Memelihara Demokrasi = Memelihara Penyakit Masyarakat

demokrasiOleh: Yuliana, mahasiswi IAIN Tulungagung

Tahun 2014 bagi bangsa Indonesia menjadi ajang pertarungan partai dan elit politik. Pesta  demokrasi berdengung hampir di seluruh lini kehidupan partai politik dan elit politik. Namun, di sisi lain masyarakat Indonesia dimana-mana, terutama rakyat bawah dan menengah, semakin sesak dengan himpitan ekonomi yang telah menggurita.

Pengalaman, kata pepatah, merupakan guru yang sangat berharga. Pengalaman yang sangat berharga yang seharusnya dijadikan pegangan bagi partai politik dan elit politik adalah semakin memburuknya kehidupan rakyat. Setiap kampanye partai politik dan elit politik selalu menjadikan isu-isu pendidikan gratis, sembako murah, kesempatan kerja, kesejahteraan sebagai janji-janji politiknya. Namun kenyataannya, semakin banyak janji yang diberikan semakin banyak pula yang dilupakan ketika sang partai dan elit politiknya menjadi pemenang.

Hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei justru menunjukkan menurunnya tingkat kepercayaan terhadap partai politik yang ada. Masyarakat sudah mulai bosan dengan janji-janji politik. Mereka pun semakin sadar bahwa Pemilu yang telah dilakukan berkali-kali di negeri ini tidak mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Justru mereka semakin terpuruk dan menderita.

Masyarakat sudah mulai cerdas bahwa Pemilu hanya menjadi ajang permainan para elit politik untuk mencari kekayaan masing-masing. Para elit itu sampai rela mengeluarkan uang bermiliar-miliar rupiah hanya untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Rakyat melihat bahwa calon yang dipilihnya ternyata hanya mementingkan kepentingan partai politiknya. Karena itu, rakyat mulai mencari alternatif partai politik dan elit politik yang betul-betul sejati untuk memperjuangkan rakyat.

Kondisi saat ini menjadi lebih parah dengan adanya ideologi pragmatisme yang dijadikan pegangan partai-partai, termasuk partai yang menyebut partai Islam. Dalam situasi politik yang didominasi oleh kepentingan
sesaat seperti sekarang, bukan persoalan mudah untuk tidak tergiring dalam arus pragmatisme. Apalagi jika orang-orang yang menjadi anggota partai politik Islam tidak memiliki tameng diri yang kuat. Permasalahannya, pragmatisme seperti sudah menjadi budaya sehari-hari yang sudah kadung mendarah daging.

Penyebab utamanya adalah sistem demokrasi itu sendiri. Dalam sistem demokrasi opini menjadi penting. Orang harus terkenal untuk bisa memenangkan Pemilu. Uang pun digelontorkan untuk beriklan di media massa. Kampanye pun membutuhkan dana yang tidak sedikit. Darimana uangnya? Dari para anggota partai yang menjadi pejabat, para pengusaha, atau asing. Tidaklah mengherankan, anggota DPR makan suap, karena sebagian uangnya masuk ke dalam kocek partai. Begitu juga, logis sekali main-mata dengan pengusaha dan asing hingga pembuatan UU selalu berpihak kepada mereka karena mereka dibiayai oleh para pengusaha dan asing itu. Negara pun berubah dari nation state (negara-bangsa) menjadi corporate state (negara-perusahaan). Negara laksana sebuah perusahaan besar: para konglomerat
sebagai pemilik modal; para pejabat menjadi pengelolanya; dan rakyat sebagai pihak pembeli yang dieksploitasi. Pilkada dan Pemilu pun tidak lebih dari suatu industri politik. Karenanya, mempertahankan sistem demokrasi sama dengan memelihara penyakit. Tak pernah ada perubahan sistem melalui Pemilu, karena Pemilu hanyalah mekanisme pergantian pemimpin saja. Perubahan sistem terjadi melalui revolusi pemikiran di tengah-tengah umat, melalui dakwah yang menyadarkan umat untuk hanya menerima sistem syariah.