaya. Ia baru akan menjadi kuat bilamana ia beserta Allah ta’aala. Itulah di antara makna kalimat yang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam juluki sebagai termasuk harta dari harta kekayaan surga.
Bila seorang mu’min telah mempersiapkan dan merencanakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya, maka selanjutnya ia diharuskan menyerahkan (tawakkal) urusan berhasil tidaknya kepada Allah ta’aala. Jika berhasil, berarti Allah ta’aala memang mengizinkan urusan tersebut menjadi kenyataan. Ia wajib bersyukur kepada Allah ta’aala. Bila gagal berarti Allah ta’aala tidak menghendaki urusan tersebut menjadi kenyataan. Ia diwajibkan bersabar menghadapi taqdir itu. Sambil si mu’min tetap bakal memperoleh ganjaran atas niat dan usahanya mempersiapkan dan merencanakan urusan tadi. Di akhirat kelak insyaAllah ganjaran Allah ta’aala menantinya. Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam:
وَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَإِنَّ اللَّهَ يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِي الْآخِرَةِ وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِي الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِهِ
Adapun orang mu’min jika ber¬buat kebajikan, maka tersimpan pahalanya di akherat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta’atannya. (Muslim 5023)
Sebaliknya, seorang kafir bila telah merencanakan dan mempersiapkan suatu urusan, maka ia sepenuhnya merasa yakin urusannya bakal sukses. Bila sukses, maka ia akan menjadi manusia yang semakin sombong dan merasa berkuasa di muka bumi. Ia akan semakin lupa dan menjauhi Allah ta’aala karena keberhasilannya. Bila ia gagal, ia akan mengevaluasi secara material apa yang menyebabkan kegagalannya, tanpa mengkaitkan samasekali bahwa Allah ta’aala tidak mengizinkan urusannya berhasil. Ia akan terus-menerus menguraikan alasan-alasan yang sepertinya logis dan ilmiah mengenai kegagalannya. Sehingga sering kita dengar mereka mengatakan there is no room whatsoever for mistakes (tidak boleh ada celah sedikitpun untuk kesalahan). Sebab mereka hanya mengetahui sisi material dan duniawi saja dari urusan kehidupan mereka. Mereka samasekali tidak mengenal sisi ghaib dan ukhrowi dari setiap kejadian yang berlangsung dalam kehidupan fana ini.
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ruum ayat 7)
Saudaraku, marilah kita menjadi muslim-mu’min yang benar-benar yakin bahwa segala apa yang kita usahakan, rencanakan, persiapkan pada akhirnya hanya akan menjadi kenyataan atau tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak Allah ta’aala Yang Maha Berkehendak dan Maha Berkuasa. Maka biasakanlah mengucapkan:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
”Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta’aala.”
Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan bahwa kalimat ini termasuk harta dari harta kekayaan surga. Sebelum kelak di akhirat kita masuk surga -insyaAllah– mari kita biasakan menikmati sebagian dari harta kekayaan surga di dunia. Siapa tahu ia menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kita berhak dimasukkan Allah ta’aala ke dalam surga-Nya. Amin.