Perkembangan Teknologi Pertanian Sering Tidak Senafas Dengan Kesejahteraan Petani

 

Ambillah daerah Cipanas dan Puncak, sekadar sebagai contoh.Para petani di daerah Cipanas dan Puncak mengarap lahan tanah – tanah pertanian secara  turun – temurun warisan dari nenek – moyang, belajar secara otodidak dalam pengolahan  tanah dengan mengandalkan gejala – gejala alam, melihat pergantian musim antara musim hujan dan musim  kemarau tanaman apa yang cocok ditanam dengan hasil yang bagus, tidak takut diganggu hama binatang bisa diatasi oleh binatang – binatang pemangsa lainnya, malah membantu tanaman tumbuh cepat diluar perkiraan pada waktu menebarkan  benih,  dibantu oleh   kotoran – kotoran yang ditinggalkan binatang – binatang tersebut.

Namun, Cara budidaya pertanian tradisional pola bercocok – tanam yang diajarkan Buyut – Moyang secara turun – temurun disampaikan dari mulut kemulut bukan buku panduan secara tertulis petani di daerah Cipanas – Puncak berubah drastis, setelah masuknya Revolusi Hijau ke Indonesia.  yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru Suharto antara tahun 1984 – 1989, ditinggalkan begitu saja pola pertanian tradisional yang sudah dijalankan berabad – abad lamanya. Karena karena mendapat tekanan keras agar menggunakan sistem Pertanian Modern dengan Tehknologi – tehknologi pertanian terbarukan yang diusung oleh sistem Revolusi Hijau tersebut.

Di sinilah pentingnya para pemangku kepentingan sektor pertanian di Indonesia mempertimbangkan pentingnya mengikutsertakan tradisi dan kearifan lokal dalam proses pemberdayaan para petani di bumi nusantara. Sebab seringkali kemajuan perkembangan teknologi, tidak seiring sejalan dengan kesejahteraan dan kemandirian para petani. (GRI)

Raihan, Mahasiswa Fakultas Ilmu Pemerintahan , Universitas Galuh, Ciamis